Sesungguhnya, wali-wali Allah itu tak ada ketakutan bagi mereka, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia juga akhirat (QS. 10: 63).
Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia berarti menyatakan perang terhadap-Ku (Hadis Qudsi).
Kewalian adalah prinsip dasar dari jalan Tasawuf. Seperti dikatakan oleh Al-Hujwiri, “Ketahuilah prinsip dan landasan Tasawuf serta makrifat adalah bertumpu pada kewalian.” Wali-wali Allah (awliya) adalah orang-orang suci yang telah diberkati oleh Allah dan diangkat menjadi “sahabat-Nya”. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai penglihatan batin (mukasyafah) yang benar.
Sesungguhnya, Setiap mukmin yang takwa adalah Wali Allah (kullu mu’minin taqiyyin fahuwa waliyullah). Maka, syarat menjadi Wali Allah adalah mukmin yang takwa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa, pertama, mukmin di sini adalah dalam pengertian yang “sempurna”. Kata wali dalam konteks ini adalah mengandung makna mubalaghah (sangat menekankan), yakni mukmin yang betul-betul taat. Mukmin yang sesungguhnya selalu mendasarkan perilakunya pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karenanya, seperti dinyatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Al-Quran sudah bercampur dengan darah dan daging mereka,” yang mengingatkan kita pada perkataan Aisyah, istri Nabi, bahwa “Akhlak Nabi adalah Al-Quran.” Dalam istilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kewalian adalah bayangan dari fungsi kenabian (zill al-nubuwwa), sebagaimana kenabian adalah bayangan dari fungsi ketuhanan.” Mukmin sejati akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (hakikatnya) bukan sebagaimana yang dipikirkan, sebab mereka itu melihat dengan Nur Allah (al-mu’minu yandzuru bi nurillahi ta’ala).
Kedua, syarat takwa di sini juga dalam pengertian yang hakiki (haqqa tuqatihi) yakni sebenar-benar takwa seperti diperintahkan dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 102. Takwa di sini mengandung dua aspek, lahir dan batin. Aspek lahirnya adalah pelaksanaan syariat, sedangkan aspek batinnya adalah niat yang suci (lillahi ta’ala) dan mujahadah. Jika seseorang sudah mencapai takwa yang hakiki ini barulah dia bisa disebut mukmin yang sejati, dan mukmin yang sejati adalah Wali Allah. Dan orang yang mukmin yang paling bertakwa bisa dipastikan paling mulia kedudukannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13—inna akramakum ‘inda Allahi atqakum—”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Dalam analisis terakhir, Wali Allah adalah orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah para “pejabat istana Tuhan”. Pada tingkat inilah mereka akan dilindungi oleh Allah, yang merupakan makna kedua dari kata “wali,” yakni “yang dilindungi atau dijaga”. Dalam Al-Quran, Surah Al-A’raf: 196, disebutkan, “Dan Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang shalih.”
Dalam ajaran Tasawuf, Wali Allah mengemban fungsi kosmik yang paling agung, sebab merekalah yang benar-benar dianggap sebagai “ulama pewaris Nabi Muhammad yang sejati.” Mereka mengikuti jejak Nabi Muhammad bukan hanya dalam aspek kemanusiaan dan sosialnya tetapi juga dalam kapasitas spiritual dan esensi ruhaniah Nabi (al-haqiqah Al-Muhammadiyyah). Menurut tradisi Tasawuf, mereka adalah khalifah Allah yang sesungguhnya, wakil Allah di muka bumi. Para wali sangat dekat dengan Allah sehingga penglihatan (visi) mereka tidak berbeda dengan visi Allah—yandzuru bi nurillahi ta’ala, “(mereka) melihat dengan Nur Allah.” Sesuai dengan fungsi kosmis ini, maka Wali-wali Allah memiliki nama atau gelar dan kedudukan tersendiri dengan tugas khusus sesuai dengan kedudukan itu.
