PENGANTAR
Hak-hak rakyat warga negara[1]
(mashail ra’iyyah) dalam kajian fiqh siyasah merupakan discourse
yang menarik. Bukan saja bagi para ilmuwan modern tetapi juga oleh
literatur-literatur klasik pertengahan. Hanya pembahasannya tidak terlalu
dominan karena lebih memfokus pada kajian hak-hak pemerintah (huquq al-ra’in)
atas rakyat. Al-Mawardi misalnya, tidak membahas khusus mashalih ra’iyyah,
ia hanya memasukkannya sebagai sub-bahasan dari bab aqd al-imamah,[2]
namun dari kitab tersebut dapat difahami secara eksplisit dari hak-hak
penguasa, ada kewajiban-kewajiban penguasa yang merupakan hak-hak rakyat.
Secara logis, dalam kajian politik,
negara merupakan sebuah lembaga yang berdiri untuk mewujudkan cita-cita bersama
yakni kebaikan dan kesejahteraan rakyat (common good, common weal). Terbentuknya
negara, dalam hal ini membutuhkan kesediaan rakyat untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya dan pemenuhan tugas-tugas seperangkat penguasa untuk
melaksanakan amanat yang telah dipercayakan. Tanpa adanya saling pengertian
antara ra’iyyah dan ra’in, sebuah negara tak dapat merealisasikan
kekuasaannya (powerfull).
Dalam lintasan sejarah, sebenarnya
hak-hak rakyat yang merupakan salah satu hak kodrati manusia merupakan hak
universal warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak itu
tentunya akan diperjuangkan oleh warga ngeara sebagai tujuan akhir (finak goal) dalam bernegara. Meminjam
istilah Hegel, konfigurasi kebebasan subjektif (subjective liberty) dan
kebebasan objektif (objective liberty)[3]
merupakan basis terselenggaranya kedaulatan dan kekuasaan negara. Rentangan
sejarah Islam yang luas membuktikan betapa banyaknya konflik-konflik yang
terjadi dalam mengangkat harkat dan martabat hak-hak rakyat warga negara selama
empat belas abad yang silam. Dari sistem khalifah hingga sistem kerajaan yang
berakhir dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan oleh Mustafa Kamil di Turki
pada 2 Maret 1924, perjuangan untuk mashalih ra’iyyah masih tetap
menjadi agenda “negara Islam”.
Makalah ini bermaksud menelusuri
akar sejarah peran rakyat dalam mengartikulasikan pendapat pada masa khulafah
al-Rasyidun. Sedang pembahasannya bertolak dari pertanyaan seberapa jauh rakyat
mendapatkan hak-hak rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian
dalam bentuk yang bagaimana relasi rakyat dan khalifah itu dilaksanakan. Dua
pertanyaan tersebut sangat urgen dibahas dalam rangka mencari konsep kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan selama periode khulafah al-Rasyidun.
Hanya saja penulis mengakui banyak
kesulitan dalam membuat standar penelitian, mengingat objek kajiannya adalah
sikap dan perilaku yang telah dilakukan oleh masyarakat yang telah empat belas
abad silam. Sementara paradigma penulis tentang hak-hak rakyat atau kedaulatan
rakyat lebih banyak dipengaruhi oleh istilah-istilah yang dipakai dalam negara
modern. Untuk itu, pembahasan berikut penulis lebih banyak mengabstraksikan
data sejarah kemudian memberikan sedikit analisis.
HAK-HAK RAKYAT
Untuk membahas lebih lanjut perihal
hak-hak rakyat, permasalahan sentral yang akan dibahas adalah kedaulatan
rakyat.[4] Siapa yang sesungguhnya mempunyai kedaulatan?
Rakyatkah, penguasa atau bahkan Tuhan. Konsep Gramsci, misalnya, yang banyak
dikenal dalam ilmu politik modern memandang rakyat adalah “objek” dari state
(negara). Rakyat seharusnya menjadi subjek dalam negara, menurut konsep Gramsci
justru terhegemoni oleh kekuatan negara. Karena bagi Gramsci negara terdiri
atas lembaga pemerintahan (public institution) dan aparat pemaksa (coercion)
seperti tentara atau pengadilan.[5]
Berbeda dengan Gramsci, Thomas
Hobbes (1588-1679) yang menawarkan bentuk negara teokrasi mutlak. Dalam masterpiece-nya
Leviathan, ia menawarkan teori yang sangat mekanis dan menafikan
nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, kekuasaan itu tidak dapat dibantah,
mutlak, tak dapat dibagi dan tak terbatas.[6]
Dalam perspektif fiqh siyasah,
ada dua pendapat yang membahas sumber kedaulatan. Syi’ah yang memandang negara
dan agama merupakan satu kesatuan menyatakan bahwa kedaulatan Tuhan adalah
mutlak bagi manusia. Tak ada kedaulatan lain dalam negara kecuali kedaulatan
Tuhan. Sehingga sabda penguasa adalah sabda Tuhan yang harus dilaksanakan, karena
sesungguhnya penguasa adalah bayang-bayang Tuhan. Berbeda lagi dengan kelompok
Sunni yang memandang agama dan negara mempunyai hubungan yang komplementer,
saling melengkapi. Bagi kelompok ini kedaulatan yang ada dalam suatu negara
adalah kedaulatan ra’iyyah. Biasanya macam pemerintahan yang demikian
ini bercorak demokratis.