12 March 2011

NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD SAW

| More
Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS. 24:35)

Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan cahaya nabimu dari Nur Allah (Hadis)

Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis).

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud nur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…”
Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” 

TENTANG WALI ALLAH

| More
Sesungguhnya, wali-wali Allah itu tak ada ketakutan bagi mereka, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia juga akhirat (QS. 10: 63).


Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia berarti menyatakan perang terhadap-Ku (Hadis Qudsi).

Kewalian adalah prinsip dasar dari jalan Tasawuf. Seperti dikatakan oleh Al-Hujwiri, “Ketahuilah prinsip dan landasan Tasawuf serta makrifat adalah bertumpu pada kewalian.” Wali-wali Allah (awliya) adalah orang-orang suci yang telah diberkati oleh Allah dan diangkat menjadi “sahabat-Nya”. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai penglihatan batin (mukasyafah) yang benar. 

Sesungguhnya, Setiap mukmin yang takwa adalah Wali Allah (kullu mu’minin taqiyyin fahuwa waliyullah). Maka, syarat menjadi Wali Allah adalah mukmin yang takwa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa, pertama, mukmin di sini adalah dalam pengertian yang “sempurna”. Kata wali dalam konteks ini adalah mengandung makna mubalaghah (sangat menekankan), yakni mukmin yang betul-betul taat. Mukmin yang sesungguhnya selalu mendasarkan perilakunya pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karenanya, seperti dinyatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Al-Quran sudah bercampur dengan darah dan daging mereka,” yang mengingatkan kita pada perkataan Aisyah, istri Nabi, bahwa “Akhlak Nabi adalah Al-Quran.” Dalam istilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kewalian adalah bayangan dari fungsi kenabian (zill al-nubuwwa), sebagaimana kenabian adalah bayangan dari fungsi ketuhanan.” Mukmin sejati akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (hakikatnya) bukan sebagaimana yang dipikirkan, sebab mereka itu melihat dengan Nur Allah (al-mu’minu yandzuru bi nurillahi ta’ala).

Kedua, syarat takwa di sini juga dalam pengertian yang hakiki (haqqa tuqatihi) yakni sebenar-benar takwa seperti diperintahkan dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 102. Takwa di sini mengandung dua aspek, lahir dan batin. Aspek lahirnya adalah pelaksanaan syariat, sedangkan aspek batinnya adalah niat yang suci (lillahi ta’ala) dan mujahadah. Jika seseorang sudah mencapai takwa yang hakiki ini barulah dia bisa disebut mukmin yang sejati, dan mukmin yang sejati adalah Wali Allah. Dan orang yang mukmin yang paling bertakwa bisa dipastikan paling mulia kedudukannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13—inna akramakum ‘inda Allahi atqakum—”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Dalam analisis terakhir, Wali Allah adalah orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah para “pejabat istana Tuhan”. Pada tingkat inilah mereka akan dilindungi oleh Allah, yang merupakan makna kedua dari kata “wali,” yakni “yang dilindungi atau dijaga”. Dalam Al-Quran, Surah Al-A’raf: 196, disebutkan, “Dan Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang shalih.”

09 March 2011

Pendekatan Studi Islam Perspektif Antropologis

| More
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
 Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...