MUKODDIMAH
Adanya penyusunan konsep ikhlash ini adalah dalam rangka menerapkan nilai-nilai ikhlas dalam dunia pendidikan dan menyuci otak-otak umat Islam dari kejenuhan dan kebuntuan pemikiran dalam afiliasi mereka terhadap manajemen konsep barat, serta kegelisahan terhadap ‘auroq’ dan ‘oplah’. Dihadirkannya kembali konsep ini juga diharapkan bisa menyeimbangkan umat muslim dalam melaksanakan tata negaranya dan tata hidupnya khususnya antara materi dan non-materi di dalam dunia pendidikan . Diharapkan pula bahwa dengan ‘menegur hati’ tentang ikhlash ini agar umat islam bisa mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan aturan (syariat) tanpa harus tertinggal dengan perkembangan zaman.
Bangsa Indonesia dengan kemajemukan budaya dan agama, akan sangat bertentangan sekali bila harus secara mutlak mengedepankan antara duniawinya yang terkesan material (lebih mengedepankan aspek materi/kekayaan dan kebahagiaan duniawi) dibanding kepribadian bangsa Indonesia yang santun dan suka gotong royong, yang terbiasa dengan saling tolong-menolong dan selalu menjaga kuat persaudaraan, nrimo, hormat, kebersamaan/keselarasan, serta budaya beragama dan mengakui kekuatan ghaib. Budaya yang sopan dan santun akan bersitegang dengan budaya mengejar waktu dan profesional, budaya saling membantu satu sama lain akan bertentangan dengan budaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam bentuk material. Maka bisa ditarik kesimpulan awal bahwa bangsa Indonesia sebenarnya tidak cocok dengan materialisme tulen sampai kapanpun selama kita masih hidup, masih makan dan minum dari tanah air Indonesia, selama kita masih berbudaya keIndonesiaan, selama kita masih bersosial di Indonesia.
Wajar juga bila pegawai kita di perusahaan, instansi pendidikan maupun yang sudah duduk di pemerintahan dan wakil rakyat, mereka selalu merasa tidak puas dengan uang yang sudah didapat, berapa pun kenaikan gajih atau oplah (upah) yang diberikan maka sampai kapanpun tidak pernah bisa untuk membahagiakan hati sanubari rakyat Indonesia, selama tujuan dari kerja dan usaha itu murni untuk mencari uang, dimana nantinya uang akan menjadi tujuan hidup, bukan sebagai alat untuk memotivasi hidup tetapi uang sudah menjadi tuhan karena sudah dijadikan tujuan hidup, padahal hakekat dari diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan hakekat dari bekerja adalah ibadah itu sendiri. Dan wajar pula bila output dari pendidikan secara otak satu sisi memang bagus dari sebelumnya namun bila ditilik dari akhlaknya maka yang terjadi di lapangan adalah kenakalan pelajar, hidup bebas dan kebejatan moral sudah melampui dari batasan budaya lokal dan umur secara psikis pada sisi yang lain.
Selain yang di atas, kita akui juga bahwa teori-teori yang diaplikasi di dunia pendidikan memang bukan sembarang teori. Teori-teori pendidikan digagas oleh profesor-profesor dalam bidangnya, dan diambil dari pusat teori dan kemajuan teknologi itu sendiri (barat), namun, menurut perasaan dan pengamatan penulis bahwa saat ini output pendidikan belum menemukan apa yang dicita-citakan orang tua. anak didik kita bukan makin baik moralnya namun karena kepandaian yang didapat dari sekolah justru mereka semakin lihai dalam menemukan model kenakalan bagi dirinya. Belum lagi berbicara moral dan etika warga sekolah lainnya, guru misalkan, bukan rahasia lagi bahwa uang adalah obrolan yang menarik di kalangan mereka, segala tindak-tanduk di sekolah ukurannya adalah uang, sampai-sampai dalam perbincangan di rapat lebih banyak arah obrolannya adalah uang. Sehingga, sesuatu yang semestinya dibahas terlebih dahulu dan itu penting secara teknis namun dilupakan karena sudah terbuai dalam obrolan keungan. Maka tidak heran, bila ada guru demo tentang gaji, mereka merasa bahwa gaji yang diterima tidak sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan dan abdikan, tetapi justru mereka sebenarnya lupa bahwa yang membuat mereka demo itu adalh ketidakpuasan mereka terhadap uang itu sendiri, karena uang semakin dikejar maka rasa bahagia semakin menjauh dari mereka.
