Hijrah adalah keniscayaan. Allah swt. membangun sistem di alam ini berdasarkan gerak. Pelanit bergerak, berjalan pada porosnya. Allah berfirman: ”Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin: 38). Imam Syafii’i menggambarkan dalam sya’irnya yang sangat indah bahwa air yang tergenang akan busuk dan air yang mengalir akan bening dan jernih. Seandainya matahari berhenti di ufuk timur terus menerus, niscaya manusia akan bosan dan stres.
Benar, hijrah sebuah keniscayaan. Karena dalam diam tersimpan segala macam keburukan. Mobil yang didiamkan berhari-hari akan karat dan hancur. Jasad yang didudukkan terus menerus akan mengidap banyak penyakit. Itulah rahasia mengapa harus olah raga. Syaikh Muhammad Al Ghazali berkata: ”Bahwa orang-orang yang nganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohonan yang tanpa buah para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan.”
Terbukanya kota Mekah adalah keberkahan hijrah. Seandainya Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya tetap berdiam di kota Mekah, tidak pernah terbayang akan lahir sebuah kekuatan besar yang kemudian menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh berkat hijrah ke kota Madinah kekuatan baru umat Islam terbangun, yang darinya kepemimpinan Islam merambah jauh, tidak hanya melampaui kota Mekah, pun tidak hanya melampaui Jazirah Arabia, melainkan lebih dari itu melampaui Persia dan Romawi.
Ada beberapa dimensi hijrah yang harus kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari di era modern ini, agar kita medapatkan keberkahan:
Pertama, dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kwalitas keimannya dari hari kemarin. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. selalu menggunakan kata ahsanu amala (paling baiknya amal). Maksudnya bahwa tidak pantas seorang mukmin masuk di lubang yang sama dua kali. Itulah sebabnya mengapa sepertiga Al-Qur’an menggambarkan peristiwa sejarah. Itu untuk menekankan betapa pentingnya belajar dari sejarah dalam membangun ketaqwaan. Dari sini kita paham mengapa Allah swt. dalam surah Al Hasyr:18 menyandingkan perintah bertaqwa dengan perintah belajar dari sejarah: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kedua, dimensi sosial, bahwa seorang mukmin tidak pantas berbuat dzalim, mengambil penghasilan secara haram dan hidup bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Seorang mukmin harus segera hijrah dari situasi sosial semacam ini. Seorang mukmin harus segera membangun budaya takaful –saling menanggung-. Itulah rahasia disyari’atkannya zakat. Bahwa di dalam harta yang kita punya ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah berfirman : ”Walladziina fii amwaalihim haqqun ma’luum (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.”) (QS. Al Maarij: 24).
Dan ini telah terbukti dalam sejarah bahwa membangun budaya takaful akan menyelesaikan banyak penyakit sosial yang akhir-akhir ini sangat mencekam. Terlalu tingginya angka kemiskinan dan penganggguran di tengah negeri yang kaya secara sumber alam, sungguh suatu pemandangan yang naif. Namun ini tentu ada sebabnya, di antaranya yang paling pokok adalah karena kedzaliman dan ketidak jujuran. Dari sini jelas bahwa hijrah yang harus dibuktikan saat ini adalah komitmen untuk tidak lagi mengulangi budaya korupsi. Sebab dari budaya inilah berbagai penyakit sosial lainnya tak terhindarkan.
Ketiga, dimensi dakwah, bahwa seorang mukmin tidak boleh berhenti pada titik sekedar mengaku sebagai seorang mukmin secara ritual saja, melainkan harus dibuktikan dengan mengajak orang lain kepada kebaikan. Ingat bahwa syetan siang dan malam selalu bekerja keras mengajak orang lain ke neraka. Syetan berkomitmen untuk tidak masuk neraka sendirian.
Dari sini saatnya seorang mukmin harus bersaing dengan syetan. Ia harus hijrah dari sikap pasif kepada sikap produktif. Produktif dalam arti bekerja keras mengajak orang lain ke jalan Allah. Sebab tidak pantas seorang mukmin bersikap pasif. Pasifnya seorang mukmin bukan saja akan membawa banyak bakteri pelemah iman, melainkan juga membawa bencana bagi kemanusiaan.
Itulah sebabnya mengapa seorang pemikir muslim abad ini dari India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan menomental: maadzaa khasiral aalam bin khithaathil muslimiin ( betapa dahsyatnya kerugian yang dialami dunia ketika umat Islam tidak berdaya).
