PENGANTAR
Hak-hak rakyat warga negara[1]
(mashail ra’iyyah) dalam kajian fiqh siyasah merupakan discourse
yang menarik. Bukan saja bagi para ilmuwan modern tetapi juga oleh
literatur-literatur klasik pertengahan. Hanya pembahasannya tidak terlalu
dominan karena lebih memfokus pada kajian hak-hak pemerintah (huquq al-ra’in)
atas rakyat. Al-Mawardi misalnya, tidak membahas khusus mashalih ra’iyyah,
ia hanya memasukkannya sebagai sub-bahasan dari bab aqd al-imamah,[2]
namun dari kitab tersebut dapat difahami secara eksplisit dari hak-hak
penguasa, ada kewajiban-kewajiban penguasa yang merupakan hak-hak rakyat.
Secara logis, dalam kajian politik,
negara merupakan sebuah lembaga yang berdiri untuk mewujudkan cita-cita bersama
yakni kebaikan dan kesejahteraan rakyat (common good, common weal). Terbentuknya
negara, dalam hal ini membutuhkan kesediaan rakyat untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya dan pemenuhan tugas-tugas seperangkat penguasa untuk
melaksanakan amanat yang telah dipercayakan. Tanpa adanya saling pengertian
antara ra’iyyah dan ra’in, sebuah negara tak dapat merealisasikan
kekuasaannya (powerfull).
Dalam lintasan sejarah, sebenarnya
hak-hak rakyat yang merupakan salah satu hak kodrati manusia merupakan hak
universal warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak itu
tentunya akan diperjuangkan oleh warga ngeara sebagai tujuan akhir (finak goal) dalam bernegara. Meminjam
istilah Hegel, konfigurasi kebebasan subjektif (subjective liberty) dan
kebebasan objektif (objective liberty)[3]
merupakan basis terselenggaranya kedaulatan dan kekuasaan negara. Rentangan
sejarah Islam yang luas membuktikan betapa banyaknya konflik-konflik yang
terjadi dalam mengangkat harkat dan martabat hak-hak rakyat warga negara selama
empat belas abad yang silam. Dari sistem khalifah hingga sistem kerajaan yang
berakhir dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan oleh Mustafa Kamil di Turki
pada 2 Maret 1924, perjuangan untuk mashalih ra’iyyah masih tetap
menjadi agenda “negara Islam”.
Makalah ini bermaksud menelusuri
akar sejarah peran rakyat dalam mengartikulasikan pendapat pada masa khulafah
al-Rasyidun. Sedang pembahasannya bertolak dari pertanyaan seberapa jauh rakyat
mendapatkan hak-hak rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian
dalam bentuk yang bagaimana relasi rakyat dan khalifah itu dilaksanakan. Dua
pertanyaan tersebut sangat urgen dibahas dalam rangka mencari konsep kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan selama periode khulafah al-Rasyidun.
Hanya saja penulis mengakui banyak
kesulitan dalam membuat standar penelitian, mengingat objek kajiannya adalah
sikap dan perilaku yang telah dilakukan oleh masyarakat yang telah empat belas
abad silam. Sementara paradigma penulis tentang hak-hak rakyat atau kedaulatan
rakyat lebih banyak dipengaruhi oleh istilah-istilah yang dipakai dalam negara
modern. Untuk itu, pembahasan berikut penulis lebih banyak mengabstraksikan
data sejarah kemudian memberikan sedikit analisis.
HAK-HAK RAKYAT
Untuk membahas lebih lanjut perihal
hak-hak rakyat, permasalahan sentral yang akan dibahas adalah kedaulatan
rakyat.[4] Siapa yang sesungguhnya mempunyai kedaulatan?
Rakyatkah, penguasa atau bahkan Tuhan. Konsep Gramsci, misalnya, yang banyak
dikenal dalam ilmu politik modern memandang rakyat adalah “objek” dari state
(negara). Rakyat seharusnya menjadi subjek dalam negara, menurut konsep Gramsci
justru terhegemoni oleh kekuatan negara. Karena bagi Gramsci negara terdiri
atas lembaga pemerintahan (public institution) dan aparat pemaksa (coercion)
seperti tentara atau pengadilan.[5]
Berbeda dengan Gramsci, Thomas
Hobbes (1588-1679) yang menawarkan bentuk negara teokrasi mutlak. Dalam masterpiece-nya
Leviathan, ia menawarkan teori yang sangat mekanis dan menafikan
nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, kekuasaan itu tidak dapat dibantah,
mutlak, tak dapat dibagi dan tak terbatas.[6]
Dalam perspektif fiqh siyasah,
ada dua pendapat yang membahas sumber kedaulatan. Syi’ah yang memandang negara
dan agama merupakan satu kesatuan menyatakan bahwa kedaulatan Tuhan adalah
mutlak bagi manusia. Tak ada kedaulatan lain dalam negara kecuali kedaulatan
Tuhan. Sehingga sabda penguasa adalah sabda Tuhan yang harus dilaksanakan, karena
sesungguhnya penguasa adalah bayang-bayang Tuhan. Berbeda lagi dengan kelompok
Sunni yang memandang agama dan negara mempunyai hubungan yang komplementer,
saling melengkapi. Bagi kelompok ini kedaulatan yang ada dalam suatu negara
adalah kedaulatan ra’iyyah. Biasanya macam pemerintahan yang demikian
ini bercorak demokratis.
