05 March 2011

PEMERINTAHAN NABI MUHAMMAD SAW

| More
Pemerintahan pada masa Nabi  Muhammad saw, merupakan realita kehidupan ummat Islam sepanjang perjalanan politik Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah bagi masyarakat Madinah yang plural dan menerima agama baru (Agama Islam) yang dibawa oleh Nabi saw yang pada waktu itu belum mempunyai tempat atau wilayah yang bisa mengendalikan kepemimpinan syariat Islam. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi perjuangan Nabi saw yang kemudian lahir sebuah kebijakan-kebijakan Nabi yang sangat strategis diantaranya tentang perintah hijrah ke Habsah, mengadakan kerjasama dengan suku-suku diluar Makkah, melahirkan bai’at, melindungi orang-orang yang tertindas dan mengupayakan kesejahteraan.
Realita politik Madinah merupakan rangkaian strategis yang berimplikasi pada masyarakat Islam yang menerima perubahan-perubahan positif diantaranya: Pertama, Ikatan daerah atau wilayah, Dari sini Madinah merupakan tempat tinggal bagi ummat Islam. Kedua, jiwa kemasyarakatan, artinya dengan pemikiran dari ummat Islam Madinah dapat dipersatukan untuk tujuan yang sama. Ketiga, domonasi politik, hal ini terjadi karena keterlibatan ummat Islam secara langsung berperan dalam urusan-urusan politik.[1]
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga pendidikan. Pasukan Quraisy yang tertawan dalam perang Badar dibebaskan dengan syarat setiap mereka mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak- anak muslim.  Semenjak saat itu kegiatan belajar baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat. Ketika Islam telah tersebar ke seluruh penjuru jazirah Arabia, Nabi mengatur pengiriman guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur'an kepada masyarakat suku-suku terpencil.