Sehingga, penulis merasa perlu untuk menghadirkan kembali konsep ikhlash dan berusahan memperingatkan bangsa (watawashou) untuk bisa direkonstruksi dalam penataan pola pendidikan kita yang berusaha menengahi antar budaya barat dan budaya lokal sehingga mampu menghadirkan kehidupan yang sejahtera bahagia dunia dan akherat. Kita tilik, Pada beberapa negara yang telah membentuk syari’at kenegaraan Islam telah membuktikan diri bahwa mereka sejahtera tanpa harus mendapat bantuan dari luar yang berbeda haluan dengan ajaran Islam, mereka juga sudah membuktikan diri bahwa mereka lebih bahagia dan sejahtera dari konsep manajemen barat yang terkesan elegan dan terlihat dari kulitnya sebagai manajemen yang wah, namun kalau dirasa dari dalam dan kita rasakan sendiri ternyata manajemen tersebut hanya kamuflase dan fatamorgana saja, rasanya seperti duren yang enak dirasa tapi tidak enak dimakan, walaupun enak seketika tapi rasa sakitnya berterusan dan bahkan muntah bagi yang tidak kuat menahan panas di dalam perutnya.
KONSEP IKHLASH
Menurut Abd Halim Mahmud bahwa Ikhlas adalah mengesakan haq Allah SWT dalam segala amalan ketaatan dengan niat, yaitu dia melakukan amalan ketaatannya hanyalah untuk menganugerahkan diri kepada Allah swt, tiada apapun selain itu, yaitu mereka yang melakukannya kerana Makhluk, atau karena ingin mendapat pujian mereka, serta kecintaan kepada pujian makhluk, atau apa saja sebab-sebab yang selain ridha Allah. Boleh juga dikatakan, bahawa Ikhlas itu adalah pembersihan (niat) diri (semasa amalan) dari segala segala perhatian manusia. ( Al-Risalah al-Qusyairiah, tahqiq Abd Halim Mahmud, 1/443).
Ada dua kata dasar yang digunakan Mahmud dalam mengemas arti ikhlash yaitu mengesakan haq Allah yang kaitannya adalah hubungan dengan pencipta dan pembersihan hati dari pujian manusia yang kaitannya adalah hubungan dengan sesama makhluk. Dua kata dasar ini mempunyai maksud yang sama yaitu menghadirkan diri kepada Allah.
Rasulullah SAW, pernah suatu ketika menjelaskan keisitimewaan seorang ahli sorga yang hadir di majelis Rasulullah SAW dan orang itu tidak dianggap istimewa yang lainnya. Beliau menjelaskan keistimewaannya : Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya.”
Melakukan perbuatan yang baik untuk mewujudkan hasil dunia dan/atau akhirat dengan tujuan mendapatkan ridho Allah SWT saja, tanpa mengharapkan puji dari manusia, jin ataupun syetan.
Definisi Ikhlas Dari Berbagai Ulama
1. Menyendirikan Alloh sebagai tujuan dalam ketaatan.
2. Membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk.
3. Menjaga amal dari perhatian manusia dan termasuk pula diri sendiri.
4. Seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan mendapatkan keridhaanNya.
5. Sesuatu yang paling mulia didunia.
6. Rahasia antara Alloh dan HambaNya yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat yang mencatatnya.
Selain dari makna ikhlash menghadirkan segala perbuatan untuk Allah, beberapa ulama memberikan sifat ikhlash dengan istilah perbuatan yang paling mulia di dunia dan perbuatan ikhlash itu rahasia antara diri pelaku dan penciptanya sehingga hanya malaikat sang mediatorlah yang mengetahui perbuatan ikhlash tersebut. ketika berbicara rahasia berarti kita sedang membicarakan konteks hubungan pencipta dan makhluk yang erat sekali hubungannya dengan hati sanubari, sehingga bisa dikatakan bahwa ikhlash itu berdomisili di hati.
Kapan itu Ikhlash?
1. Ikhlas itu terjadi apabila ada amal, kalau tidak ada amal maka tidak terjadi hasil yang disodorkan kepada yang dipersembahkan
2. Amal itu harus yang baik atau setidaknya disangka baik oleh pelakunya, sebab amal yang buruk pastilah tidak disodorkan kepada allah swt.
3. Amal itu harus maksimal, bila tidak maksimal maka sudah jelas tidak niat untuk mendapatkan sesuatu yang akan dipersembahkan. Maksimal disini tidak sampai pada definisi ihsan (terbaik)
4. Digunakan istilah baik, bukan benar, sebab syarat amal diterima allah swt adalah ikhlas dan benar, sehingga istilah amal benar harus dikeluarkan dari definisi ikhlas, namun tetap secara realita bisa disaksikan amal yang ikhlas adalah amal yang baik atau disangka baik
5. Amal itu tentunya untuk mewujudkan hasil dunia dan/atau akhirat seperti orang bekerja, memasak, puasa, sholat dll. Amal yang menghasilkan tujuan spesifik dunia seperti bekerja atau memasak tentu akan menghasilkan tujuan akhirat juga.
