22 November 2011

MENELUSURI HAK-HAK RAKYAT DALAM NEGARA; PERSPEKTIF KHULAFAH AL-RASYIDUN

| More

PENGANTAR
Hak-hak rakyat warga negara[1] (mashail ra’iyyah) dalam kajian fiqh siyasah merupakan discourse yang menarik. Bukan saja bagi para ilmuwan modern tetapi juga oleh literatur-literatur klasik pertengahan. Hanya pembahasannya tidak terlalu dominan karena lebih memfokus pada kajian hak-hak pemerintah (huquq al-ra’in) atas rakyat. Al-Mawardi misalnya, tidak membahas khusus mashalih ra’iyyah, ia hanya memasukkannya sebagai sub-bahasan dari bab aqd al-imamah,[2] namun dari kitab tersebut dapat difahami secara eksplisit dari hak-hak penguasa, ada kewajiban-kewajiban penguasa yang merupakan hak-hak rakyat.
Secara logis, dalam kajian politik, negara merupakan sebuah lembaga yang berdiri untuk mewujudkan cita-cita bersama yakni kebaikan dan kesejahteraan rakyat (common good, common weal). Terbentuknya negara, dalam hal ini membutuhkan kesediaan rakyat untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dan pemenuhan tugas-tugas seperangkat penguasa untuk melaksanakan amanat yang telah dipercayakan. Tanpa adanya saling pengertian antara ra’iyyah dan ra’in, sebuah negara tak dapat merealisasikan kekuasaannya (powerfull).
Dalam lintasan sejarah, sebenarnya hak-hak rakyat yang merupakan salah satu hak kodrati manusia merupakan hak universal warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak itu tentunya akan diperjuangkan oleh warga ngeara sebagai tujuan akhir  (finak goal) dalam bernegara. Meminjam istilah Hegel, konfigurasi kebebasan subjektif (subjective liberty) dan kebebasan objektif (objective liberty)[3] merupakan basis terselenggaranya kedaulatan dan kekuasaan negara. Rentangan sejarah Islam yang luas membuktikan betapa banyaknya konflik-konflik yang terjadi dalam mengangkat harkat dan martabat hak-hak rakyat warga negara selama empat belas abad yang silam. Dari sistem khalifah hingga sistem kerajaan yang berakhir dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan oleh Mustafa Kamil di Turki pada 2 Maret 1924, perjuangan untuk mashalih ra’iyyah masih tetap menjadi agenda “negara Islam”.
Makalah ini bermaksud menelusuri akar sejarah peran rakyat dalam mengartikulasikan pendapat pada masa khulafah al-Rasyidun. Sedang pembahasannya bertolak dari pertanyaan seberapa jauh rakyat mendapatkan hak-hak rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam bentuk yang bagaimana relasi rakyat dan khalifah itu dilaksanakan. Dua pertanyaan tersebut sangat urgen dibahas dalam rangka mencari konsep kedaulatan rakyat yang dilaksanakan selama periode khulafah al-Rasyidun.
Hanya saja penulis mengakui banyak kesulitan dalam membuat standar penelitian, mengingat objek kajiannya adalah sikap dan perilaku yang telah dilakukan oleh masyarakat yang telah empat belas abad silam. Sementara paradigma penulis tentang hak-hak rakyat atau kedaulatan rakyat lebih banyak dipengaruhi oleh istilah-istilah yang dipakai dalam negara modern. Untuk itu, pembahasan berikut penulis lebih banyak mengabstraksikan data sejarah kemudian memberikan sedikit analisis.

