Showing posts with label Agama. Show all posts
Showing posts with label Agama. Show all posts

07 December 2011

Pendapat Tokoh Kristen Tentang Al-Qur'an dan Islam

| More

  1. Harry Gaylord Dorman dalam buku "Towards Understanding lslam", New York, 1948, p.3, berkata: "Kitab Qur'an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu muk-jizat yang tetap aktual hingga kini, untuk mem-buktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad."
  2. Prof. H. A. R. Gibb dalam buku "Mohamma-danism", London, 1953, p. 33, berkata seba-gai berikut: "Nah, jika memang Qur'an itu hasil karyanya sendiri, maka orang lain dapat menandingi-nya. Cobalah mereka mengarang sebuah ungkapan seperti itu. Kalau sampai mereka tidak sanggup dan boleh dikatakan mereka pasti tidak mampu, maka sewajarnyalah mereka menerima Qur'an sebagai bukti yang kuat tentang mukjizat."
  3. Sir William Muir dalam buku "The Life of Mo-hamet", London, 1907; p. VII berkata sebagai berikut: "Qur'an adalah karya dasar Agama Islam. Ke-kuasaannya mutlak dalam segala hal, etika dan ilmu pengetahuan."
  4. DR. John William Draper dalam buku "A His-tory of the intelectual Development in Europe", London, 1875, jilid 1 , p. 343-344, berkata: "Qur'an mengandung sugesti-sugesti dan proses moral yang cemerlang yang sangat berlimpah-limpah; susunannya demikian fragmenter, sehingga kita tidak dapat mem-buka satu lembaran tanpa menemukan ungkapan-ungkapan yang harus diterima olehsekalian orang. Susunan fragmenter ini, mengemukakan teks-teks, moto dan per-aturan- peraturan yang sempurna sendirinya, sesuai bagi setiap orang untuk setiap peris-tiwa dalam hidup."
  5. DR. J. Shiddily dalam buku "The Lord Jesus in the Qur'an", p. 111 , berkata: "Qur'an adalah Bible kaum Muslimin dan lebih dimuliakan dari kitab suci yang manapun, lebih dari kitab Perjanjian Lama dan kitab perjanjian Baru."
  6. Laura Vaccia Vaglieri dalam buku "Apologie de I'Islamism, p. 57 berkata: "Dalam keselu-ruhannya kita dapati dalam kitab ini, suatu ko-leksi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh oleh orang-orang yang paling cer-das, filosof-filosof yang terbesar dan ahli-ahli politik yang paling cakap... Tetapi ada bukti lain tentang sifat Ilahi dalam Qur'an, adalah suatu kenyataan bahwa Qur'an itu tetap utuh melintasi masa-masa sejak turunnya wahyu itu hingga pada masa kini...Kitab ini dibaca berulang-ulang oleh orang yang beriman dengan tiada jemu-jemunya. Keistimewaan-nya pula, Qur'an senantiasa dipelajari/dibaca oleh anak-anak sejak sekolah tingkat dasar hingga tingkat Profesor. " "Sebaliknya malah karena diulang- ulang ia makin dicintai sehari demi sehari. Qur'an membangkitkan timbul-nya perasaan penghormatan dan respek yang mendalam, pada diri orang yang mem-baca dan mendengarkannya.... Oleh karena itu bukan dengan jalan paksaan atau dengan senjata, tidak pula dengan tekanan mu-baligh-mubaligh yang menyebabkan penyiaran Isiam besar dan cepat, tetapi oleh ke-nyataan bahwa kitab ini, yang diperkenalkan kaum Muslimin kepada orang-orang yang di-taklukkan dengan kebebasan untuk meneri-ma atau menolaknya adalah kitab Tuhan. Kata yang benar, mukjizat terbesar yang da-pat diperlihatkan Muhammad kepada orang yang ragu dan kepada orang yang tetap ber-keras kepala."
  7. Prof. A. J. Amberry, dalam buku "De Kracht van den Islam", hlm. 38, berkata: "Qur'an ditulis dengan gaya tak menentu dan tidak teratur, yang menunjukkan bahwa penulisnya di atas segala hukum-hukum pengarang manusia."