6. Tujuan mengharapkan ridho allah saja. Ridho mencakup keseluruhan hal seperti pahala.
7. Tidak mengharapkan pujian. Yang tidak diharapkan adalah pujian saja, bukan hasil/imbalan. Seorang bekerja tentu mengharapkan hasil imbalan baik itu sebagai pedangang, kantoran, petani dll
8. Manusia dari jin. Menjaga dari pujian manusia atau jin baik yang nampak ataupun yang tidak nampak disekitarnya.
9. Pujian syetan. Artinya amal itu haruslah amal yang tidak dipuji syetan. Syetan memuji manusia bila melakukan perbutan yang disenangi syetan yaitu amal2 ma’shiyat. Ini sekaligus menguatkan kata “amal yang baik”
KONSEP ‘OPLAH’
Oplah (ujroh) istilah dalam judul ini sebenarnya gaji atau penghasilan yang bermuara pada gaji yang diberikan oleh pemerintah terhadap guru-guru atau karyawan serta warga sekolah yang telah mensukseskan program kerja pendidikan. Oplah berarti wujud nyata dari auroq itu sendiri. Adapun mengenai konteks sebelum ‘kering keringatnya’ adalah berarti setelah selesai/tuntas dalam bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya serta tanggungjawab atas pekerjaan tersebut maka oplah itu diberikan pada guru. Secara teknis item-item kewajiban-kewajiban dan tugas serta tanggungjawab itu harus jelas di awal sebelum guru itu mengemban amanah sehingga item-item tersebut bisa dilakukan oleh guru dan item itu pula menentukan dari pembagian dan pemberian gajih, bisa saja walaupun seorang kepala sekolah tetapi kinerjanya tidak baik maka gajihnya jauh lebih kecil dibanding seorang tukang kebun yang secara sempurna telah manjalankan amanatnya.
Upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya. Upah dapat didefinisikan sebagai harga yang dibayarkan pada pekerja atas pelayanannya dalam memproduksi kekayaan. Tenaga kerja seperti halnya faktor produksi lainnya, dibayar dengan suatu imbalan atas jasa-jasanya. Dengan kata lain, upah adalah harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi. (Afzalur Rahman, 1997).
Ada dua istilah yang menarik dihadirkan oleh Rahman dalam memaknai Upah Harga tenaga kerja sebagai upah dan tenaga kerja disebut dengan pelayanan jasa.
Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua; Pertama, upah yang telah disebutkan (ajrun musamma), Kedua, upah yang sepadan (ajrun mitsli). Upah yang telah disebutkan (ajrun musamma) itu syaratnya ketika disebutkan harus disertai kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi, sedangkan upah yang sepadan (ajrun mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya sesuai dengan kondisi pekerjaannya (profesi kerja) jika akad ijarahnya telah menyebutkan jasa (manfaat) kerjanya.
Terdapat dua kata yang berbeda dalam menentukan upah (ujroh) yang pertama upah Disebutkan di awal sebagai bentuk perjanjian dan upah yang dibayar disesuaikan dengan jenis pekerjaan atau jasanya yang disebut dengan sepadan. Jadi kalau upah disebutkan diawal itu bukan jasa atau pekerjaan sebagai tolak ukur, tetapi kesepakatan di awal untuk membayar jasa atau pekerjaan sedangkan yang sepadan itu lebih mengedepankan aspek pekerjaan. Bisa dikatakan bahwa ujroh musamma itu untuk pembayaran jasa dan uroh mitsli itu untuk bayaran kerja. Di sini, dibedakan antara jasa dan kerja, kalau jasa lebih mengedepankan aspek pelayanan tidak berbentuk fisik sedangkan kerja itu domainnya adalah pekerjaan fisik.
Upah (ujrah) adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia, baik berupa uang atau barang, yang memiliki nilai harta (maal) yaitu setiap sesuau yang dapat dimanfaatkan.
Dari definisi di atas bisa diambil kata dasarnya yaitu harta (baik uang atau barang) yang digunakan sebagai kompensasi atas pekerjaan. Jadi istilh upah tidak tidak mesti uang bisa juga barang yang memang dibutuhkan dan bermanfaat oleh pekerja pada waktu itu.
Upah adalah imbalan yang diterima seseorangan atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Berbeda dengan definisi upah di bagian ini, upah diartikan dengan imbalan atas pekerjaan baik berbentuk materi di dunia maupun pahala di akhirat.