HAK-HAK RAKYAT
Untuk membahas lebih lanjut perihal hak-hak rakyat, permasalahan sentral yang akan dibahas adalah kedaulatan rakyat.[4] Siapa yang sesungguhnya mempunyai kedaulatan? Rakyatkah, penguasa atau bahkan Tuhan. Konsep Gramsci, misalnya, yang banyak dikenal dalam ilmu politik modern memandang rakyat adalah “objek” dari state (negara). Rakyat seharusnya menjadi subjek dalam negara, menurut konsep Gramsci justru terhegemoni oleh kekuatan negara. Karena bagi Gramsci negara terdiri atas lembaga pemerintahan (public institution) dan aparat pemaksa (coercion) seperti tentara atau pengadilan.[5]
Berbeda dengan Gramsci, Thomas Hobbes (1588-1679) yang menawarkan bentuk negara teokrasi mutlak. Dalam masterpiece-nya Leviathan, ia menawarkan teori yang sangat mekanis dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, kekuasaan itu tidak dapat dibantah, mutlak, tak dapat dibagi dan tak terbatas.[6]
Dalam perspektif fiqh siyasah, ada dua pendapat yang membahas sumber kedaulatan. Syi’ah yang memandang negara dan agama merupakan satu kesatuan menyatakan bahwa kedaulatan Tuhan adalah mutlak bagi manusia. Tak ada kedaulatan lain dalam negara kecuali kedaulatan Tuhan. Sehingga sabda penguasa adalah sabda Tuhan yang harus dilaksanakan, karena sesungguhnya penguasa adalah bayang-bayang Tuhan. Berbeda lagi dengan kelompok Sunni yang memandang agama dan negara mempunyai hubungan yang komplementer, saling melengkapi. Bagi kelompok ini kedaulatan yang ada dalam suatu negara adalah kedaulatan ra’iyyah. Biasanya macam pemerintahan yang demikian ini bercorak demokratis.

Kedaulatan, sebagaimana yang dipahami oleh para ahli ilmu politik modern[7] sebagai salah satu unsur terbentuknya negara adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan berbagai cara yang telah ditentukan. Dengan demikian, negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan sekaligus mempunyai kewenangan untuk memaksakan berlakunya undang-undang tersebut. Di sinilah rakyat dituntut aktif sebagai bentuk kontribusi kepada negara.
Kondisi kedaulatan secara umum yang ada pada masa khulafah al-Rasyidun memberikan peluang kepada rakyat untuk aktif dalam penyelenggaraan negara. Paling tidak peluang itu dapat dipahamu dari proses-proses awal seorang khalifah diangkat sebagai pemimpin negara. Pertama, proses pengangkatan dilakukan secara “musyawarah” meskipun hanya dilakukan dengan kaum elitis kekuasaan dan sebagaian jama’ah masjid nabawi. Kedua, adanya bai’at yang dilakukan oleh kaum muslimin sebagai bentuk kesediaan rakyat memberikan amanat kepada khalifah. Biasanya setelah dilakukan bai’at, khalifah menerima pendaulatan dengan pidato iftitah di masjid nabawi.
Abu Bakar,[8] proses pemilihan Abu Bakar dilakukan secara musyawarah melalui pilihan yang dilakukan oleh kelompok sahabat anshor dan muhajirin yang berlangsung di balai pertemuan Tsaqifah Bani Saidah. Meski mulanya kaum anshor menghendaki Saad ibn Ubadah yang dipilih menjadi khalifah, namun berkat musyawarah antara mereka yang juga dihadiri oleh Abu Bakar, Umar ibn Khattab dan Abu Ubadah, nama Abu Bakar terpilih sebagai khalifah yang pertama.[9]
Sebagai mandatis rakyat, Abu Bakar menerima bai’at dari rakyat dan memberikan pidato atas terpilihnya sebagai khalifah pertama.[10] Pokok-pokok isi pidato yang dikemukakan Abu Bakar antara lain:
1.      Abu Bakar adalah rakyat biasa yang dipercaya menjabat khalifah, maka apabila terdapat kesalahan dalam memimpin luruskanlah dan jika ditemui suatu kebenaran ikutilah. Di sini menyiratkan betapa rakyat diberi hak untuk mengadakan kontrol kepada penguasa.
2.      Memegang prinsip-prinsip al-musawa (egalitarian) dalam kehidupan bernegara. Tidak ada perbedaan di antara rakyat kedudukannya dalam negara.
3.      Kekuasaan berlandaskan kepada konstitusional, bukan kekuasaan mutlak seseorang sehingga khalifah membutuhkan musyawarah sahabat lain.
Umar ibn Khattab[11], diangkat sebagai khalifah dengan cara penunjukkan sebelumnya oleh Abu Bakar meski sebelumnya Abu Bakar bermusyawarah lebih dulu dengan sahabat senior Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thallib, Abdurrahman ibn Auf dan Thalhah ibn Ubaidillah.[12] Setelah mendapatkan kesepakatan dari sahabat senior, baru permasalahan ini digulirkan kepada rakyat secara umum. Sebagaimana pendahulunya, Umar juga menyampaikan khutbah iftitah yang pada intinya adalah:
1.      Jabatan khalifah merupakan tugas berat yang diamanahkan oleh rakyat. Sehingga tanggungjawabnya sangat berat.
2.      Perjalanan kekhalifahan harus ada kerja sama saling membantu antara rakyat sebagai ra’iyyah dengan khalifah sebagai penguasa (ra’in).
Utsman ibn Affan, pengangkatan khlaifah Utsman diserahkan kepada tim kecil yang beranggotakan enam orang plus Abdullah ibn Umar. Enam orang itu semuanya ditunjuk oleh Umar dengan alasan mereka itu adalah ahli syurga yang alim dan dari suku Quraisy.
Pokok-pokok dari khutbah yang disampaikan antara lain:
1.      Utsman akan memerintah sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits.
2.      Ummat Islam (maksudnya rakyat) boleh memberikan kritik kepada khalifah manakala menyimpang dari ketentuan hukum syari’ah.
Ali ibn Thallib, diangkat sebagai khalifah dalam masa kekacauan karena pembunuhan yang menimpa Utsman. Secara politis ia dipilih oleh kaum muslimin secara aklamasi. Hampir sebagian besar kaum muslimin baik dari kelompok muhajirin maupun anshor, seperti tokoh senior Thalhah dan Zubair, datang turut membai’at. Hanya permasalahannya kenaikan Ali menjadi khalifah sebelum problem pembunuhan Utsman belum tuntas.[13]
Pidato yang disampaikan Ali antara lain berisi:
1.      Masyarakat harus taat kepada pemerintah. Ini dilatarbelakangi oleh suasana kacau yang mengawali pengangkatan Ali.
2.      Saling menjaga kehormatan di antara sesama kaum muslimin.

