Penjiplakan adalah tindakan mencuri hasil karya orang lain dan mengakui sebagai miliknya. Berbeda dangan pengutipan mencantumkan hasil karya orang lain dengan ijin dari penciptanya ataupun dengan menuliskan penciptanya. Penjiplakan merupakan suatu pelecehan terhadap kerja keras orang lain, sedangkan kalau kita bedakan dengan Kutipan biasanya hanya sebagai pelengkap dari hasil karya utama, namun pada kenyataannya cukup banyak pengutip yang menjadikan kutipan sebagai hasil karya utamanya sehingga mereka disebut penjiplak. Penjiplakan mungkin tidak bisa dihindari di era yang serba cepat dan instan ini. Semua orang ingin cepat populer, ingin cepat berhasil, ingin cepat selesai dan sebagainya. Penjiplakan juga bukanlah hal yang asing bagi siapapun, namun umumnya mereka yang menjiplak justru mereka yang bersekolah dan berada dalam lingkungan akademis. Saat ini mungkin contek-menyotek sudah hal yang wajar pada saat ujian, begitu pula menjiplak tugas-tugas kuliah milik teman.[1]
Penjiplakan boleh dibilang gejala universal. MM Baktin, seorang tokoh post-modernis, mengatakan tidak mungkin masyarakat manusia terhindar dari penjiplakan karena ”tutur kata kita penuh dengan bahkan dibanjiri oleh kata-kata orang lain”. Kalau kita baca koran, yang kita temukan adalah berita-berita, komentar berita, analisis berita yang tidak luput dari proses bajak-membajak, curi-mencuri, dan hampir boleh dikatakan yang berlangsung adalah an orgy of plagiarism. Namun, institutional penjiplakan semacam ini berlangsung sedemikian rupa sehingga para wartawan, komentator, analis malah disebut sebagai kaum ”media pundits”, pujangga dalam istilah Amerika, para pakar dalam istilah kita.[2]