Perwujudan Islam, meskipun
berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan
keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan
struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan
pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul,
sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik.
Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan
pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran
yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang
demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak
perwujudan Islam itu sendiri.[1]
Karena
struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan
variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah
di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat
Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya
ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran
serta merumuskan karakteristik gerakannya.
Dalam
prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar,
ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar
pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah
kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas
keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi
sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang
berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab
merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya
dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan
dan peningkatan kualitas spiritual.
Perkembangan
awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim
terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural
tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan
mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan
ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan
penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan
diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada
Allah[2].
Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin
dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan
Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang
demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam
struktur hukum (fiqh).
Proses
pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan
dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori
Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan
pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification”
(jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada
kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan
jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber
reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi
pengikat.[3]
Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat
dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4] Khanaqah
dan Ribath[5]
berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.