Dari beberapa rekaman peristiwa selama masa khulafah al-rasyidun dapat diambil natijah, bahwa hak-hak rakyat mendapat jaminan hak-haknya yang sangat besar. Hanya saja kalau dibandingkan dengan perkembangan sekarang, jaminan hak-hak rakyat lebih banyak bersifat top-down daripada buttom-up, sebagaimana yang sekarang dikampayekan. Khalifah mempunyai kekuasaan yang telah diberikan oleh umatnya.
Khalifah hanyalah manusia biasa yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mengatur urusan dunia dan urusan akhirat,[14] selaras dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila dalam penyelenggaraan pemerintah, khalifah sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka rakyat harus tunduk, namun bila khalifah melakukan kesalahan maka rakyat berhak mengkoreksi atau bahkan me-makzul-kan khalifahnya. Apabila dalam me-makzul-kan khalifah akan muncul fitnah maka perlu diwaspadai antara dua kerugian.[15]
Ummah (rakyat) dalam hal ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Alasan ini tidak saja karena secara rasional dimana rakyat adalah unsur negara yang akan ikut serta berkiprah dalam penyelenggaraan negara sehingga wajar bila rakyat sebagai subjek negara, tetapi secara teologis ada beberapa hadits maupun ayat Qur’an yang memandang rakyat sebagai sumber kebenaran.[16]
Pemilihan khalifah yang dilaksanakan atas dasar musyawarah, tidak melalui perwakilan atau sistem langsung ataupun parlementer, oleh Hussain Haikal[17] dikatakan mendekati sistem republik. Bahkan menurut Phillip K. Hitty,[18] sistem pemerintahan khulafah al-rasyidun itu adalah sistem yang sekarang disebut republik, karena pemilihan kepala negara dilakukan oleh rakyat warga negara. Hanya yang membedakan, kalau republik ada pembatasan waktu jabatan kepala negara, sedang pada khulafah al-rasyidun tidak ada peraturan pembatasan masa jabatan khalifah. Pokoknya selagi mereka masih taat atas nash Qur’an dan hadits dapat diteruskan.