Ini benar, bahwa dunia ini memang membutuhkan umat Islam yang berdaya. Umat Islam yang produktif. Bukan umat Islam yang pasif. Dan kini kita menyaksikan dengan mata kepada betapa kerusakan merejalela melanda kemanusiaan akibat dari lemahnya umat Islam. Bandingkan dengan dulu ketika Umar Bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz memimpin dunia. Inilah hijrah yang harus segara kita buktikan.
Benar, hijrah sebuah keniscayaan. Karena dalam diam tersimpan segala macam keburukan. Mobil yang didiamkan berhari-hari akan karat dan hancur. Jasad yang didudukkan terus menerus akan mengidap banyak penyakit. Itulah rahasia mengapa harus olah raga. Syaikh Muhammad Al Ghazali berkata: ”Bahwa orang-orang yang nganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohonan yang tanpa buah para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan.”
Terbukanya kota Mekah adalah keberkahan hijrah. Seandainya Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya tetap berdiam di kota Mekah, tidak pernah terbayang akan lahir sebuah kekuatan besar yang kemudian menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh berkat hijrah ke kota Madinah kekuatan baru umat Islam terbangun, yang darinya kepemimpinan Islam merambah jauh, tidak hanya melampaui kota Mekah, pun tidak hanya melampaui Jazirah Arabia, melainkan lebih dari itu melampaui Persia dan Romawi.
Ada beberapa dimensi hijrah yang harus kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari di era modern ini, agar kita medapatkan keberkahan:
Pertama, dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kwalitas keimannya dari hari kemarin. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. selalu menggunakan kata ahsanu amala (paling baiknya amal). Maksudnya bahwa tidak pantas seorang mukmin masuk di lubang yang sama dua kali. Itulah sebabnya mengapa sepertiga Al-Qur’an menggambarkan peristiwa sejarah. Itu untuk menekankan betapa pentingnya belajar dari sejarah dalam membangun ketaqwaan. Dari sini kita paham mengapa Allah swt. dalam surah Al Hasyr:18 menyandingkan perintah bertaqwa dengan perintah belajar dari sejarah: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kedua, dimensi sosial, bahwa seorang mukmin tidak pantas berbuat dzalim, mengambil penghasilan secara haram dan hidup bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Seorang mukmin harus segera hijrah dari situasi sosial semacam ini. Seorang mukmin harus segera membangun budaya takaful –saling menanggung-. Itulah rahasia disyari’atkannya zakat. Bahwa di dalam harta yang kita punya ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah berfirman : ”Walladziina fii amwaalihim haqqun ma’luum (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.”) (QS. Al Maarij: 24).
Dan ini telah terbukti dalam sejarah bahwa membangun budaya takaful akan menyelesaikan banyak penyakit sosial yang akhir-akhir ini sangat mencekam. Terlalu tingginya angka kemiskinan dan penganggguran di tengah negeri yang kaya secara sumber alam, sungguh suatu pemandangan yang naif. Namun ini tentu ada sebabnya, di antaranya yang paling pokok adalah karena kedzaliman dan ketidak jujuran. Dari sini jelas bahwa hijrah yang harus dibuktikan saat ini adalah komitmen untuk tidak lagi mengulangi budaya korupsi. Sebab dari budaya inilah berbagai penyakit sosial lainnya tak terhindarkan.
Ketiga, dimensi dakwah, bahwa seorang mukmin tidak boleh berhenti pada titik sekedar mengaku sebagai seorang mukmin secara ritual saja, melainkan harus dibuktikan dengan mengajak orang lain kepada kebaikan. Ingat bahwa syetan siang dan malam selalu bekerja keras mengajak orang lain ke neraka. Syetan berkomitmen untuk tidak masuk neraka sendirian.
Dari sini saatnya seorang mukmin harus bersaing dengan syetan. Ia harus hijrah dari sikap pasif kepada sikap produktif. Produktif dalam arti bekerja keras mengajak orang lain ke jalan Allah. Sebab tidak pantas seorang mukmin bersikap pasif. Pasifnya seorang mukmin bukan saja akan membawa banyak bakteri pelemah iman, melainkan juga membawa bencana bagi kemanusiaan.
Itulah sebabnya mengapa seorang pemikir muslim abad ini dari India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan menomental: maadzaa khasiral aalam bin khithaathil muslimiin ( betapa dahsyatnya kerugian yang dialami dunia ketika umat Islam tidak berdaya).