Syarat-syarat Oplah
a. Hendaknya upah berupa harta yang berguna atau berharga dan diketahui:
Dalil bahwa upah harus diketahui adalah sabda Rasulullah SAW ;”Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka beritahulah upahnya”. Dan upah tidak mungkin diketahui kecuali kalau ditentukan.
b. Janganlah upah itu berupa manfaat yang merupakan jenis dari yang ditransaksikan.
Seperti contoh yaitu menyewa tempat tinggal dengan tempat tinggal dan pekerjaan dengan pekerjaan, mengendarai dengan mengendarai, menanam dengan menanam. Dan menurut Hanafiah, syarat ini sebagaian cabang dari riba, karena mereka menganggap bahwa kalau jenisnya sama, itu tidak boleh ditransaksikan.
Hak Menerima Oplah
1. Selesai bekerja
Berdalil pada hadits yang dirwayatkan oleh Ibnu Majah, Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda : ”Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering”.
2. Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang.
Apabila terdapat kerusakan pada ’ain (barang) sebelum dimanfaatkan dan sedikitpun belum ada waktu yang berlalu, ijarah menjadi batal.
3. Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlangsung, ia mungkin mendatangkan manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi keseluruhannya.
Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, yaitu mempercepat bayaran.
Jadi jelas kiranya bahwa upah itu berupa harta yang berguna atau berharga dan diketahui jenis dan jumlahnya serta bukan dari jenis yang ditransaksikan. Adapun waktu pemberiannya adalah setelah selesai pekerjaan yang dibayar dengan sesuatu yang dibutuhkan dan mengalirnya manfaat serta ketika dibutuhkan nilai manfaat itu bisa berlangsung.
Rekonstruksi Aksiologi Ikhlash Di Lingkungan Pendidikan
Rekonstruksi ikhlash berarti juga upaya ‘memaksa’ bangsa Indonesia ini membangun pola pikir dan prilaku untuk menerapkan nilai dan kesadaran ikhlash dalam bersosial, dalam menyikapi oplah, serta menyadarkan posisi uang di dalam kehidupan. Nilai ikhlash sudah semestinya ditulis dan tercantum di dalam aturan dan teori pendidikan kita, karena mengingat gaya hidup kita sudah hampir semakin jauh dari apa yang diharapkan ‘orang tua = salafus sholeh’ kita baik di Indonesia maupun dari dunia Islam.
Nilai-nilai ikhlash tersebut adalah selain dari makna ikhlash menghadirkan segala perbuatan untuk Allah, beberapa ulama memberikan sifat ikhlash dengan istilah perbuatan yang paling mulia di dunia dan perbuatan ikhlash itu rahasia antara diri pelaku dan penciptanya sehingga hanya malaikat sang mediatorlah yang mengetahui perbuatan ikhlash tersebut. ketika berbicara rahasia berarti kita sedang membicarakan konteks hubungan pencipta dan makhluk yang erat sekali hubungannya dengan hati sanubari, sehingga bisa dikatakan bahwa ikhlash itu berdomisili di hati. Jadi dalam konteks pendidikan ikhlash atas pekerjaan adalah memantapkan isi hati kita dengan tujuan Allah, tidak terdetik sedikitpun di dalam hati manusia itu mengharapkan uang maupun pujian.
Kekeringan nilai etika dan moral dalam teori pendidikan umum (modern) lebih jelasnya barat, itu lebih disebabkan karena teori umum ingin lebih konsentrasi pada pemenuhan materi dan duniawi, sehingga lebih jelas terasa unsur kemanusiaan sedangkan unsur moral serta akhlak sangat-sangatlah kelabu, boleh juga dengan istilah profesionalitas, namun terkadang istilah itu bebas lepas tanpa batas, demi atas nama profesinya ia bisa melanggar norma-norma agama dan moralitas, demi profesionalitas ia lalai akan tanggungjawab akheratnya.
Oleh karena itu teori ikhlash ini dihadirkan kembali untuk mengisi relung-relung kegersangan dan mengisi kekosongan teori yang belum sempurna. Ini artinya bahwa upaya mengisi kekosongan tadi bukan berarti sama sekali menghilangkan teori-teori yang baik dari manajemen barat tetapi menghilangkan yang buruk dan mengambil yang baik serta mengisi ruang teori yang masih kosong sehingga sempurnalah tujuan dari rekosnstruk aksilogi ikhlash yaitu menuju kesejahteraan bahagia dunia dan akherat seperti yang diidam-idamkan seluruh kalangan muslim di dunia.
Sejatinya, Islam telah menetapkan tujuan adanya penciptaan alam raya ini, bagaimana menjaga keseimbangan antara individu, masyarakat dan alam semesta. Individu dan masyarakat merupakan bagian dari kehidupan alam raya ini. Banyak kita temukan ayat al-Qur’an yang menjelaskan hubungan harmonis antara individu dan kehidupan alam semesta. Dan keharmonisan itu seharusnya juga terjadi di dalam dunia pendidikan.