RELASI PENGUASA DAN RAKYAT
Penguasa dipahami sebagai sebuaj kelompok rakyat yang dipilih dan dipercayakan untuk bertindak atas nama rakyat dalam menyelenggarakan negara. Kebijakan-kebijakan ke arah tercapainya tujuan bersama dilaksanakan dengan dukungan dan partisipasi seluruh rakyat. Sedangkan rakyat adalah keseluruhan anggota warga negara yang ada dalam suatu negara. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, rakyat sebagai individu harus mau bekerjasama dengan individu lain yang beraneka macam untuk merealisasikan tujuan bersama.
Hubungan rakyat dan penguasa tak dapat direduksi sebagai hubungan antar individu dengan individu. Namun merupakan hubungan antara sekelompok individu dengan lembaga pelaksana negara dalam suatu mekanisme yang komplementer. Relasi keduanya dapat berupa kontrak sosial (social contact), kontrol sosial (social control) atau bisa agent social of change.
Relasi antara penguasa dengan rakyat menjadi hubungan kontrak sosial yang memberikan kepada masing-masing beberapa hak dan kewajiban yang berupa hubungan timbal balik. Buktinya adalah inti pidato yang disampaikan pada waktu pengangkatan. Di sana jelas ada ikatan antar penguasa dan rakyat.[19]
Sebagai social control, rakyat mempunyai kewenangan yang mutlak untuk mengkoreksi perjalanan pemerintahan khalifah. Kontrol yang dilakukan biasanya diberikan langsung kepada khalifah dan khalifah menanggapinya sebagai upaya membenarkan tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan nash. Kontrol ini merupakan hak rakyat yang harus diterima sebagai kewajiban yang harus diterima oleh khalifah. Fungsi dari kontrol ini sangatlah besar mengingat penguasa, dengan kekuatannya, sering disalahkgunakan. Ini mestinya sangat manusiawi. Orang yang kuat sering terlena dengan kekuatan dan kebesarannya, untuk itu sebagai perimbangan kekuatan, kontrol rakyat akan sangat bermanfaat. Dengan demikian, kontrol yang dilakukan oleh rakyat pada masa khalifah menjadi sangat urgen dalam perspektif negara Islam. Tetapi kemutlakan kontrol tidak tanpa dasar, karena tetap mengacu kepada nilai-nilai Qur’an dan Hadits.
Di samping sebagai social control, rakyat mempunyai relasi dengan penguasa sebagai pusat pembaharuan. Pembaharuan yang dilakukan oleh khalifah dalam segala aspek kehidupan harus mengacu pada aspirasi rakyat baik secara lisan maupun sikap tingkah laku. Tanpa mengacu kepada dinamika masyarakat kepemimpinan khalifah tidak akan diterima oleh rakyat secara umum.

AKTUALISASI HAK-HAK RAKYAT (Mashalih al-Ra’iyyah)
Dinamika sistem pemerintahan pada masa khalifah al-rasyidun beraneka ragam bentuk dan faktanya. Paruh pertama masa khulfah al-rasyidun pemerintahan berjalan hampir tak mempunyai cela dan kekurangan, sedangkan paruh kedua diawali dengan berbagai friksi-friksi politik internal umat Islam yang mempresentasikan perkembangna masyarakat Islam. Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab nampak mendekati dengan sistem pemerintahan yang dibangun pada masa Nabi,[20] buka saja karena secara kronologis waktunya masih relatif dekat dengan masa nabi, tetapi juga secara geografis masyarakat Islam belum banyak tersebar ke berbagai daerah yang heteregon sosial budayanya. Sedangkan munculnya konflik-konflik yang terjadi pada permulaan pemerintahan Utsman merupakan konsekwensi logis dari perkembangan negara baru Islam. Bila dilihat dengan kacamata politis, munculnya konflik itu akibat semakin sadarnya rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari deferensiasi sistem pemerintahan yang ada selama masa khalifah rasyidun ada beberapa indikator yang menunjukkan teraktualisasikannya hak-hak rakyat dalam aktifitas politik waktu itu. Di antaranya prinsip Musyawarah (syura), persamaan (al-musawa/egalitarian), keadilan (‘adalah) dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (social control).

A.    Abu Bakar as-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)[21]
Di awal pengangkatan, khalifah Abu Bakar telah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memberikan koreksi dan kontrol atas perilaku kekhalifahan.
Tugas pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah memerangi sejumlah rakyat yang mengingkari bayar zakat. Pada mulanya Umar tidak menyetujui pendapat Abu Bakar karena bila dilihat dari kacamata politis, mereka itu bisa dijadikan aset negara, meskipun tidak melakukan zakat. Abu Bakar melihat lain, bahwa ia ingin mengembalikan sistem masyarakat seperti pada zaman nabi yang masih kental dengan nilai-nilai religius.[22]
Begitu juga ketika Umar mengusulkan al-Qur’an dalam sebuah mushaf Abu Bakar menolak karena khawatir ada pengkultusan terhadap mushaf, namun demi kemashlahatan rakyat, Abu Bakar menyetujui ide Umar untuk membukukan al-Qur’an.

