22 November 2011

MENELUSURI HAK-HAK RAKYAT DALAM NEGARA; PERSPEKTIF KHULAFAH AL-RASYIDUN

| More

PENGANTAR
Hak-hak rakyat warga negara[1] (mashail ra’iyyah) dalam kajian fiqh siyasah merupakan discourse yang menarik. Bukan saja bagi para ilmuwan modern tetapi juga oleh literatur-literatur klasik pertengahan. Hanya pembahasannya tidak terlalu dominan karena lebih memfokus pada kajian hak-hak pemerintah (huquq al-ra’in) atas rakyat. Al-Mawardi misalnya, tidak membahas khusus mashalih ra’iyyah, ia hanya memasukkannya sebagai sub-bahasan dari bab aqd al-imamah,[2] namun dari kitab tersebut dapat difahami secara eksplisit dari hak-hak penguasa, ada kewajiban-kewajiban penguasa yang merupakan hak-hak rakyat.
Secara logis, dalam kajian politik, negara merupakan sebuah lembaga yang berdiri untuk mewujudkan cita-cita bersama yakni kebaikan dan kesejahteraan rakyat (common good, common weal). Terbentuknya negara, dalam hal ini membutuhkan kesediaan rakyat untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dan pemenuhan tugas-tugas seperangkat penguasa untuk melaksanakan amanat yang telah dipercayakan. Tanpa adanya saling pengertian antara ra’iyyah dan ra’in, sebuah negara tak dapat merealisasikan kekuasaannya (powerfull).
Dalam lintasan sejarah, sebenarnya hak-hak rakyat yang merupakan salah satu hak kodrati manusia merupakan hak universal warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak itu tentunya akan diperjuangkan oleh warga ngeara sebagai tujuan akhir  (finak goal) dalam bernegara. Meminjam istilah Hegel, konfigurasi kebebasan subjektif (subjective liberty) dan kebebasan objektif (objective liberty)[3] merupakan basis terselenggaranya kedaulatan dan kekuasaan negara. Rentangan sejarah Islam yang luas membuktikan betapa banyaknya konflik-konflik yang terjadi dalam mengangkat harkat dan martabat hak-hak rakyat warga negara selama empat belas abad yang silam. Dari sistem khalifah hingga sistem kerajaan yang berakhir dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan oleh Mustafa Kamil di Turki pada 2 Maret 1924, perjuangan untuk mashalih ra’iyyah masih tetap menjadi agenda “negara Islam”.
Makalah ini bermaksud menelusuri akar sejarah peran rakyat dalam mengartikulasikan pendapat pada masa khulafah al-Rasyidun. Sedang pembahasannya bertolak dari pertanyaan seberapa jauh rakyat mendapatkan hak-hak rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam bentuk yang bagaimana relasi rakyat dan khalifah itu dilaksanakan. Dua pertanyaan tersebut sangat urgen dibahas dalam rangka mencari konsep kedaulatan rakyat yang dilaksanakan selama periode khulafah al-Rasyidun.
Hanya saja penulis mengakui banyak kesulitan dalam membuat standar penelitian, mengingat objek kajiannya adalah sikap dan perilaku yang telah dilakukan oleh masyarakat yang telah empat belas abad silam. Sementara paradigma penulis tentang hak-hak rakyat atau kedaulatan rakyat lebih banyak dipengaruhi oleh istilah-istilah yang dipakai dalam negara modern. Untuk itu, pembahasan berikut penulis lebih banyak mengabstraksikan data sejarah kemudian memberikan sedikit analisis.