Tetapi setiap kali orang berbicara tentang Wali, muncul kesulitan, sebab sudah masyhur dalam tradisi Tasawuf bahwa “hanya Wali Allah yang mengenal Wali Allah.” Karena itu bisa dikatakan adalah tidak mungkin orang awam mengenal Wali. Tetapi, dalam kenyataannya, selalu ada kabar tersiar bahwa Syekh ini adalah Wali, Syekh itu adalah Wali; atau Syekh itu adalah Wali Qutub, Wali Badal, dan seterusnya. Orang bisa mengatakan bahwa seseorang tahu bahwa Syekh A adalah Wali lantaran Wali itu sendiri yang memberitahukan kewaliannya. Tetapi persoalan apakah seorang Wali tahu bahwa dirinya adalah Wali masih merupakan perdebatan di kalangan Sufi. Hanya saja perdebatan ini kurang signifikan, sebab argumen yang dipakai dalam soal ini didasarkan pada perbedaan perspektif dan pengalaman masing-masing sufi.
Yang paling lazim adalah seseorang atau orang-orang awam mengetahui kewalian karena ada Wali lain yang sudah masyhur mengatakan bahwa Syekh A adalah Wali. Bukan sesuatu yang aneh jika para Wali saling menyebut sesama Wali dan mengabarkannya kepada khalayak. Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, misalnya, mengabarkan kepada kita tentang banyak Wali Allah, yang sebagian adalah guru-gurunya, melalui salah satu risalahnya, Ruh Al-Quds.
Karena itu, pernyataan tersebut di atas akan lebih baik dipahami sebagai “hanya Wali yang mengenal kedudukan Wali.” Kedudukan ini lebih bersifat spiritual, dan karenanya dibutuhkan perspektif spiritual (atau kasyaf) pula untuk mengetahuinya. Misalnya, kita mengenal “Wali Songo,” dan disepakati oleh sebagian masyarakat awam bahwa mereka memang benar-benar Wali Allah. Tetapi, orang-orang awam tak mungkin mengetahui dari sembilan Wali itu mana yang memiliki peringkat lebih tinggi. Kita, orang awam, tidak tahu apakah salah satu dari Wali-wali itu ada yang memiliki kedudukan Qutb, Autad, atau Abdal (tentang maqam Wali ini akan dijelaskan lebih jauh nanti di bawah), kecuali kita diberi tahu sendiri oleh para Wali. Bahkan orang awam kadang juga bingung sebab sering kali ada seorang Wali yang dikabarkan memiliki beberapa kedudukan berbeda. Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi menyebut ada satu jenis Wali yang maqamnya aneh dan membingungkan. Wali ini mengetahui semua detail alam. Karena sekaligus mengumpulkan beberapa kedudukan, Wali jenis ini sulit untuk diklasifikasikan ke dalam salah satu maqam Wali saja. Bisa jadi Wali ini Qutb, atau mungkin juga bukan, hanya Allah dan mereka yang diberi tahu oleh-Nya yang bisa mengenal dengan pasti kedudukannya. Penulis pernah bertemu dengan seorang Wali yang maqam spiritualnya “tidak jelas.” Berdasarkan kesaksian para murid dan putranya sendiri, sang Wali ini dipuji oleh Almarhum Abuya Dimyati dari Banten sebagai Wali yang mengumpulkan semua kedudukan Wali. Sebaliknya, sang Wali itu sendiri menyebut Abuya Dimyati sebagai Qutb. Almarhum Syekh Habib Toha As-Syghaf juga mengatakan bahwa sang Wali itu adalah Qutb, juga Qutb al-Autad, juga Nujaba, juga Abdal, dan lainnya. Bahkan Wali itu sendiri juga “bingung” karena semua hal tentang dirinya berasal dari kesaksian pihak lain. Yang lebih mengherankan, penulis mendengar sendiri Wali Allah ini mengatakan hal yang ganjil — mungkin dalam kondisi ekstase (jadzab) —bahwa di dalam “perutnya berkumpul Awliya Allah.” Jumlah Awliya yang “hadir” secara ghaib pun berbeda-beda dari waktu ke waktu. Suatu malam penulis pernah bertanya kepada beliau tentang berapa jumlah Awliya Allah yang hadir saat itu, dan beliau tampak merenung sejenak, lalu menjawab “5,000 Wali,” dan di lain waktu beliau menjawab “25,000 Wali.” Menurut beliau, setiap hari siang dan malam tamu-tamu dari kalangan Wali Allah selalu berdatangan mengunjunginya secara gaib sehingga orang awam tak bisa melihatnya. Barangkali karena itulah Wali Allah ini selama lebih dari 10 tahun tidak tidur.