Ini benar, bahwa dunia ini memang membutuhkan umat Islam yang berdaya. Umat Islam yang produktif. Bukan umat Islam yang pasif. Dan kini kita menyaksikan dengan mata kepada betapa kerusakan merejalela melanda kemanusiaan akibat dari lemahnya umat Islam. Bandingkan dengan dulu ketika Umar Bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz memimpin dunia. Inilah hijrah yang harus segara kita buktikan.
Hakikat Hijrah
Hijrah berarti berpindah atau meninggalkan. Dalam makna ini, hijrah memiliki dua bentuk. Hijrah Makaniyah dan Hijrah Ma’nawiyah. Hijrah makaniyah adalah berpindah secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain. Kebanyakan ayat-ayat tentang hijrah bermakna Makaniyah. “Dan siapa yang berhijrah di jalan Allah (untuk membela dan menegakkan Islam), niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezki yang makmur. Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia mati (dalam perjalanan), maka sesungguhnya telah tetap pahala hijrahnya di sisi Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” An-Nisa:100
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka terbunuh atau mati, sudah tentu Allah akan mengaruniakan kepada mereka limpah kurnia yang baik. Dan (ingatlah) sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi limpah kurnia.” Al-Hajj:58
Sedangkan hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan dalam firman Allah swt. “Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Al-Ankabut:26. “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” Al-Muddatsir:5
Bentuk-bentuk hijrah maknawiyah di antaranya meninggalkan kekufuran menuju keimanan. Meninggalkan syirik menuju tauhid (hanya mengesakan Allah). Meninggalkan kebiasaan mengingkari nikmat-nikmat Allah menjadi pandai bersyukur. Berpindah dari kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan, menjadi istiqamah. Hijrah juga berarti berkomitmen kuat pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba. Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah swt. Tinggalkan kedengkian, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, tinggalkan kesia-siaan, tinggalkan kebiasaan hidup menjadi beban, dan tinggalkan kebohongan.
Sehingga kata kunci dari hijrah adalah perubahan. Perubahan menuju lebih baik, dalam segala hal. Perubahan itu dilakukan semata-mata karena kebaikan, karena manfaat dan karena mencari ridha Allah swt. Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Barangsiapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia (untuk memperoleh keuntungan duniawi) dan untuk menikahi wanita maka hijrah itu untuk apa yang diniatkan nya.”
Oleh karena itu, dalam menapaki hijrah ini kita perlu menetapkan arah atau tujuan hidup dengan jelas, ambil bekalan yang cukup, waspadai godaan di jalanan dan jangan tertinggal rombongan kebaikan, karena hidup layaknya musafir.
Puasa Bulan Muharam
Dalam Islam ada empat Bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. Yaitu, Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Bulan Rajab. Di bulan-bulan ini umat manusia dihimbau untuk tidak melaksanakan pertumpahan darah. Dan bagi umat Islam, bulan-bulan ini dianjurkan untuk meningkatkan taqarrub ilallah.
Allah swt berfirman : ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.“ At Taubah : 36
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk melaksanakan shaum ‘Assyuraa (shaum hari kesepuluh) dari bulan Muharram ditambah dengan shaum sehari sebelumnya atau sesudahnya. Puasa sehari sebelumnya dinamakan Tasu’a, berasal dari kata tis’ah yang artinya sembilan. Karena puasa itu dilakukan pada tanggal 9 bulan Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat. Antara lain :
Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA berkata: Wahai penduduk Madinah, di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ini hari Assyura, dan Allah SWT tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka.” (HR Bukhari 2003)
Hadits lainnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum assyuraa, beliau pun bertanya? Mereka menjawab, “Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu.” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian”, maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhari 2004)
Juga ada hadits lainnya yang terkait dengan apa yang Anda tanyakan :
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: pada saat Rasulullah SAW melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya”. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW meninggal sebelum sampai tahun berikutnya” (HR Muslim 1134)
Rasulullah SAW bersabda, “Shaumlah kalian pada hari assyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR Ath-Thahawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)
Fadhilah Shaum ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) menurut Abu Qotadah bahwa Rasulullah bersabda: “Shaum Arofah menghapus dosa dua tahun, sedangkan shaum ‘Asyura’ menghapus dosa satu tahun sebelumnya.” [HR.Muslim:1162].
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata: “Yang dimaksud dengan kaffarat (penebus) dosa adalah dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya.”
