Masalah 1: Kewajiban Berdiri
Berdiri dalam melaksanakan sholat fardhu
hukumnya wajib. Demikian kesepakatan (ijmak) umat Islam. Dengan
demikian, jika seseorang mampu berdiri tetapi dia melakukan sholat fardhu tidak
sambil berdiri maka sholatnya dianggap tidak sah. Dalilnya adalah sabda Nabi
Muhammad saw. terhadap Imran bin Husain, “Lakukanlah sholat sambil berdiri.
Jika tidak mampu, lakukanlah sambil duduk dan jika tidak mampu pula, lakukanlah
sambil berbaring” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw dalam sabdanya itu
memerintahkan Imran bin Husain untuk berdiri padahal dia sedang sakit, karena
sholat yang dilakukannya adalah sholat fardhu. Adapun dalam melaksanakan sholat
sunat, seseorang tidak diwajibkan berdiri. Hal ini diisyaratkan melalui sabda
Nabi saw, “Siapa yang melakukan sholat sambil berdiri, maka itu lebih utama (afdholu).
Dan siapa yang melakukan sholat sambil duduk, maka dia mendapatkan pahala
setengah dari orang-orang yang berdiri. Dan siapa yang melakukan sholat sambil
berbaring, maka dia mendapat pahala setengah dari orang yang melakukannya
sambil duduk” (HR. Bukhari).
Imam Nawawi mengatakan, “Adapun berdiri
yang menjadi syarat (sahnya) sholat adalah menegakkan tulang punggung. Bagi
orang yang mampu (sehat), dia tidak boleh berdiri dengan miring ke salah satu
arah sehingga tidak memperlihatkan bentuk berdiri (sebenarnya). Dia juga tidak
boleh miring seperti orang yang ruku’. Jika miringnya tidak sampai ruku’,[1]
tetapi mirip dengan orang yang sedang ruku’ maka sholatnya tidak sah karena dia
tidak berdiri tegak. Jika dia merendahkan kepalanya tanpa miring, maka
sholatnya sah karena dia masih tegak berdiri. Pendapat ini tanpa khilaf
(perbedaan pendapat)”. Adapun mengenai orang yang tidak mampu melakukan hal itu
karena punggungnya yang bongkok atau
karena tua sekali dan hanya mampu berdiri sambil membungkuk, bahkan seperti
yang sedang ruku’, maka dia harus berdiri (sekedar berdiri dan tidak tegak).
Jika dia akan melakukan ruku’, hendaklah lebih miring jika dia mampu. (Syarh
al-Muhadzdzab, Juz 3, h. 263).
Wallahu a’lam.
Masalah 2: Kaki dan Bahu Harus Menempel
Salah satu perbuatan makruh atau sangat
tidak baik di dalam sholat dan akan mengganggu kekhusyuan sholat adalah
memusatkan perhatian pada penempatan (telapak) kaki dan cara menempelkan sisi
telapak kaki pada orang lain yang berada di sisinya. Hal itu banyak dilakukan
oleh sebagian orang yang mengikuti kelompok ahli bid’ah.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalany, perintah
untuk menutupi sela-sela atau kekosongan dalam shaf itu dasarnya adalah
hadis-hadis shahih, antara lain hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Dawud
lalu dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, yaitu “Sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda, “Tegakkanlah barisan sholat, rapatkan (diantara)
bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah serta jangan kalian biarkan
celah-celah bagi syetan. Siapa yang menyambungkan shaf maka Allah akan
mennyambungkannya dan siapa yang memutuskannya maka Allah pun akan
memutuskannya”. (Fathul Bari, Juz 2, h. 211).
Bagaimanapun kita tidak dapat
mengingkari sunnah Nabi Muhammad untuk merapatkan barisan dengan menempelkan
kaki atau bahu masing-masing jamaah sholat. Sunnah tersebut semestinya tetap
dipertahankan, tetapi jangan sampai kepentingan merapatkan shaf itu sampai
mengganggu kekhusyuan sholat. Bukankah khusyu dalam sholat itu sangat
menentukan baik-tidaknya orang yang mendirikan sholat? Dalam hubungan ini,
Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yang mereka itu
khusyu dalam sholatnya” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).
Jadi, kesibukan membereskan shaf atau
barisan sholat dengan menempelkan kaki seseorang kepada kaki yang lain dalam
sholat, atau menariknya untuk ditempelkan, maju atau mundur, dan kesibukan lain
seperti itu, semuanya mengganggu kekhusyuan sholat (baik orang itu sendiri
maupun orang lain di sampingnya). Bukankah Nabi Muhammad telah menegaskan,
“Sesungguhnya di dalam sholat itu ada kesibukan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka yang disunatkan bagi setiap orang
yang melakukan sholat adalah tidak membuka lebar-lebar ruang diantara kedua
kakinya. Dia hendaknya menetapkan jarak kakinya dengan kaki yang lain itu
minimal sejengkal atau lebih dekat lagi. Insya Allah, dengan demikian sunnah
menempelkan kaki dengan kaki itu terealisasikan. Demikian pula menempelkan bahu
dengan bahu. Barangsiapa yang bertentangan dengan cara ini, berarti dia telah
berbuat salah dan melakukan perbuatan yang makruh di dalam sholatnya.
Wallahu a’lam.
Masalah 3: Berdiri Terlalu Lama
Memanjangkan atau melamakan berdiri
dalam sholat dengan membaca Al-Qur’an lebih utama daripada melamakan sujud atau
ruku’. Nabi Muhammad pernah ditanya mengenai (perbuatan) sholat yang lebih
utama. Beliau menjawab, “Thulu al-qunut, lama berdiri” (HR. Muslim).[2]
Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud al-qunut tersebut ialah
“berdiri” sesuai dengan kesepakatan ulama. (Syarh Shahih Muslim, Juz 6,
h. 35).
Akan tetapi, lama bersujud lebih baik
daripada lama melakukan rukun sholat lainnya selain berdiri. Berdasarkan hadis
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Saat) yang paling dekat bagi
seorang hamba terhadap Tuhannya ialah ketika dia sujud. Maka
perbanyaklah—ketika sujud itu—berdoa” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam.
[1] Hadd ar-raki’in (batas
orang-orang yang ruku’), maksudnya seperti ukuran minimal orang yang ruku’, yaitu
jika miring dan meletakkan kedua telapak tangganya pada kedua lututnya, dia
mampu melakukannya sambil menegakkan badannya.
[2] Kata al-qunut mempunyai
banyak makna, antara lain ketaatan, diam, berdoa, berdiri di dalam sholat,
menahan (tidak) berbicara, dan lain-lainnya seperti yang diisyaratkan oleh para
etimolog.
Disarikan dari buku Shahih Shifah Shalah an-Nabi karangan Hasan bin Ali as-Saqqaf (terj. Shalat Bersama Nabi saw: Petunjuk Pelaksanaan Shalat Sejak Takbir Hingga Salam, Bandung: Pustaka Hidayah, h. 54-65).
No comments:
Post a Comment