B.     Umar ibn Khattab (13-23 H/634-644 M)
Khalifah kedua ini meninggalkan banyak pelajaran bagi perkembangan Islam berikutnya. Umar sangat getol memperjuangkan keadilan bagi penguasa dan rakyat secara keseluruhan. Di setiap malam Umar jarang sekali terlelap tidur di peraduannya, ia lebih banyak keliling kota untuk melihat perkembangan masyarakat Islam waktu itu. Pada suatu hari Umar menemukan seorang janda yang sedang ditangisi anaknya. Seketika Umar datang dan menanyakan problem apa yang dihadapi si-anak. Si ibu menjawab dengan lugu bahwa anaknya kelaparan. Tanpa basa-basi Umar meninggalkan rumah janda itu dan mengambil sekarung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya.[23]
Dalam prinsip musawa, suatu malam Umar pernah melihat seorang kakek sedang minum-minum bersama seorang perempuan cantik. Melihat ada kemungkaran, Umar masuk dan berkata kepada si kakek; “Hai si kakek, engkau telah berbuat dosa karena engkau berdua di tempat yang sepi. Ingatlah akan kutukan Tuhan”. Si kakek balik bicara, “hai khalifah, aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau lebih dari satu kesalahan. Pertama, engkau masuk rumah tanpa permisi, kedua engkau mengganggu kebebasanku”. Umar tak dapat menjawab.
Prinsip musyawarah sangat ditekankan. Setiap tahun ia selalu mengadakan musyawarah dengan seluruh pejabat negara dan seluruh rakyat yang melakukan ibadah haji. Forum itu dijadikan ajang “dengar pendapat” antara khalifah dengan para ‘Amir dari daerah dan seluruh rakyatnya. Apa saja yang menjadi permasalahan di tengah rakyat, dicari penyelesaian dengan cara musyawarah.[24]

C.    Utsman ibn Affan (23-25 H/644-656 M)
Masa pemerintahan Utsman yang oleh sebagian muarrikh dijastifikasi sebagai munculnya sistem nepotisme memberikan banyak mengandung misteri yang perlu dianalisis lebih jauh. Utsman ternyata apresiatif terhadap aspirasi rakyatnya. Ini terlihat ketika ia hendak mengangkat gubernur Kuffah, Wahid ibn Uqbah, yang kebetulan masih ada hubungan famili dengannya. Masyarakat Kuffah tidak mau menerima gubernur yang diangkat oleh khalifah karena rendahnya integritas keagamaan Wahid. Dalam suatu riwayat disebutkan, Wahid sering mabuk-mabuk dan pernah shalat empat raka’at karena ia dalam keadaan mabuk. Usul rakyat dikabulkan oleh khalifah dan dicarikan calon yang lain.[25]
Musyawarah juga menjadi prinsip utama dalam menyelesaikan masalah. Ketika terjadi kerusuhan kaum muslimin di Sabaiyyah, ia mengadakan musywarah bersama sahabat lain. Dalam musyawarah ini dihasilkan keputusan untuk mengirim tim kecil dari Muhammad bin Maslamah, Usman bin Zaid, Abdullah bin Umar dan Ammar bin Yasin untuk mengadakan pendekatan secara persuasif.[26]

D.    Ali ibn Abi Thallib (35-40 H/656-661 M)
Meskipun pengangkatan Ali mengalami kekacauan, namun dalam masa lima tahun banyak kontribusi yang diberikan dalam perkembangan pemerintahan Islam. Antara lain prinsip keadilan, al-musawa dan kemashlahatan rakyat.
Suatu waktu Ali pernah dituduh oleh seorang Yahudi bahwa khalifah telah memiliki pedang miliknya. Ia mengadukan peristiwa itu kepada pengadilan. Dalam waktu dekat pengadilan memutuskan bahwa khalifah Ali harus memberikan pedang itu kepada si Yahudi. Ali melaksanakan putusan pengadilan, tetapi kemudian si Yahudi berkata bahwa sesungguhnya pedang itu telah dibeli oleh khalifah Ali. Ia hanya ingin menguji seberapa adilnya Ali dalam merealisasikan hak-hak rakyat.
Ali sangat memperhatikan masyarakat kecil yang tak punya apa-apa. Suatu waktu ada seorang gubernur yang menghadiri sebuah pesta seorang pembesar. Ali mencela gubernurnya dengan alasan bahwa perhelatan itu tidak menghadirkan rakyat kecil. Di sini ia ingin menanamkan persamaan di antara rakyat warga negara.[27]