Hijrah berarti berpindah atau meninggalkan. Dalam makna ini, hijrah memiliki dua bentuk. Hijrah Makaniyah dan Hijrah Ma’nawiyah. Hijrah makaniyah adalah berpindah secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain. Kebanyakan ayat-ayat tentang hijrah bermakna Makaniyah. “Dan siapa yang berhijrah di jalan Allah (untuk membela dan menegakkan Islam), niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezki yang makmur. Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia mati (dalam perjalanan), maka sesungguhnya telah tetap pahala hijrahnya di sisi Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” An-Nisa:100
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka terbunuh atau mati, sudah tentu Allah akan mengaruniakan kepada mereka limpah kurnia yang baik. Dan (ingatlah) sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi limpah kurnia.” Al-Hajj:58
Sedangkan hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan dalam firman Allah swt. “Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Al-Ankabut:26. “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” Al-Muddatsir:5
Bentuk-bentuk hijrah maknawiyah di antaranya meninggalkan kekufuran menuju keimanan. Meninggalkan syirik menuju tauhid (hanya mengesakan Allah). Meninggalkan kebiasaan mengingkari nikmat-nikmat Allah menjadi pandai bersyukur. Berpindah dari kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan, menjadi istiqamah. Hijrah juga berarti berkomitmen kuat pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba. Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah swt. Tinggalkan kedengkian, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, tinggalkan kesia-siaan, tinggalkan kebiasaan hidup menjadi beban, dan tinggalkan kebohongan.
Sehingga kata kunci dari hijrah adalah perubahan. Perubahan menuju lebih baik, dalam segala hal. Perubahan itu dilakukan semata-mata karena kebaikan, karena manfaat dan karena mencari ridha Allah swt. Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Barangsiapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia (untuk memperoleh keuntungan duniawi) dan untuk menikahi wanita maka hijrah itu untuk apa yang diniatkan nya.”
Oleh karena itu, dalam menapaki hijrah ini kita perlu menetapkan arah atau tujuan hidup dengan jelas, ambil bekalan yang cukup, waspadai godaan di jalanan dan jangan tertinggal rombongan kebaikan, karena hidup layaknya musafir.
Puasa Bulan Muharam
Dalam Islam ada empat Bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. Yaitu, Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Bulan Rajab. Di bulan-bulan ini umat manusia dihimbau untuk tidak melaksanakan pertumpahan darah. Dan bagi umat Islam, bulan-bulan ini dianjurkan untuk meningkatkan taqarrub ilallah.
Allah swt berfirman : ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.“ At Taubah : 36
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk melaksanakan shaum ‘Assyuraa (shaum hari kesepuluh) dari bulan Muharram ditambah dengan shaum sehari sebelumnya atau sesudahnya. Puasa sehari sebelumnya dinamakan Tasu’a, berasal dari kata tis’ah yang artinya sembilan. Karena puasa itu dilakukan pada tanggal 9 bulan Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat. Antara lain :
Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA berkata: Wahai penduduk Madinah, di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ini hari Assyura, dan Allah SWT tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka.” (HR Bukhari 2003)
Hadits lainnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum assyuraa, beliau pun bertanya? Mereka menjawab, “Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu.” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian”, maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhari 2004)
Juga ada hadits lainnya yang terkait dengan apa yang Anda tanyakan :
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: pada saat Rasulullah SAW melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya”. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW meninggal sebelum sampai tahun berikutnya” (HR Muslim 1134)
Rasulullah SAW bersabda, “Shaumlah kalian pada hari assyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR Ath-Thahawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)
Fadhilah Shaum ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) menurut Abu Qotadah bahwa Rasulullah bersabda: “Shaum Arofah menghapus dosa dua tahun, sedangkan shaum ‘Asyura’ menghapus dosa satu tahun sebelumnya.” [HR.Muslim:1162].
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata: “Yang dimaksud dengan kaffarat (penebus) dosa adalah dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya.”
Selamat berpuasa Muharram.
Selamat Tahun Baru Islam 1432 H.
Selamat Tahun Baru Islam 1432 H.
----------
Diambil dari www.dakwatuna.com
Good Job :)
ReplyDeleteSemoga menjadi pelajaran yang penting dan bermanfaat untuk umat manusia dalam memamahami makna Tahun Baru Islam.
ReplyDeleteSemoga tahun ini menjadi tahun yang baik untuk kita semua, Amiin.
ReplyDeleteterima kasih ulasannya ..marilah kita hijrah ke jalan yang lebih baik dari sekarang.moga2 kita selalu diberi panjang umur oleh allah S.W.T amin.
ReplyDeletemakasih.. ilmunya mencerahkan hatiku yang gundah..
ReplyDelete