Sedikit kisah di atas sekali lagi menunjukkan bahwa orang awam tidak mungkin mengetahui dengan pasti kedudukan Wali Allah dengan berbagai aspeknya sebab kedudukan ini selalu berkaitan dengan alam ruhani yang hanya bisa diakses oleh ruh-ruh yang suci. Tetapi, menurut seorang santri, jika mengingat semua kedudukan berkumpul dalam diri Wali Allah itu, maka diduga dia adalah Sulthan al-Awliya. Wa Allahu a’lam.
Sering kali sesama Wali bahkan saling memuji dan mengagumi kedudukan masing-masing, dan bukan hal yang aneh jika beberapa Wali menyebut seorang Wali dengan maqam yang berbeda-beda sesuai pemahaman yang mereka peroleh dari kasyafnya. Kebiasaan para Wali Allah yang saling memuji sesama Wali dan menyebut kedudukannya secara berbeda inilah yang juga menambah kesulitan bagi orang awam untuk mengetahui maqam seorang Wali. Tetapi barangkali memang harus demikian adanya, sebab Wali Allah dalam tradisi Sufi kerap disebut sebagai “pengantin Tuhan,” dan karenanya hanya Sang Pasangan dan keluarga dekat-Nya sajalah yang berhak menyingkap tabir penutup wajahnya. Dalam hadis Qudsi dikatakan, “Sesungguhnya Wali-wali-Ku berada di bawah naungan kubah-Ku, dan hanya Aku yang mengenal mereka.” Suku kata akhir dari kata wali, yakni li dalam bahasa Arab berarti “milikku”. Wali Allah adalah kepunyaan Allah dan karenanya juga menyimpan rahasia “Perbendaharaan Tersembunyi” di dalam dirinya.
• Hirarki Wali Allah
Kedudukan spiritual Wali terdiri dari tingkatan-tingkatan dari yang tertinggi hingga yang terendah. Masing-masing derajat ini sesuai dengan tingkatan realisasinya. Tetapi ada beberapa pandangan tentang maqam atau kedudukan kewalian yang berbeda-beda, dan berikut ini beberapa di antaranya.
• Menurut Syekh Hakim Al-Tirmidhi, ada lima kategori umum Wali: al-budala, Wali-wali pengganti, yang berada pada derajat kedekatan; al-akhyar orang-orang pilihan, manusia yang memilih Allah dan karenanya Allah pun memilih mereka; al-abrar, “orang-orang baik,” mereka adalah orang-orang yang amalnya bebas dari segala sesuatu selain Allah; al-muhadditsin, orang yang dijaga dengan kebenaran oleh Allah; dan khatam al-awliya, penutup para Wali. Kedudukannya berada di atas semua kedudukan Wali.
• Menurut Syekh Husain Kamal, jumlah golongan Wali dalam tradisi Tarekat Chistiyyah disebutkan ada 1 Qutb al-Awliya, 70 Wali Nujaba, 300 Wali Nuqaba, 500 Wali Akhyar, 25 Wali Abrar, 4 Wali Awtad, dan 40 Wali Abdal.