01 December 2011

Lafaz INSYA ALLAH Bisa Menjebol Tembok Ya'juj dan Ma'juj

| More
Di antara bangsa-bangsa manusia, tidak ada bangsa yang sekuat ya'juj ma'juj, sekejam ya'juj ma'juj, dan sebanyak ya'juj ma'juj. Namun tidak disangka, bahwa kelak yang membebaskan mereka dari tembok kokoh Dzulqarnain adalah kalimat 'Insya Allah'.

Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh An-Nadhar bin Al-Harits dan 'Uqbah bin Ani Mu'ith sebagai utusan kaum kafir Quraisy. Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang ini adalah bagaimana kisah Ashabul Kahfi?, Bagaimana kisah Dzulqarnain?, dan Apa yang dimaksud dengan Ruh?.

Rasulullah SAW bersabda kepada dua orang itu, "Besok akan saya ceritakan dan saya jawab." Akan tetapi Rasulullah SAW lupa mengucapkan "Insya Allah". Akibatnya wahyu yang datang setiap kali beliau menghadapi masalah pasti terputus selama 15 hari.

Sedangkan orang Quraisy setiap hari selalu menagih janji kepada Rasulullah saw dan berkata "Mana ceritanya? besok..besok..besok.." Ketika itu Rasulullah saw sangat bersedih. Akhirnya Allah menurunkan wahyu surat Al-Kahfi yang berisi jawaban kedua pertanyaan pertama, pertanyaan ketiga berada dalam surat Al-Israa ayat 85.

Allah berfirman pada akhir surat Al-Kahfii :
"Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, 'Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,' kecuali dengan mengatakan Insya Allah." (QS Al-Kahfi :23-24)

Sebuah kalimat yang sering kita salah artikan tetapi orang yang paling mulia disisiNya, yang telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang pun ditegur oleh Allah SWT karena lupa mengucapkan "Insyaa Allah". Ada rahasia besar apa dibalik kalimat Insya Allah?

Perhatikan petikan ayat diatas, di ayat tersebut Allah memerintahkan manusia ketika semua rencana sudah matang dan pasti janganlah mengatakan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” tetapi harus diikuti dengan ucapan Insya Allah.

Sebab ucapan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” adalah sebuah 'ucapan kepastian', keyakinan diri jika hal itu benar-benar akan dilakukannya, bukan keraguan-keraguannya.

Benar, Insya Allah adalah penegas ucapan kepastian dan keyakinan. Bukan keragu-raguan. Dari situlah tubuh kita mengeluarkan semacam kekuatan dan kepasrahan total yang tidak kita sadari sebagai syarat utama tercapainya sebuah keberhasilan.

Manusia hanya berencana dan berikhtiar, Allah yang menentukan hasilnya. Manusia terlalu lemah untuk mengucapkan ‘pasti’, karena Allah sebagai sang pemilik tubuh ini dapat berkehendak lain.

Ingat baik baik! Jika kalian tidak yakin atau tidak dapat memastikan sebuah rencana, maka jangan pernah mengatakan Insya Allah, cukup katakan saja “Maaf, saya tidak bisa” atau “Maaf, saya tidak dapat menghadiri …”

Tetapi bila kalian yakin bisa melakukan rencana itu, maka katakanlah “Insya Allah”, niscaya kalian akan melihat sebuah ketentuan Allah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh-Nya.

"Mereka (Ya'juj & Ma'juj) berusaha untuk keluar dengan berbagai cara, hingga sampai saat matahari akan terbenam mereka telah dapat membuat sebuah lobang kecil untuk keluar. Lalu pemimpinnya berkata,'Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini."

"Namun keesokkan harinya lubang kecil itu sudah tertutup kembali seperti sedia kala atas kehendak Allah. Mereka pun bingung tetapi mereka bekerja kembali untuk membuat lubang untuk keluar. Demikian kejadian tersebuat terjadi berulang-ulang."
"Hingga kelak menjelang Kiamat, di akhir sore setelah membuat lubang kecil pemimpin mereka tanpa sengaja berkata, “Insya Allah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita bisa keluar dari sini."

"Maka keesokan paginya lubang kecil itu ternyata masih tetap ada, kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya."
"Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi."

MISTERI TEMBOK YA’JUJ DAN MA’JUJ

| More
Mereka berkata; “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya-juj dan Ma-juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka ?”