Untuk bagaimana cara menciptakan keharmonisan tersebut adalah tergantung bagaimana warga sekolah bersikap satu sama lainnya, apabila satu sama lain kompak kerja sama dan sama-sama kerja sesuai dengan porsi dan proposisinya maka keharmonisan itu akan tercipta dengan pasti, dan bisa mengurangi gesekan-gesakan di dalam bekerja.
Allah berfirman : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-ku makan” (adz-Dzariyat:56-57) Dalam ayat lain, Allah berfirman : “katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itu yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (al-An’am: 162-163)
Selain memberikan fasilitas kehidupan, Allah juga menurunkan aturan (syari’ah), sistem sosial yang mengatur kehidupan manusia dalam ranah politik, manajemen, sosial, ekonomi, terutama dalam ranah pendidikan yang sesuai dengan rahasia penciptaanya, yakni beribadah kepada Allah. beribadah bukan berarti putus menjalankan pekerjaan dan mengasingkan diri dari kehidupan dunia, sehingga menafikan fungsi dan tugas manusia untuk memakmurkan bumi dan menyearkan aturan ilahi.
Allah berfirman: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya (maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia).” (hud:61). Makna ibadah meluas pada setiap aktivitas yang bermanfaat bagi kehidupan, dan diawali dengan sesuatu yang paling mudah, yaitu diam dan berperilaku baik. Rasulullah bersada: “aku kabarkan kepada kalian ibadah yang paling mudah dan ringan bagi badan, yaitu diam dan akhlak mulia” (diriwayatkan ibn abi dunya dari sofwan bin salim). Kemudian, ibadah berakhir dengan jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah). jihad fi sabilillah tidak hanya diartikan sebagai berperang mengangkat senjata, namun, keluarnya seeorang untuk mencari rezki halal guna menafkahi keluarga juga merupakan bentuk jihad fi sabilillah.
Hal pertama yang harus diwujudkan oleh sistem sosial dalam masyarakat islam adalah menciptakan suasana kondusif bagi individu untuk beribadah kepada Allah di muka bumi, menerapkan hukum dan syari’ah yang telah diturunkan dalam al-qur’an dan hadits Nabi menjalankan ibadah dalam pemahaman yang luas –segala ucapan, tindakan, transaksi, hubungan dengan manusia lain sesuai dengan ketentuan syari’ah islam- tidak mungkin dilakukan individu tanpa adanya sistem sosialyang mangatur mekanisme kehidupan individu sesuai dengan konsep islam. Diantara fungsi sistem sosial adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat, mengatur kehidupan ekonomi, sosial dan manjemen pemerintahan.
Termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Di dalam pendidikan seluruh aktivitas yang dilakukan selazimnya bermuara pada nilai ikhlash. Banyak sekali faktor yang menunjang diberlakukanya ikhlash. Terutama sekali dalam faktor kewajiban bagi warga sekolah. Tetunya, sebuah intansi pemerintahan sudah seharusnya mempunyai draf AD/ART di mana di dalamnya termuat tentang kewajiban seorang guru, artinya dalam kaitanya dengan nilai ikhlash adalah sejauhmanakah guru itu melakukan segala kewajibannya secara maksimal, arti dari maksimal adalah dengan ketulusan hati tanpa ada keraguan dan setengah-setengah dalam bekerja.
Selain dari pada kewajiban, faktor yang pendukung lainnya adalah tanggung jawab dan mempunyai rasa memiliki terhadap tugas dan kewajiban tadi serta apa yang ada di dalam sekolah. Munculnya kemantapan dalam bekerja dan melaksanakan kewajiban itu lebih karena adanya motivasi di dalam dirinya, motivasi itu perlu di tanam, bahwa apa yang ada di dalam sekolah berarti juga milik kita bersama, jika sudah ada kata milik berarti kita harus merawat, menjaga dan mengembangkannya, dengan penuh tanggungjawab.
Faktor yang ketiga adalah hak sebagai ujung dari proses kewajiban, tanggungjawab dan rasa memiliki maka kemudian dilengkapi dengan faktor hak, ketentuan-ketentuan tentang hak, selazimnya harus terinci dengan jelas yang diukur dari sejauhmana warga sekolah itu melaksanakan tugas & tanggung jawabnya, artinya ketentuan penuntutan hak itu berdasar kinerja warga sekolah itu sendiri, bagi yang kerja dengan aspek tanggungjawabnya besar maka tentu haknya juga besar tetapi berbeda apabila lingkup tanggung jawabnya kecil maka haknya juga sekadarnya.