• Menurut Al-Hujwiri, berdasarkan keterangan para Sufi ahli kasyaf, ada satu Wali Qutb, tiga orang (atau 12 orang menurut Ibnu ‘Arabi) Wali Nuqaba, empat orang Wali Awtad, empat puluh (atau tujuh versi Ibnu ‘Arabi) orang Wali Abdal, tiga ratus orang Wali Akhyar, dan empat ribu Wali yang tersembunyi, atau rijal al-ghaib.
• Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi bahkan “memetakan” struktur kedudukan Wali ini dalam kitab Futuhat Al-Makiyyah. Menurutnya ada 84 kategori Wali, dan 35 di antaranya memiliki batas pada masa tertentu. Keterangan Wali dari Ibnu ‘Arabi ini juga dikutip oleh Syekh Yusuf An-Nabhani dalam kitab Jami’ Karamah Al-Awliya.
Dalam ajaran Muhyiddin Ibn ‘Arabi ini, Wali yang tertinggi dinamakan Qutb (Kutub) atau Poros Alam. Ia kadang juga dinamakan Ghauts (Penolong) atau Sulthan Al-Awliya (Raja Para Wali). Tetapi sebagian membedakan antara Sulthan Al-Awliya dengan Qutb. Menurut pandangan ini, semua Sulthan Al-Awliya adalah Qutb, tetapi tidak semua Qutb adalah Sulthan Al-Awliya. Kadang dinamakan Qutb Al-Aqtab, atau Kutubnya Kutub. Kadang-kadang dikatakan Qutb memiliki dua wakil, yakni dinamakan Wali Aimmah. Salah satu Wali Aimah yakni “Imam Kanan” hanya mengetahui alam malakut (alam kekuasaan, alam gaib), dan yang satunya, “Imam Kiri” hanya mengetahui alam mulk (alam kerajaan, alam dunia jasmani).
Kutub adalah pusat daya-daya spiritual. Ia mengumpulkan semua maqam. Ia adalah Kutub semesta lahiriah maupun semesta batiniah, yang semuanya berputar di sekelilingnya, seperti Kakbah yang menjadi sumbu perputaran dalam thawaf. Kadang-kadang Kutub diberi kekuasaan eksternal (politik) atas seluruh umat. Empat khalifah pertama pasca Nabi adalah Qutb, yang memiliki kekuasaan politik. Tetapi kebanyakan Qutb adalah penguasa ruhani, dan tidak memiliki kekuasaan politik. Abu Yazid Al-Bisthami dan Maulana Rumi adalah contoh dari jenis Wali ini. Mayoritas Wali Kutub tidak memiliki kekuasaan eksternal.
Dalam setiap zaman hanya ada satu Kutub, di mana semua Wali berputar di sekelilingnya, dan pandangan ini hampir disepakati, seperti dijelaskan oleh Hakim Al-Tirmidhi, Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi dan Al-Hujwiri. Meski sudah menjadi kesepakatan hanya ada satu Kutub di setiap zaman, namun dalam kenyataan sejarah kita kerap menjumpai kabar bahwa ada lebih dari satu Syekh Sufi yang hidup dalam kurun waktu yang sama, atau berdekatan, tetapi dianggap sebagai Kutub. Juga dalam setiap tarekat, sering kali muncul klaim bahwa pendiri tarekat, yang sama-sama hidup dalam kurun waktu yang relatif sama, atau beberapa mursyid penerusnya menempati kedudukan Maqam Kutub. Bahkan di masa sekarang pun terdapat beberapa kabar ada Wali Qutb lebih dari satu yang berada di beberapa tempat.
Dalam sebuah kesempatan yang amat langka, sembari makan bersama seorang Wali Allah, penulis “iseng-iseng” bertanya kepada beliau tentang di mana ada Kutub pada zaman ini. Beliau meminta penulis untuk menyebutkan nama tempat. Ketika penulis menyebut Amerika, beliau bilang tidak ada. Ketika penulis menyebut Cyprus, beliau menyebut ada satu. Ketika menyebut Mesir, beliau menyebut ada satu, tetapi usianya belum mencapai akil baligh. Dalam percakapan “ringan” ini setidaknya beliau menyebut ada tiga Wali Kutub, dan satu lagi yang beliau minta dirahasiakan, dan karenanya tidak bisa diungkapkan di sini.