QS. Al-Anbiya: 96 “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya-juj dan Ma-juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (Hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata); “Aduhai celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zhalim.”

Ya-juj dan Ma-juj dalam Hadits Dari Zainab Binti Jahsh -isteri Nabi SAW, berkata; “Nabi SAW bangun dari tidurnya dengan wajah memerah, kemudian bersabda; “Tiada Tuhan selain Allah, celakalah bagi Arab dari kejahatan yang telah dekat pada hari kiamat, (yaitu) Telah dibukanya penutup Ya-juj dan Ma-juj seperti ini !” beliau melingkarkan jari tangannya. (Dalam riwayat lain tangannya membentuk isyarat 70 atau 90), Aku bertanya; “Ya Rasulullah SAW, apakah kita akan dihancurkan walaupun ada orang-orang shalih ?” Beliau menjawab; “Ya, Jika banyak kejelekan.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim)

Jenis dan Asal Usul Ya-juj dan Ma-juj dalam QS. Al-Kahfi : 94 Ya-juj dan Ma-juj menurut ahli lughah ada yang menyebut isim musytaq (memiliki akar kata dari bhs. Arab) berasal dari AJAJA AN-NAR artinya jilatan api. Atau dari AL-AJJAH (bercampur/sangat panas), al-Ajju (cepat bermusuhan), Al-Ijajah (air yang memancar keras) dengan wazan MAF’UL dan YAF’UL / FA’UL. Menurut Abu Hatim, Ma-juj berasal dari MAJA yaitu kekacauan. Ma-juj berasal dari Mu-juj yaitu Malaja. Namun, menurut pendapat yang shahih, Ya-juj dan Ma-juj bukan isim musytaq tapi merupakan isim ‘Ajam dan Laqab (julukan). Para ulama sepakat, bahwa Ya-juj dan Ma-juj termasuk spesies manusia.

Mereka berbeda dalam menentukan siapa nenek moyangnya. Ada yang menyebutkan dari sulbi Adam AS dan Hawa atau dari Adam AS saja. Ada pula yang menyebut dari sulbi Nabi Nuh AS dari keturunan Syis/At-Turk menurut hadits Ibnu Katsir. Sebagaimana dijelaskan dalam tarikh, Nabi Nuh AS mempunyai tiga anak, Sam, Ham, Syis/At-Turk. Ada lagi yang menyebut keturunan dari Yafuts Bin Nuh. Menurut Al-Maraghi, Ya-juj dan Ma-juj berasal dari satu ayah yaitu Turk, Ya-juj adalah At-Tatar (Tartar) dan Ma-juj adalah Al-Maghul (Mongol), namun keterangan ini tidak kuat. Mereka tinggal di Asia bagian Timur dan menguasai dari Tibet, China sampai Turkistan Barat dan Tamujin. Mereka dikenal sebagai Jengis Khan (berarti Raja Dunia) pada abad ke-7 H di Asia Tengah dan menaklukan Cina Timur. Ditaklukan oleh Quthbuddin Bin Armilan dari Raja Khuwarizmi yang diteruskan oleh anaknya Aqthay. “Batu” anak saudaranya menukar dengan negara Rusia tahun 723 H dan menghancurkan Babilon dan Hongaria. Kemudian digantikan Jaluk dan dijajah Romawi dengan menggantikan anak saudaranya Manju, diganti saudaranya Kilay yang menaklukan Cina.

Saudaranya Hulako menundukan negara Islam dan menjatuhkan Bagdad pada masa daulah Abasia ketika dipimpin Khalifah Al-Mu’tashim Billah pertengahan abad ke-7 H / 656 H. Ya-juj dan Ma-juj adalah kaum yang banyak keturunannya.Menurut mitos, mereka tidak mati sebelum melihat seribu anak lelakinya membawa senjata. Mereka taat pada peraturan masyarakat, adab dan pemimpinnya. Ada yang menyebut mereka berperawakan sangat tinggi sampai beberapa meter dan ada yang sangat pendek sampai beberapa centimeter. Konon, telinga mereka panjang, tapi ini tidak berdasar. Pada QS. Al-Kahfi:94, Ya-juj dan Ma-juj adalah kaum yang kasar dan biadab.