Setelah Nabi menetap di Madinah kalau dilihat dari strukrur keagamaan dan masyarakatnya yang menunjukan adanya masyarakat yang plural. Yaitu:
a.       Kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor
b.      Kaum yahudi yang terdiri dari bani Nadhir, bani Quraidhah dan lain-lain
c.       Orang-orang munafik
d.      Orang-orang penyembah berhala
Disini Nabi membangun struktur kehidupan ummat yang meliputi semua elemen yang berbeda-beda agama, dan Nabi berhasil mewujudkan piagam politik yang merupakan langkah strategis. Karena meletakkan piagam sebagai persatuan hidup bagi seluruh penduduk Madinah dengan tidak membedakan keturunan, bangsa dan agama. Piagam ini merupakan naskah politik yang kedudukannya sebagai dustur atau konstitusi Madinah. Piagam ini mempunyai tiga bagian dan empat puluh tujuh poin. Tiga bagian tersebut, pertama, khusus berkaitan dengan orang-orang Islam Muhajirin dan Anshor. Kedua, khusus yang berkaiatan dengan orang-orang Yahudi. Ketiga, meliputi seluruh penduduk Madinah.[2]
Disini Nabi Muhammad saw tidak hanya berperan sebagai pembaharu masyarakat, tetapi beliau juga sebagai pendiri sebuah bangsa yang besar. Pada tahap awal, Nabi berjuang mendirikan sebuah kebangsaan dengan menyatukan para pemeluknya, lalu beliau merancang sebuah kekuasaan (imperium) yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan kerja sama berbagai kelompok yang terkait. Pada saat awal ini Nabi berhasil mendirikan sebuah negara Madinah, yang semula terdiri dari kelompok masyarakat yang heterogen yang satu sama lainnya saling bermusuhan.
Maka masyarakat Madinah menjadi bersatu dalam kesatuan negara Madinah. Lalu Nabi Muhammad saw menyampaikan beberapa ketentuan hukum yang memberlakukan semua kelompok tersebut dalam kedudukan yang sama, tidak mengenal perbedaan kedudukan karena nasab, kelas sosial dan lain-lain
Menurut Ahmad Sukardja dalam karyanya “Piagam Madinah dan Undang-undang dasar 1945” menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada masa awal klasik Islam, tepatnya pada tahun 622M sebagai konstitusi yang dibuat oleh seorang Negarawan yang berkedudukan sebagai Rasul dengan dibantu oleh para sahabatnya.[3] Karena Piagam Madinah ini bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama antara sesama ummat dan masyarakat Madinah yang majmuk. Dengan demikian berdasarkan piagam Madinah yang telah ditetapkan dan di sepakati bersama oleh seluruh elemen masyarakat Madinah yang majmuk, maka Madinah secara otomatis menjadi Negara (City State) yang berdaulat, dimana Nabi sebagai pendirinya dan Nabi dipandang bukan saja sebagi Nabi dan Rasul tetapi pada saat yang sama Nabi dipandang sebagai kepala Negara.[4]
Dari sinilah terjadi proklamasi berdirinya Negara Islam, maka secara otomatis pemerintahan Islam telah dimulai. Dalam konteks ini Munawir Sadjali memberikan tanggapan bahwa banyak diantara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi Negara Islam yang pertama dan didirikan oleh Nabi di Madinah.[5]
Akan tetapi menurut Said Aqil Siradj, Nabi Muhammad mendirikan Negara bukan karena Agama, akan tetapi karena hukum (tamaddun), dan namanya bukan Negara Islam melainkan Negara Madinah. Didalam piagam madinah, khususnya didalam kitab Al-sirah An-Nabawiyah karangan Abdul Malik Ibn Hisyam Al-Anshori juz 2 halaman 119-122 menyebutkan: umat islam pendatang, pribumi dan yahudi asalkan satu cita-cita, sati visi misi, satu garis perjuangan, karena semuanya itu ummatun wahidun.[6]
Dalam urusan tersebut, kedudukan Nabi Muhammad saw adalah sebagai kepala pemerintahan. Jadi Nabi menjabat peran atau fungsi ganda yaitu sebagai fungsi kenabian dan fungsi kepemerintahan. Sekalipun Nabi menjabat otoritas tertinggi, namun beliau sering mengajak musyawarah para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah penting. Langkah kebijakan yang pertama kali dilakukan Nabi Muhammad saw di Madinah adalah membangun masjid, yang dikenal sebagai Masjid Nabawi, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan Islam. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga berfungsi untuk kantor pemerintah pusat dan peradilan. Perjanjian dan perjamuan para delegasi asing, penetapan surat perintah kepada para gubernur dan pengumpulan pajak diselenggarakan di masjid. Sebagai hakim, Nabi memeriksa dan memutuskan suatu perkara di masjid.
Nabi Muhammad saw merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan kepada masyarakat Arab sistem pendapatan dan pembelanjaan pemerintahan. Beliau mendirikan lembaga kekayaan masyarakat di Madinah. Lima sumber utama pendapatan negara Islam yaitu Zakat, Jizyah (pajak perorangan), Kharaj (pajak tanah), Ghanimah (hasil rampasan perang) dan al-Fay' (hasil tanah negara). Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim atas harta kekayaan yang berupa binatang ternak, hasil pertanian, emas, perak, harta perdagangan dan pendapatan lainnya yang diperoleh seseorang. Jizyah merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat non muslim sebagai biaya pengganti atas jaminan keamanan jiwa dan harta benda mereka. Penguasa Islam wajib mengembalikan jizyah jika tidak berhasil menjamin dan melindungi jiwa dan harta kekayaan masyarakat non muslim. Kharaj merupakan pajak atas kepemilikan tanah yang dipungut kepada setiap masyarakat non muslim yang memiliki tanah pertanian. Ghanimah merupakan hasil rampasan perang yang 4/5 dari ghanimah tersebut dibagikan kepada pasukan yang turut berperang dan sisanya yaitu 1/5 didistribusikan untuk keperluan keluarga Nabi, anak-anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan umum masyarakat. al-Fay' pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah yang berada di wilayah negeri yang ditaklukkan, kemudian menjadi harta milik negara.
Pada masa Nabi, Negara mempunyai tanah-tanah pertanian yang luas, yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum masyarakat. Nabi Muhammad saw merupakan pimpinan tertinggi tentara muslim. Beliau turut serta dalam peperangan dan ekspedisi militer. Bahkan Nabi memimpin beberapa perang besar seperti perang Badar, Uhud, Khandaq, Hunayn dan dalam penaklukkan kota Makkah. Peperangan dan ekspedisi yang lebih kecil diserahkan kepada para komandan yang ditunjuk oleh Nabi. Nabi Muhammad saw selalu mendorong masyarakat untuk giat belajar.
Perjalanan pemerintahan Islam Madinah yang dibangun Nabi Saw. mengingatkan kepada umat Islam untuk melihat kembali realitas pemerintahan yang ada di Indonesia. Sampai saat ini Negara Indonesia dikenal sebagai negara, yang diklaim oleh para  pengamat adalah memiliki sistem pemerintahan yang demokratis. Tetapi di satu sisi perlu diketahui, dari hasil pembacaan realitas perjalanan pemerintahan Negara Indonesia selama kemerdekaannya, sesungguhnya belum mendapat prestasi besar di hadapan publiknya dan dunia Internasional dalam menegakkan keadilan, dimana keadilan adalah indikator utama adanya demokrasitisasi dalam sebuah Negara. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, terbalik menjadi penindas hak-hak rakyat. Supremasi hukum yang semestinya menjadi tata aturan yang melindungi dan membela harkat dan martabat bangsa, ternyata dijadikan alat politik untuk melindungi kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA
·         Ali, Sirajuddin, Pemikiran Politik Islam Klasik (Diktat Studi Pemikiran Politik Islam), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
·         Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985
·         Sadjali, Munawir, Islam Dan Tata Negara, (Ajaran, Sejarah, Pemikiran), jakarta: UI-Press, 1990
·         Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, (Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majmuk), Jakarta; UI-Press, 1995



[1] Sirajuddin Ali, Pemikiran Politik Islam Klasik (Diktat Studi Pemikiran Politik Islam), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 6
[2] Ibid, h. 11
[3] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang dasar 1945, (Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majmuk), Jakarta; UI-Press, 1995, h. 5
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985, jilid 1, h. 22
[5] Munawir Sadjali, Islam Dan Tata Negara, (Ajaran, Sejarah, Pemikiran), jakarta: UI-Press, 1990, h. 10
[6] Said Aqil Siradj dalam stadium general di Malhilaul Falah, pati, 12 Oktober 2005

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...