ANALISIS AKHIR
Dari berbagai data sejarah yang terkumpul, penulis mencoba mengklarifikasi data dengan mengacu pada pertanyaan awal. Apakah ada kedaulatan rakyat pada masa khulafah rasyidun? Dan seberapa jauh hak-hak rakyat itu dilaksanakan?
Pertama, bahwa dari empat khalifah dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya dalam melaksanakan pemerintahan berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bisa ditemuka dari pidato pertama tiap khalifah yang membetikan kesempatan kepada rakyat untuk memberikan kritik bahkan koreksi atas penyelenggaraan pemerintah yang menyeleweng dari nash Qur’an dan Hadits. Dengan kedaulatan yang ada pada rakyat, rakyat berhak menentukan segala perundang-undangan dan pemerintahan bahkan rakyat berhak untuk me-makzul-kan khalifah yang dholim.
Kedua, dengan berlandaskan kedaulatan pada rakyat, musyawarah baik secara internal penguasa maupun penguasa face a face rakyat menjadi sangat urgen dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hanya saja pada masa khulfah rasyidun musyawarah banyak dilaksanakan hanya oleh kalangan elitis penguasa, atau juga di kalangan jama’ah kaum muslimin di masjid nabawi, seperti yang dilakukan Abu Bakar. Bahkan sekali dalam satu tahun musyawarah dilakukan dengan segenap jama’ah haji dan seluruh pejabar pemerintahan daerah yang sedang melakukan ibadah haji di madinah, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar.
Ketiga, beberapa kegiatan pemerintahan yang memposisikan rakyat sebagai subjek negara lebih banyak top-down, datang dari khalifah, meskipun ada satu-dua ide-ide itu dari rakyat. Sehingga terkesan hak-hak rakyat yang ada pada zaman khalifah rasyidun kurang diperhatikan.
Keempat, relasi antara penguasa dengan rakyat menjadi suatu kesepakatan kontrak sosial dimana keduanya mempunyai hak dan kewajiban atas dasar timbal balik sebagaimana tercermin dalam pidato iftitah pengangkatan khalifah.

PENUTUP
Makalah ini sengaja dijadikan sebagai bahan diskusi karena penulis belum dapat menemukan konsep final tentang kedaulatan negara pada masa khalifah al-rasyidun. Dengan harapan para peserta diskusi dapat memberikan kritik konstruktif.