Jika mereka melewati perkampungan, membabad semua yang menghalangi dan merusak atau bila perlu membunuh penduduk. Karenya, ketika Dzulkarnain datang, mereka minta dibuatkan benteng agar mereka tidak dapat menembus dan mengusik ketenangan penduduk. Siapakah Dzulkarnain ? Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar Bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang Mecedonia, Yunani). Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aristoteles. Memerangi Persia dan menikahi puterinya. Mengadakan ekspansi ke India dan menaklukan Mesir.

Menurut Asy-Syaukany, pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini mengisyaratkan ia seorang kafir dan filosof. Sedangkan al-Quran menyebutkan; “Kami (Allah) mengokohkannya di bumi dan Kami memberikan kepadanya sebab segala sesuatu.” Menurut sejarawan muslim Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM – 552 M.).

Kerajaannya disebut At-Tababi’ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur. Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih.

Ia seorang pengembara dan ketika sampai di antara dua gunung antara Armenia dan Azzarbaijan. Atas permintaan penduduk, Dzulkarnain membangun benteng. Para arkeolog menemukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi Balkh dan disebut sebagai “Babul Hadid” (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah melewatinya, juga Syah Rukh dan ilmuwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan bertamu pada Timurleng. “Babul Hadid” adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.

BENARKAH TEMBOK CINA ADALAH TEMBOK Zulkarnain ?

Banyak orang menyangka itulah tembok yang dibuat oleh Zulkarnain dalam surat Al Kahfi. Dan yang disebut Ya’juj dan Ma’juj adalah bangsa Mongol dari Utara yang merusak dan menghancurkan negeri-negeri yang mereka taklukkan. Mari kita cermati kelanjutan surat Al Kahfi ayat 95-98 tentang itu.
Zulkarnain memenuhi permintaan penduduk setempat untuk membuatkan tembok pembatas. Dia meminta bijih besi dicurahkan ke lembah antara dua bukit. Lalu minta api dinyalakan sampai besi mencair. Maka jadilah tembok logam yang licin tidak bisa dipanjat.

09 May 2011

Beberapa Pernyataan Tentang Sholat

| More

REKONSTRUKSI ‘IKHLASH’ di Dalam PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

| More
MUKODDIMAH
Adanya penyusunan konsep ikhlash ini adalah dalam rangka menerapkan nilai-nilai ikhlas dalam dunia pendidikan dan menyuci otak-otak umat Islam dari kejenuhan dan kebuntuan pemikiran dalam afiliasi mereka terhadap manajemen konsep barat, serta kegelisahan terhadap ‘auroq’ dan ‘oplah’. Dihadirkannya kembali konsep ini juga diharapkan bisa menyeimbangkan umat muslim dalam melaksanakan tata negaranya dan tata hidupnya khususnya antara materi dan non-materi di dalam dunia pendidikan . Diharapkan pula bahwa dengan ‘menegur hati’ tentang ikhlash ini agar umat islam bisa mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan aturan (syariat) tanpa harus tertinggal dengan perkembangan zaman.
Bangsa Indonesia dengan kemajemukan budaya dan agama, akan sangat bertentangan sekali bila harus secara mutlak mengedepankan antara duniawinya yang terkesan material (lebih mengedepankan aspek materi/kekayaan dan kebahagiaan duniawi) dibanding kepribadian bangsa Indonesia yang santun dan suka gotong royong, yang terbiasa dengan saling tolong-menolong dan selalu menjaga kuat persaudaraan, nrimo, hormat, kebersamaan/keselarasan, serta budaya beragama dan mengakui kekuatan ghaib. Budaya yang sopan dan santun akan bersitegang dengan budaya mengejar waktu dan profesional, budaya saling membantu satu sama lain akan bertentangan dengan budaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam bentuk material. Maka bisa ditarik kesimpulan awal bahwa bangsa Indonesia sebenarnya tidak cocok dengan materialisme tulen sampai kapanpun selama kita masih hidup, masih makan dan minum dari tanah air Indonesia, selama kita masih berbudaya keIndonesiaan, selama kita masih bersosial di Indonesia.
Wajar juga bila pegawai kita di perusahaan, instansi pendidikan maupun yang sudah duduk di pemerintahan dan wakil rakyat, mereka selalu merasa tidak puas dengan uang yang sudah didapat, berapa pun kenaikan gajih atau oplah (upah) yang diberikan maka sampai kapanpun tidak pernah bisa untuk membahagiakan hati sanubari rakyat Indonesia, selama tujuan dari kerja dan usaha itu murni untuk mencari uang, dimana nantinya uang akan menjadi tujuan hidup, bukan sebagai alat untuk memotivasi hidup tetapi uang sudah menjadi tuhan karena sudah dijadikan tujuan hidup, padahal hakekat dari diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan hakekat dari bekerja adalah ibadah itu sendiri. Dan wajar pula bila output dari pendidikan secara otak satu sisi memang bagus dari sebelumnya namun bila ditilik dari akhlaknya maka yang terjadi di lapangan adalah kenakalan pelajar, hidup bebas dan kebejatan moral sudah melampui dari batasan budaya lokal dan umur secara psikis pada sisi yang lain.