Masyarakat Sejahtera
Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang telah menanamkan nilai ikhlash di dalam kehidupannya dalam menyikapi oplah atau penghasilan sehari-harinya. Masyarakt ini memahami gaji sebagai bentuk imbalan yang materiil maupun non materiil sehingga terpenuhilah kesejahteraan sosial. Dengan pemahaman bahwa gaji itu tidak mesti uang dan ikhlas bukan berarti tidak digaji maka menju masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang telah terpenuhi segala kebutuhan dalam memaksimalkan manfaat barang dan kebermanfaatan dirinya bagi orang lain sehingga ketika dirinya sudah sejahtera akan menciptakan kesejahteraan diri-diri lainnya (social walfare).
Komunitas Nabi SAW bagaimanapun menerapkan administrasi keuangan negara yaang dipadukan dengan suasana religuis, kejujuran, dan kharisma kenabian mencukupi untuk menghandle permasalahan administrasi komunitas sederhana pada masa itu. Makan dan pakaian merupakan ukuran penting untuk menentukan garis kemiskinan apakah seorang perlu mendapat santunan dari negara atau tidak. Walaupun begitu, orang kaya yang bangkrut karena berhutang, misalnya industrialis yang berjasa bagi perkembangan ekonomi makro dan memberi pekerjaan bagi rakyat berhak juga mendapat bagian/subsidi dari keuangan negara yang bersumber dari zakat. Muallaf seperti Abu Sofyan lawan utama Nabi dari komunitas Mekkah mendapat juga dana negara untuk melunakkan hati, membujuk kedalam Islam dan integrasi atau rekonsiliasi sosial.
Baik kita ambil nilai positif di negara barat dalam konteks masyarakat sejahterah. Di Barat, walaupun bervariasi antarnegara, jaminan tenaga kerja utama dilaksanakan melalui 4 program asuransi sosial. Jaminan tersebut meliputi asuransi pensiun (OASI=Old Age Survivor Insurance), asuransi cacat (Disability Insurance), asuransi kesehatan (Health Insurance), dan asuransi PHK (Unemployment Insurance). Dengan sistem pays as you go, maka tenaga kerja yang aktif memberikan kontribusi kepada para pensiunan seniornya antargenerasi. Konsep ini menggantikan konsep hormat dan kasih sayang kepada orang tua dalam komunitas muslim dan negara agraris. Karena sistem ini bersumber dari kontribusi/premi tenaga kerja yang aktif, maka sistem ini merupakan kelengkapan dari sistem pasar. Sistem ini mencakup hampir semua tenaga kerja, mencover lebih dari 90 persen tenaga kerja (Musgrave, 1993), bahkan termasuk buruh tani yang bekerja secara tetap. Dengan demikian hampir semua warga negara yang bekerja tercover pensiun, asuransi cacat, dan kesehatan. Tenaga kerja yang bekerja secara individual, dapat melakukan program pensiun dengan perusahaan asuransi (IRA = Individual Retirement Accounts).
Bagi orang yang terlempar dari sistem persaingan dan menjadi jatuh miskin diberi dukungan berupa jaminan kelompok miskin. Jaminan terdiri dari 4 program utama, yaitu, SSI (social security income) yaitu berupa tunjangan yang diberikan kepada warga usia pensiun, buta, atau cacat yang memiliki pendapatan dan atau aset kurang dari jumlah tertentu. Food stamp, adalah voucher yang dibagikan kepada penduduk miskin untuk membeli bahan makan. Medicaid, adalah asuransi yang dibayarkan kepada penduduk miskin untuk memperoleh layanan dokter dan rumah sakit. Dan, AFDC (aid to families with dependent children) diberikan kepada keluarga yang masih memiliki anak tergantung. Anak tergantung adalah anak yang belum mandiri sampai usia 18 tahun. AFDC terutama diberikan kepada keluarga yang kehilangan dukungan salah satu orang tua (meninggal, cerai, atau menganggur). Program ini menimbulkan kontroversi karena mendorong perpecahan keluarga.
Program sosial di Barat dilakukan berdasar undang-undang yang selalu diperbaiki dari waktu ke waktu. Undang-undang pertama disebut social security act ditulis pertengahan tahun 1930an. Pasca perang dunia kedua masyarakat Barat menyadari betapa kapitalisme membuat pekerja menjadi miskin. Masyarakat Barat bahkan memuji blok Soviet dalam hal pemerataan dan jaminan kepada rakyat (Cohrane et.al., 2001:34-35). Hal ini membangkitkan Eropa Barat untuk menciptakan sistem yang lebih adil. Ekonomi campuran ”mixed economy” sejak itu menjadi ideologi yang menggantikan liberalisme murni. Di sisi perburuhan juga berkembang apa yang disebut upah efisiensi, dimulai ketika Ford mengumumkan upah 5 dolar sehari (Raff, 1988) ketika upah resmi pemerintah hanya 2 dolar. Perbaikan sistem perburuhan dengan upah yang tinggi dan tunjangan pensiun, kesehatan, cacat akibat kerja, dan tunjangan PHK merupakan program kesejahteraan yang penting.