Barangkali Kutub yang dimaksud di sini adalah seperti yang disinggung oleh Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, yakni Kutub untuk maqam spiritual tertentu. Karenanya, dalam maqam tawakal, misalnya, terdapat satu Kutub, tempat manifestasi tertinggi dari maqam spiritual tertentu pada zamannya. Ibnu ‘Arabi sendiri, misalnya, dikenal sebagai Sulthan Al-’Arifin (Kutub atau Rajanya Orang Berpengetahuan), sedangkan Maulana Rumi adalah Sulthan Al-Muhibbin (Kutub atau Rajanya Para Pencinta). Atau, persoalannya adalah pada “zaman”. Kutub hanya satu untuk setiap masa, tetapi persoalannya adalah “masa” atau zaman yang mana? Jika sudah bicara dunia spiritual, waktu adalah relatif, nonlinier, dan ada banyak alam selain alam dunia ini, yang berarti juga ada banyak masa atau zaman. Bagaimanapun, ini akan tetap menjadi misteri, dan kita orang awam hanya bisa berspekulasi berdasarkan keterangan-keterangan.
Kebanyakan Qutb tersembunyi, atau hanya dikenal oleh Wali tertentu, dan hanya sebagian kecil Qutb atau Sulthan Al-Awliya yang masyhur dan dikenal banyak orang awam. Kadang-kadang Qutb baru dikenal banyak orang setelah dia meninggal dunia. Kadang-kadang Qutb terang-terangan menyatakan diri sebagai Qutb kepada murid tertentu, atau “ketahuan” sebagai Qutb oleh murid tertentu. Misalnya, Kiai Kholil dari Bangkalan, Madura, pernah mengaku secara terus-terang kepada Kiai Ridwan bahwa dirinya adalah Qutb, namun ia berpesan agar kedudukan ini tidak disebarluaskan ke khalayak umum sebelum dirinya meninggal. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo. Dalam kasus ini kedudukannya “ketahuan” oleh salah seorang muridnya setelah sang murid bertemu dengan seorang Wali di Mekah yang menyuruhnya membacakan ayat tertentu (Surah An-Nisa: 41) kepada Kiai As’ad. Ayat ini membuat Kiai menangis selama hampir sejam, dan terbukalah kedudukan sesungguhnya dari Kiai As’ad. Tetapi beliau juga berpesan agar rahasia ini tidak diungkapkan sebelum dirinya meninggal.
Wali Qutb juga kadang disetarakan dengan kaum afrad, yakni orang-orang yang menyendiri, yang dikuasai oleh Asma Al-Fard, Yang Mahaunik. Kedudukan spiritual kaum afrad ini tidak diketahui, dan karenanya mereka sering disalahpahami. Mereka menerima pengetahuan dari Allah yang hanya dikhususkan untuk mereka sendiri, tidak untuk orang lain. Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib, misalnya, menyatakan bahwa dirinya punya pengetahuan khusus di dadanya tetapi ia tidak bisa menemukan satu orang pun yang mampu menerima ilmu itu. Bahkan jika ilmu itu diungkap sembarangan, akan menyebabkan “lehernya dipenggal” karena akan dituduh kafir. Afrad pada awal-awal zaman Islam selain Ali adalah Ibnu Abbas, Umar Ibnu Khattab dan Imam Ibnu Hanbal. Sedangkan afrad di antara tokoh Tasawuf termasyhur adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Abu Su’ud Ibnu Al-Shibli dan Muhammad Ibnu Qa’id Al-Awani. Kebanyakan Wali afrad telah dimasukkan ke “Tenda Misteri” (suradiqat al-ghayb) dan tersembunyi di balik perilaku biasa.