HAK-HAK RAKYAT
Untuk membahas lebih lanjut perihal hak-hak rakyat, permasalahan sentral yang akan dibahas adalah kedaulatan rakyat.[4] Siapa yang sesungguhnya mempunyai kedaulatan? Rakyatkah, penguasa atau bahkan Tuhan. Konsep Gramsci, misalnya, yang banyak dikenal dalam ilmu politik modern memandang rakyat adalah “objek” dari state (negara). Rakyat seharusnya menjadi subjek dalam negara, menurut konsep Gramsci justru terhegemoni oleh kekuatan negara. Karena bagi Gramsci negara terdiri atas lembaga pemerintahan (public institution) dan aparat pemaksa (coercion) seperti tentara atau pengadilan.[5]
Berbeda dengan Gramsci, Thomas Hobbes (1588-1679) yang menawarkan bentuk negara teokrasi mutlak. Dalam masterpiece-nya Leviathan, ia menawarkan teori yang sangat mekanis dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, kekuasaan itu tidak dapat dibantah, mutlak, tak dapat dibagi dan tak terbatas.[6]
Dalam perspektif fiqh siyasah, ada dua pendapat yang membahas sumber kedaulatan. Syi’ah yang memandang negara dan agama merupakan satu kesatuan menyatakan bahwa kedaulatan Tuhan adalah mutlak bagi manusia. Tak ada kedaulatan lain dalam negara kecuali kedaulatan Tuhan. Sehingga sabda penguasa adalah sabda Tuhan yang harus dilaksanakan, karena sesungguhnya penguasa adalah bayang-bayang Tuhan. Berbeda lagi dengan kelompok Sunni yang memandang agama dan negara mempunyai hubungan yang komplementer, saling melengkapi. Bagi kelompok ini kedaulatan yang ada dalam suatu negara adalah kedaulatan ra’iyyah. Biasanya macam pemerintahan yang demikian ini bercorak demokratis.

09 May 2011

Beberapa Pernyataan Tentang Sholat

| More

REKONSTRUKSI ‘IKHLASH’ di Dalam PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

| More
MUKODDIMAH
Adanya penyusunan konsep ikhlash ini adalah dalam rangka menerapkan nilai-nilai ikhlas dalam dunia pendidikan dan menyuci otak-otak umat Islam dari kejenuhan dan kebuntuan pemikiran dalam afiliasi mereka terhadap manajemen konsep barat, serta kegelisahan terhadap ‘auroq’ dan ‘oplah’. Dihadirkannya kembali konsep ini juga diharapkan bisa menyeimbangkan umat muslim dalam melaksanakan tata negaranya dan tata hidupnya khususnya antara materi dan non-materi di dalam dunia pendidikan . Diharapkan pula bahwa dengan ‘menegur hati’ tentang ikhlash ini agar umat islam bisa mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan aturan (syariat) tanpa harus tertinggal dengan perkembangan zaman.
Bangsa Indonesia dengan kemajemukan budaya dan agama, akan sangat bertentangan sekali bila harus secara mutlak mengedepankan antara duniawinya yang terkesan material (lebih mengedepankan aspek materi/kekayaan dan kebahagiaan duniawi) dibanding kepribadian bangsa Indonesia yang santun dan suka gotong royong, yang terbiasa dengan saling tolong-menolong dan selalu menjaga kuat persaudaraan, nrimo, hormat, kebersamaan/keselarasan, serta budaya beragama dan mengakui kekuatan ghaib. Budaya yang sopan dan santun akan bersitegang dengan budaya mengejar waktu dan profesional, budaya saling membantu satu sama lain akan bertentangan dengan budaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam bentuk material. Maka bisa ditarik kesimpulan awal bahwa bangsa Indonesia sebenarnya tidak cocok dengan materialisme tulen sampai kapanpun selama kita masih hidup, masih makan dan minum dari tanah air Indonesia, selama kita masih berbudaya keIndonesiaan, selama kita masih bersosial di Indonesia.
Wajar juga bila pegawai kita di perusahaan, instansi pendidikan maupun yang sudah duduk di pemerintahan dan wakil rakyat, mereka selalu merasa tidak puas dengan uang yang sudah didapat, berapa pun kenaikan gajih atau oplah (upah) yang diberikan maka sampai kapanpun tidak pernah bisa untuk membahagiakan hati sanubari rakyat Indonesia, selama tujuan dari kerja dan usaha itu murni untuk mencari uang, dimana nantinya uang akan menjadi tujuan hidup, bukan sebagai alat untuk memotivasi hidup tetapi uang sudah menjadi tuhan karena sudah dijadikan tujuan hidup, padahal hakekat dari diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan hakekat dari bekerja adalah ibadah itu sendiri. Dan wajar pula bila output dari pendidikan secara otak satu sisi memang bagus dari sebelumnya namun bila ditilik dari akhlaknya maka yang terjadi di lapangan adalah kenakalan pelajar, hidup bebas dan kebejatan moral sudah melampui dari batasan budaya lokal dan umur secara psikis pada sisi yang lain.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...