[1] Pada mulanya istilah warga negara yang diartikan polites (bahasa Yunani) atau citizen (dalam bahasa Inggris) tidak ditemukan dalam khazanah Islam. Karena asalnya dari revolusi Prancis dan Amerika pada negara kota (polis) di Yunani kuno. Biasanya dalam literatur Islam ditemukan kata ummah yang berarti rakyat, tetapi setelah Islam banyak mengalami montak dengan barat tentang nasionalisme dan warga negara, maka istilah warga negara mulai dipergunakan dalam berbagai buku-buku politik Islam (baca: fiqh siyasah) (Bernard Lewis, The Political Languages of Islam [Chicago: The University of Chicago Press, 1988], hlm. 63
[2] Lihat Muhammad al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthoniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, Tt.) hlm. 17
[3] Subjective liberty adalah kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan objecitve liberty adalah kehendak umum dengan sifat dasar yang serasi dengan tujuan individual (Syamsuddin, Hak-Hak Rakyat Warga Negara Dalam Perspektif Sejarah Kekuasaan Negara Agama Dalam Buku Agama Dan Hak Rakyat (Jakarta: P3M, 1993) hlm. 21
[4] Istilah kedaulatan rakyat, yang berarti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berbeda dengan kata daulah (bahasa Arab) yang artinya negara. Penulis menemukan kata yang hampir sama dengan kedaulatan adalah al-siyadah dalam bab Mashdar al-Siyadah fi al-Ummah (Muhammad Yusuf Musa, Nidhomul Hukmi fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, Tt. Hlm. 74)
[5] Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dari makalah Mansour Fakih dalam seminar sehari Agama dan Hak Rakyat yang diselenggarakan oleh P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Jakarta, Juli 1993 dengan judul Negara dan Hak-Hak Rakyat dalam Model Kapitalisme: Suatu Analisis Kritis
[6] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) hlm. 58
[7] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993) hlm. 44
[8] Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abdullah ibn Abi Quhafah Utsman bin amr bin Mas’ud bin Taim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr al-Taimi al-Quraisyi. Nasabnya bertemu dengan nabi di Marrah bin Ka’ab. Ibunya Ummu Khair al-Sulami binti Shahra binti Amr ibn Ka’ab bin Saad bin Taim bin Marrah (Muhammad Hudori Bik, Itmam al-Wafa fi Sirah al-Khulafa (Beirut: Dar al-Kutub, 1983) hlm. 18
[9] Abu Bakar tidak menerima gelar khalifah, karena menurutnya yang pantas menerima gelar khalifah adalah Nabi Muhammad SAW. Ia hanya mau diberi gelar khalifah khalifah Allah (pengganti khalifah Allah). Namun lambat laun para sejarawan (muarrikh) memberikan gelar kepada khalifah yang empat dengan sebutan Khulafah al-Rasyidun
[10] Teks khutbah secara lengkap dapat dilihat dalam buku Muhammad Hudori Bik, Muhadhorat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah Juz I (Mesir: Matbaah al-Qahirah al-Istiqomah, 1370 H) hlm. 170
[11] Nama lengkapnya adalah Umar ibn Khattab ibn Nufail bin Abdul Uza bin Rabah bin Abdullah ibn Qarith bin Razah bin Addi bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr al-Adwi al-Qurshi, nasabnya ketemu dengan nabi pada kakek Ka’ab bin Luay. Nama kunyah-nya Abu Hafash, sedang gelar al-Faruq (Hudori Bik, Itmam al-Wafa…. Hlm. 53)
[12] Hasil musyawarah selanjutnya dituliskan oleh Utsman dalam sebuah shahifah yang secara lengkap dapat dilihat dalam Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, Tt) hlm. 425
[13] At-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1987) hlm. 466-467
[14] Muhammad Hudori Bik, Itmam al-Wafa fi Sirah al-Khulafa (Beirut: Dar al-Kutub, 1370 H) hlm. 107; Muhammad Yusuf Musa, Nidhom al-Hukmi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, Tt) hlm. 74
[15] Abdul Wahab Khalaf, as-Siyasah Syar’iyyah (Mesir: Maktabah al-Salafiyyah, 1350) hlm. 58
[16] Lihat dua hadits nabi riwayat Ahmad; Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan dan aku mohon kepada Tuhanku supaya umatku jangan bersepakat dalam kesesatan dan diperkenankan permohonanku. Dalam Qur’an Surat an-Nisa: 35 dan al-Maidah: 1, 2 dan 8
[17] Muhammad Husain Haikal, al-Hukumah al-Islamiyyah (terjemahan) (Jakarat: Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 18
[18] Phillip K. Hitty, History of The Arabs  (London: Macmillan Press, Tt) hlm. 183
[19] Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI-Press, 1990) hlm. 31
[20] Pemerintahan nabi Muhammad menjadi ideal karena tuntunan wahyu Allah dan banyak diilhami oleh Piagam Madinah, sehingga meski dengan masyarakat yang majemuk integritas negara tetap dapat dipertahankan (Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: UI-Press, 1995) hlm. 5
[21] Hugh Kennedy, The Prophet and The Age of Caliphate (New York: Longman Publishing, 1994) hlm. 50
[22] Muhammad Hudori Bik, Itmam al-Wafa fi Sirah al-Khulafa… hlm. 25
[23] Ibid, hlm. 109
[24] Muhammad Mahmud Aqqad, Abqariyyah Umar……… hlm. 143-144
[25] Jalaluddin as-Syuyuti, Tarikh al-Khulafa (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) hlm. 144
[26] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Rajawali Press, 1995) hlm. 146
[27] Mahmud Muhammad Aqqad, Keagungan Ali ibn Abi Thallib (Surabaya: Pustaka Mantiq, 1994) hlm. 129

------------------

Makalah ditulis oleh Imam Yahya dan Dipresentasikan Dalam Seminar Matakuliah Islam dan Tata Negara

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...