12 April 2011

SAINTS AND SHEIKH IN MODERN EGYPT

| More
Valerie J. Hoffman

Belief in the existence and powers of ‘saints’ or ‘friend of God’ (wali, pl. awliya) is pervasive throughout the Muslim world. Such individuals are often associated with Sufism, or Islamic mysticism, though the notion of human perfection probably developed first among Shi’a.
According to some branches of the Shi’a, the imams inherited from the Prophet a spark of divine light granting them a perfection and sinlessness denied to ordinary human beings. The perfection of the saints in Sunni Islam is also a divine grace, and is often also associated with putative inheritance from the Prophet, thought it usually also derives from the arduous disciplines of self-denial and devotion that are peculiar to the Sufi way. A true Sufi sheikh, or spiritual master, should be a friend of God, one who by virtue of his closeness to God may see by the light of God what no ordinary person can see, and who is therefore qualified to give each disciple the discipline and instruction that befits him or her. Nonetheless, not all those who are recognized as saints are followers of the Sufi path, and not all those who function as sheikhs are commonly recognized as saints.
Since there is no body in Islam authorized to canonize saints, as there is in Catholicism, the process by which sainthood is recognized is entirely informal and necessarily a matter of contention. Typically, disciples regard their masters not only as saints, but usually as the greatest of all saints, the qutb (axis) or ghawth (help). Nonetheless, the problem of unqualified individuals being granted a certificate to function as Sufi sheikhs has been broadly recognized by Sufis themselves. So who is a saint, and how is he or she recognized?
The qualities typically deemed mandatory for saints include piety, observance of the Shari’a, knowledge of God, and the performance of miracles – typically miracles of knowledge, such as the ability to ‘read hearts’ and to communicate mind-to-mind with other saints or one’s own disciples, breaking through barriers of time and space, and providing spectacular assistance to those in need. Yet this inventory of attributes is deceiving, for the experts on Muslim sainthood also tell us that sainthood (wilaya) is by definition hidden among God’s creatures, especially the saints of the highest rank. So the person who is serving the tea to the guests may in fact be of a higher spiritual rank than the sheikh who is revered by his disciples. There is hierarchy among saints, with a diversity of spiritual types, habits and functions. The qutb, or axis, is said to be hidden and largely unrecognized. Even a child might be a saint. In Cairo there is a tomb for a boy who, after his death, identified himself as a saint by means of a dream given to a person who had never known him. Nonetheless, the man built a shrine over the place where the dead boy was buried, and his tomb is visited by people seeking his baraka.

12 March 2011

TENTANG WALI ALLAH

| More
Sesungguhnya, wali-wali Allah itu tak ada ketakutan bagi mereka, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia juga akhirat (QS. 10: 63).


Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia berarti menyatakan perang terhadap-Ku (Hadis Qudsi).

Kewalian adalah prinsip dasar dari jalan Tasawuf. Seperti dikatakan oleh Al-Hujwiri, “Ketahuilah prinsip dan landasan Tasawuf serta makrifat adalah bertumpu pada kewalian.” Wali-wali Allah (awliya) adalah orang-orang suci yang telah diberkati oleh Allah dan diangkat menjadi “sahabat-Nya”. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai penglihatan batin (mukasyafah) yang benar. 