Sukses pengelolaan dana publik di Barat bukan hanya kepada sistem yang dirancang dengan perundangan, akuntansi, dan yang berkaitan dengan alokasi dan angka-angka, tetapi faktor budaya masyarakat sangat menentukan. Misalnya, di negara-negara Barat yang maju terdapat aturan bagi kelompok lanjut usia yang kekayaannya di bawah batas tertentu mendapat santunan dari negara. Namun, banyak keluarga dalam masyarakat Barat malu untuk berpura pura mikskin untuk mengambil dana ini. Bayangkan jika di Indonesia dilaksanakan pemberian dana ini, maka sejumlah sangat besar orang dengan berbagai cara akan mendaftar, bahkan aparat pembagi itu sendiri, dan akibatnya negara tidak akan mampu menjalankan programnya itu dengan baik. Jadi, budaya malu, harus ditanamkan lebih dahulu bersamaan dengan program kemanusiaan. Di samping secara teknis harus difikirkan agar penerima santunan tidak lebih sejahtera dari mereka yang bekerja, yang lebih penting dari itu semua adalah budaya kerja dan budaya malu harus ditanamkan bersamaan dengan adanya aneka program sosial.
Sesuai dengan hadits nabi:
Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku (pernah) mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sungguh seorang di antara kamu pergi di waktu pagi, lalu ia membawa kayu bakar di atas punggungnya, yang dengan itu ia bershadaqah, serta tidak membutuhkan bantguan prang lain, itu lebih baginya daripada ia meminta kepada seseorang, (baik) orang tersebut memberi kepadanya atau menolak.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Dan dalam suatu lafadh –dikatakan-: Bukanlah yang dinamakan miskin itu orang yang mengelilingi manusia, mengharap sesuap dan dua suap makanan, sebutir dan dua butir kurma. Akan tetapi yang dinamakan miskin itu adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan (pendapatan) yang mencukupi serta tidak mendapat perhatian, sehingga ia perlu shadaqah, dan ia tidak bangkit untuk meminta-minta kepada manusia. (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Demikian juga budaya tertib, mencatat dan membukukan, budaya malu, harga diri, dan suka bekerja yang merupakaan inti modernitas kemajuan Barat sangat sesuai dengan Islam. Akan tetapi, untuk tujuan melestarikan hubungan antarbangsa yang berpola pusat-pinggiran dan melestarikan negara muslim sebagai pasar, Barat kelihatannya lebih mendorong hedonisme yang merupakan ekses modernisasi daripada nilai intinya kepada dunia Islam. Jika komunitas Barat benar-benar akan membantu negara muslim maka budaya inti yang sebenarnya memiliki akar yang kuat di dalam ajaran Islam mestinya dikembangkan, dan itu artinya mereka hendaknya menggandeng kekuatan Islam modern seperti contoh usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program welfare, budaya inti modernitas yang diuraikan di atas sangat cocok dengan Islam harus dikembangkan lebih dahulu. Mengaku dan bersikap seperti orang miskin yang suka meminta harus dikikis, pejabat-pejabat yang menyunat dana publik dan lebih-lebih dana welfare harus disadarkan harga dirinya, dan dihukum untuk memberi pelajaran. Kalau tidak, secara teknis hampir 80 persen warga bangsa dapat dikategorikan miskin, sehingga uang negara tidak mungkin akan cukup dan program welfare tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Program welfare dalam statistik distribusi yang normal adalah memungut si ekstrim kaya dan diberikan kepada si ekstrim miskin, di tengahnya adalah mayoritas yang bisa hidup mandiri. Jika sebuah bangsa, karena faktor budaya, 80 persen penduduknya bersikap miskin, dan 5 persen pejabatnya yang bertugas mengalokasikan uang kemiskinan korup, maka bangsa demikian tidak bisa ditolong. Dengan demikian, pendekatan budaya harus seiring sejalan dengan program welfare yang diprakasai negara.