Sebagian afrad, ketika hadir di tengah orang, tidak diperhatikan, dan ketika mereka pergi pun tidak ada yang memperhatikannya. Karamah mereka juga tak kelihatan. Afrad adalah tingkat tertinggi dalam kelompok Wali yang dinamakan malamatiyya, yakni orang yang “mencela diri sendiri”. Kelompok ini tidak menyembunyikan kejelekan mereka tetapi juga tidak menampakkan kebaikan mereka demi menjaga keikhlasan ubudiyyahnya. Rumusan doa mereka yang terus-menerus dibaca adalah la hawla wala quwwata illa billahi, “tiada daya dan kekuatan kecuali melalui Allah.” Sebagai sebuah gerakan, malamatiyya didirikan oleh Sufi Hamdun Al-Qashar dari Naisyapur, Khurasan.
Sebagian afrad lainnya amat terkenal, seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, karena mereka diwajibkan oleh Allah untuk mengenakan atribut kepemimpinan dan memainkan peran pengaturan (tadbir). Wali afrad, sebagaimana Wali-wali lain, juga dikenal doanya yang amat manjur. Ada kisah menarik dalam soal ini. Syekh Abu Abdallah Al-Sharafi, yang dianggap afrad oleh Ibnu ‘Arabi, sering menghilang setiap musim haji karena dia secara ajaib dipindahkan ke Mekah. Jika orang-orang mengetahui keberadaannya, orang-orang itu akan mendekatinya, lalu mengeraskan bacaan doanya agar diamini oleh Syekh itu.
Wali-wali di bawah Kutub, seperti Autad, Abdal Nujaba, Nuqaba, dan sebagainya mempunyai fungsi tertentu dalam tata keseimbangan kosmos. Sebagian keadaan Wali yang tidak semua tampak (rijal al-ghaib) adalah ganjil dan muncul dalam batas atau wilayah tertentu. Dalam percakapan dengan seorang Wali Allah, penulis mendapat informasi ada 300 jenis kelakuan Wali yang berbeda-beda, dan sebagian ganjil. Sayang beliau hanya menyebut satu contoh Wali yang sehari-harinya biasa jungkir-balik.
Misalnya, ada Wali yang gampang iba, Wali Awwahun, yang mengikuti teladan Nabi Ibrahim. Juga ada Wali yang tinggal di gunung-gunung, atau di dalam air, yakni Wali dari golongan Rijal al-ma’, orang yang beribadah di dasar laut dan sungai. Wali jenis ini pernah ditemui oleh Sufi Abu Su’ud Ibnu Sybli. Dalam kesempatan berbincang ringan sembari merokok dan minum kopi dengan seorang Wali Allah, penulis mencoba mengetahui apakah ada Wali penguasa air atau gunung di Indonesia. Beliau menjawab ada. Dan ada banyak Wali jenis ini, salah satunya di Sungai Bengawan Solo. Di Gunung Gede, Bogor, menurutnya ada satu rijal al-ghaib. Juga di Gunung Lawu, dan di beberapa gunung lain. Tetapi dalam kasus ini menurut beliau hakikatnya hanya bisa diketahui oleh Wali yang berkedudukan tinggi. Sebab, bagi orang awam amat adalah sulit, jika tidak boleh dikatakan mustahil, untuk membedakan antara rijal al-ghaib yang suci dengan pertapa biasa, bangsa jin (baik saleh atau kafir) dan makhluk ruhaniah lainnya.