Sesungguhnya, Setiap mukmin yang takwa adalah Wali Allah (kullu mu’minin taqiyyin fahuwa waliyullah). Maka, syarat menjadi Wali Allah adalah mukmin yang takwa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa, pertama, mukmin di sini adalah dalam pengertian yang “sempurna”. Kata wali dalam konteks ini adalah mengandung makna mubalaghah (sangat menekankan), yakni mukmin yang betul-betul taat. Mukmin yang sesungguhnya selalu mendasarkan perilakunya pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karenanya, seperti dinyatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Al-Quran sudah bercampur dengan darah dan daging mereka,” yang mengingatkan kita pada perkataan Aisyah, istri Nabi, bahwa “Akhlak Nabi adalah Al-Quran.” Dalam istilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kewalian adalah bayangan dari fungsi kenabian (zill al-nubuwwa), sebagaimana kenabian adalah bayangan dari fungsi ketuhanan.” Mukmin sejati akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (hakikatnya) bukan sebagaimana yang dipikirkan, sebab mereka itu melihat dengan Nur Allah (al-mu’minu yandzuru bi nurillahi ta’ala).

Kedua, syarat takwa di sini juga dalam pengertian yang hakiki (haqqa tuqatihi) yakni sebenar-benar takwa seperti diperintahkan dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 102. Takwa di sini mengandung dua aspek, lahir dan batin. Aspek lahirnya adalah pelaksanaan syariat, sedangkan aspek batinnya adalah niat yang suci (lillahi ta’ala) dan mujahadah. Jika seseorang sudah mencapai takwa yang hakiki ini barulah dia bisa disebut mukmin yang sejati, dan mukmin yang sejati adalah Wali Allah. Dan orang yang mukmin yang paling bertakwa bisa dipastikan paling mulia kedudukannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13—inna akramakum ‘inda Allahi atqakum—”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Dalam analisis terakhir, Wali Allah adalah orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah para “pejabat istana Tuhan”. Pada tingkat inilah mereka akan dilindungi oleh Allah, yang merupakan makna kedua dari kata “wali,” yakni “yang dilindungi atau dijaga”. Dalam Al-Quran, Surah Al-A’raf: 196, disebutkan, “Dan Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang shalih.”

05 March 2011

ZOROASTERIANISME

| More
A.      SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA ZOROASTER
       Zoroasterianisme adalah agama persia kuno yang mengajarkan bahwa segala yang ada terlibat dalam perebutan yang tak henti-hentinya antara dewa kebaikan dan dewa kejahatan. Zoroasterianisme berlandaskan pada ajaran Zarathustra, seorang Nabi Persia yang dikenal di Negara Barat sebagai Zoroaster. Kelahirannya diperkirakan pada jenjang waktu yang cukup jauh, yaitu antara 1200 dan 600 SM. Akan tetapi yang mendekati ialah sekitar tahun 1000 SM. Dewasa ini Zoroasterianisme menyatakan bahwa pengikutnya ada sekitar 200.000 orang, komunitas utamanya berada di Iran dan India.[1]
       Meskipun Zoroatrianisme punya macam-macam elemen yang serupa dengan agama-agama Iran yang lebih lama, tapi tak tampak tersebar luas di masa Zoroaster sendiri, daerah tempat dia hidup kait-berkait bersama dengan Kekaisaran Persia di bawah Cyrus Yang Agung di pertengahan abad ke-16 SM pada saat matinya Zoroaster. Dalam masa dua abad kemudian, agama itu diterima oleh Raja-raja Persia dan memperoleh pengikut yang lumayan. Sesudah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung di akhir pertengahan abad ke-4 SM, agama Zoroaster mengalami kemunduran deras. Tapi, akhirnya orang-orang Persia memperoleh kemerdekaannya kembali, pengaruh Hellenistis merosot, dan ada semacam kebangkitan kembali Agama Zoroaster. Di masa dinasti Sassanid (226 - 651 M) agama Zoroaster diterima sebagai agama resmi negeri Persia.
       Sesudah ditaklukkan Arab di abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam (dalam beberapa hal dengan kekerasan, walau pada prinsipnya kaum Muslimin punya sikap toleran kepada agama lain). Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia. Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Walaupun deikian Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu. [2]

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...