Bandingkan program welfare di Barat dan ajaran welfare dalam Islam. Nilai-nilai yang digali dari Al Qur’an dilaksanakan langsung oleh Rasulullah SAW dan dilaksanakan secara formal dengan sukses dalam negara oleh para khalifah selepas Rasulullah SAW. Sampai sekarang ajaran tersebut masih hidup dan berkembang dilaksanakan secara swadaya (menjadi program volunter) oleh masyarakat di negara mayoritas muslim yang kini menggunakan sistem kenegaraan Barat. Dengan kekuatan swadaya memang apa yang dilakukan oleh organisasi Islam hanya memiliki kekuatan yang kecil, namun nilai tersebut dapat segera dikembangkan kedalam sistem formal kenegaraan. Dalam kesempatan ini akan dikemukan terjemah berbagi teks dalam al-qur’an dan juga hadist sekitar masalah ini.
Pertama, nilai yang mendorong pejabat publik memperhatikan SDM di dalam masyarakatnya yang secara umum mengalami kekurangan (Yatim, miskin, perantau/anak sekolah, peminta, membebaskan (memperbaiki nasib) sahaya/TKI), orang yang pailit, muallaf (orang yang sadar akan Islam, termasuk orang bertobat eks nara pidana) dan tidak lupa pegawai negeri itu sendiri (amil). Serangkaian ayat ini dapat melandasi visi serta spirit publik dari pemerintah dan akhirnya undang-undang pengelolaan uang negaara sebagai petunjuk teknis yamg lebih konkrit.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (At Taubah 60).
Kedua, perlakuan negara terhadap orang sakit dan cacat dapat digali dari ayat berikut.
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya (Ann Nur: 61).
Ketiga, untuk memperkuat dorongan melakukan program welfare dalam masyarakatnya, masyarakat Islam yang lalai terhadap kewajiban publiknya diancam dengan siksa di akherat. Dengan demikian nilai-nilai ini akan menjadi semakin kokoh.
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin (Al Muddatsir 42-44)
Keempat, masalah korupsi. Pelaksanaan program welfare dan penguasaan pejabat publik akan uang yang banyak tentulah sangat riskan jika budaya korupsi tidak dikikis. Nilai-nilai yang mendorong berlaku adil, dan tidak korup dapat diperoleh dari ayat berikut.
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah:188)
KESIMPULAN
Ikhlash yaitu mengesakan haq Allah yang kaitannya adalah hubungan dengan pencipta dan pembersihan hati dari pujian manusia yang kaitannya adalah hubungan dengan sesama makhluk. Ikhlash merupakan perbuatan yang paling mulia di dunia dan perbuatan ikhlash itu rahasia antara diri pelaku dan penciptanya sehingga hanya malaikat sang mediatorlah yang mengetahui perbuatan ikhlash tersebut (dari sisi orang ketiga). Ikhlash itu berdomisili di hati.
Mengenai upah bisa disimpulkan bahwa harga tenaga kerja sebagai upah dan tenaga kerja disebut dengan pelayanan jasa. Terdapat dua istilah yang berbeda dalam menentukan upah (ujroh) yang pertama upah Disebutkan di awal sebagai bentuk perjanjian dan upah yang dibayar disesuaikan dengan jenis pekerjaan atau jasanya yang disebut dengan sepadan. Upah bisa diberikan dalam bentuk harta (baik uang atau barang) yang digunakan sebagai kompensasi atas pekerjaan yaitu harta/barang yang memang dibutuhkan dan bermanfaat oleh pekerja. Tapi upah juga disebut dengan imbalan atas pekerjaan baik berbentuk materi di dunia maupun pahala di akhirat. Waktu pemberian upah adalah setelah selesai pekerjaan yang dibayar dengan sesuatu yang dibutuhkan dan mengalirnya manfaat serta ketika dibutuhkan nilai manfaat itu bisa berlangsung.
Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang mampu membangun pemenuhan kebutuhan dasar baik diri maupun orang lain. Masyarakat yang konsen terhadap fakir miskin, masyarakat yang meningkatkan terus budaya kerja dan budaya malunya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
M.A.Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogya: PT. D. Bhakti Prima Yasa, 1993.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, penerjemah , Soeroyo Nastangin. Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 13 cetakan pertamaBandung, PT. Alma’arif 1987.
Ya’qub Hamzah. DR, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Cet II, Bandung : CV. Diponegoro, 1992.
Yusanto, M.I dan M.K. Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, Cet I, Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
Zuhaili, Wahbah. DR, Fiqh Muamalat Perbankan Syariah, penerjemah DR. Setiawan Budi Utomo, BMI, 1999.
Mashuri S. Iqbal, Mencari Cahaya dari Ilmu Ulama, Bandung, Sinar Baru, 1994
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1999
Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Qur’an, Bandung, Mizania, 2007
Franz Magniz Suseno, Etika Jawa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
Keith Davis & John W. Newstrom, Perilaku dalam organisasi, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1993
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1996
No comments:
Post a Comment