Juga ada Wali yang hanya muncul pada bulan Rajab, yakni kaum Rajabiyyun yang berjumlah 40 orang. Ini adalah Wali yang unik dan hanya sedikit Wali yang mengenalnya. Mereka dinamakan Rajabiyyun karena ia mengalami ahwal spiritual pada bulan Rajab. Deskripsi keadaan Wali unik ini ada dalam Kitab Jami’ Karamat: “Di hari pertama bulan Rajab, seorang Rajabiyyun akan merasa amat berat seperti memikul langit, sehingga ia tak bisa bergerak dan bahkan tak bisa berkedip. Ia hanya bisa berbaring saja … Keadaan ini berkurang sedikit demi sedikit pada hari kedua dan ketiga Rajab. Lalu ia mengalami mukasyafah, tajaliiyat dan hal-hal gaib tersibak di hadapannya. Ia baru bisa bicara setelah akhir bulan. Keadaan Rajabiyyun ini aneh dan tidak diketahui sebabnya, dan hanya terjadi di bulan Rajab.”
Empat Wali Autad masing-masing menguasai empat penjuru angin, dilihat dari Kakbah. Sebagian dari mereka adalah perempuan. Masing-masing punya gelar, yakni: Abdul Hayyi, Abdul ‘Alim, Abdul Qadir, dan Abdul Murid. Menurut Ibnu ‘Arabi, autad primordial dipegang oleh empat nabi, yakni Idris, Isa, Ilyas dan Khidir. Salah satu dari keempat nabi ini adalah Kutub. Salah satunya adalah tiang dari Rumah Agama, yang berhubungan hajar aswad di Kakbah. Dua lainnya adalah Imam. Keempatnya bergabung menjadi pilar-pilar (autad) dunia. Melalui merekalah Allah melindungi dan memelihara kewalian, kenabian dan risalah wahyu, serta kemurnian agama (din). Yang menarik di sini adalah keempat nabi itu diyakini masih hidup, dalam arti belum meninggal secara fisik. Idris dan Isa diangkat oleh Allah ke surga, sedangkan Ilyas dan Khidir masih berada di bumi tetapi tersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Idris berada di posisi tengah tujuh planet dan menempati maqam Kutub dunia. Dua Imam adalah Isa dan Ilyas. Dan Khidir adalah autad keempat yang berkaitan dengan Kakbah.
Wali abdal (jamak: badal) memiliki wilayah tersendiri. Masing-masing Wali mengikuti jejak salah satu Nabi: Ibrahim, Musa, Harun, Idris, Yusuf, Isa, dan Adam. Mereka dinamakan badal karena jika salah satu dari mereka sudah tidak ada, akan ada penggantinya. Menurut Abu Thalib Al-Makki, mereka mencapai kedudukan ini dengan empat hal: puasa, bangun malam, diam dan uzlah. Mereka umumnya tersembunyi dari orang awam dan Wali. Ketika keberadaan mereka di suatu tempat diketahui oleh orang lain, biasanya mereka akan pergi dari tempat itu. Dua belas Wali Nuqaba mengetahui khasiat dari 12 zodiak. Wali Nuqaba ini juga memiliki kemampuan melihat setan atau iblis yang bersembunyi dalam jiwa manusia beserta tipu daya mereka—bahkan dijelaskan, “… ketika mereka melihat jejak kaki seseorang di pasir, mereka langsung tahu apakah orang itu adalah orang yang terpilih (selamat) atau orang yang terkutuk.”
Kemudian ada hawariyyun (sebuah julukan yang mengacu kepada sahabat-sahabat Nabi Isa), jumlahnya tak lebih dari satu di setiap zaman. Wali jenis ini akan mempertahankan agama baik dengan pedang (perang) maupun dengan hujah yang meyakinkan. Sejak Rasulullah Saw. wafat, hanya ada satu hawariyyun yang diizinkan menggunakan mu’jizat, yang berbeda dengan karamah.
Wali-wali lain yang jumlahnya banyak sekali memiliki fungsi dan ciri khas tersendiri yang hanya diketahui oleh sesama Wali. Mereka mengemban peran yang mengungkapkan tajalli Tuhan, yang kadang melampaui kategori kewalian. Dan karenanya kita sering mendengar ada satu Wali yang sekaligus menempati beberapa kedudukan, seperti telah kita singgung di atas.
Wallahu a'lam bis shawab.
-------------------
No comments:
Post a Comment