Kedaulatan, sebagaimana yang
dipahami oleh para ahli ilmu politik modern[7] sebagai salah satu unsur terbentuknya negara
adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya
dengan berbagai cara yang telah ditentukan. Dengan demikian, negara yang
berkedaulatan rakyat adalah negara yang menempatkan rakyat sebagai pemilik
kekuasaan tertinggi dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan
sekaligus mempunyai kewenangan untuk memaksakan berlakunya undang-undang
tersebut. Di sinilah rakyat dituntut aktif sebagai bentuk kontribusi kepada
negara.
Kondisi kedaulatan secara umum yang
ada pada masa khulafah al-Rasyidun memberikan peluang kepada rakyat untuk aktif
dalam penyelenggaraan negara. Paling tidak peluang itu dapat dipahamu dari
proses-proses awal seorang khalifah diangkat sebagai pemimpin negara. Pertama,
proses pengangkatan dilakukan secara “musyawarah” meskipun hanya dilakukan
dengan kaum elitis kekuasaan dan sebagaian jama’ah masjid nabawi. Kedua, adanya
bai’at yang dilakukan oleh kaum muslimin sebagai bentuk kesediaan rakyat
memberikan amanat kepada khalifah. Biasanya setelah dilakukan bai’at, khalifah
menerima pendaulatan dengan pidato iftitah di masjid nabawi.
Abu Bakar,[8] proses pemilihan Abu Bakar dilakukan secara
musyawarah melalui pilihan yang dilakukan oleh kelompok sahabat anshor dan
muhajirin yang berlangsung di balai pertemuan Tsaqifah Bani Saidah.
Meski mulanya kaum anshor menghendaki Saad ibn Ubadah yang dipilih menjadi
khalifah, namun berkat musyawarah antara mereka yang juga dihadiri oleh Abu
Bakar, Umar ibn Khattab dan Abu Ubadah, nama Abu Bakar terpilih sebagai
khalifah yang pertama.[9]
Sebagai mandatis rakyat, Abu Bakar
menerima bai’at dari rakyat dan memberikan pidato atas terpilihnya sebagai
khalifah pertama.[10] Pokok-pokok isi pidato yang dikemukakan Abu
Bakar antara lain:
1.
Abu Bakar adalah rakyat biasa yang dipercaya menjabat khalifah, maka
apabila terdapat kesalahan dalam memimpin luruskanlah dan jika ditemui suatu
kebenaran ikutilah. Di sini menyiratkan betapa rakyat diberi hak untuk
mengadakan kontrol kepada penguasa.
2.
Memegang prinsip-prinsip al-musawa (egalitarian) dalam
kehidupan bernegara. Tidak ada perbedaan di antara rakyat kedudukannya dalam
negara.
3.
Kekuasaan berlandaskan kepada konstitusional, bukan kekuasaan mutlak
seseorang sehingga khalifah membutuhkan musyawarah sahabat lain.
Umar ibn Khattab[11], diangkat sebagai khalifah dengan cara
penunjukkan sebelumnya oleh Abu Bakar meski sebelumnya Abu Bakar bermusyawarah
lebih dulu dengan sahabat senior Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thallib, Abdurrahman
ibn Auf dan Thalhah ibn Ubaidillah.[12] Setelah mendapatkan kesepakatan dari sahabat
senior, baru permasalahan ini digulirkan kepada rakyat secara umum. Sebagaimana
pendahulunya, Umar juga menyampaikan khutbah iftitah yang pada intinya
adalah:
1.
Jabatan khalifah merupakan tugas berat yang diamanahkan oleh rakyat.
Sehingga tanggungjawabnya sangat berat.
2.
Perjalanan kekhalifahan harus ada kerja sama saling membantu antara
rakyat sebagai ra’iyyah dengan khalifah sebagai penguasa (ra’in).
Utsman ibn Affan, pengangkatan
khlaifah Utsman diserahkan kepada tim kecil yang beranggotakan enam orang plus
Abdullah ibn Umar. Enam orang itu semuanya ditunjuk oleh Umar dengan alasan
mereka itu adalah ahli syurga yang alim dan dari suku Quraisy.
Pokok-pokok dari khutbah yang
disampaikan antara lain:
1.
Utsman akan memerintah sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits.
2.
Ummat Islam (maksudnya rakyat) boleh memberikan kritik kepada khalifah
manakala menyimpang dari ketentuan hukum syari’ah.
Ali ibn Thallib, diangkat sebagai
khalifah dalam masa kekacauan karena pembunuhan yang menimpa Utsman. Secara
politis ia dipilih oleh kaum muslimin secara aklamasi. Hampir sebagian besar
kaum muslimin baik dari kelompok muhajirin maupun anshor, seperti tokoh senior
Thalhah dan Zubair, datang turut membai’at. Hanya permasalahannya kenaikan Ali
menjadi khalifah sebelum problem pembunuhan Utsman belum tuntas.[13]
Pidato yang disampaikan Ali antara
lain berisi:
1.
Masyarakat harus taat kepada pemerintah. Ini dilatarbelakangi oleh
suasana kacau yang mengawali pengangkatan Ali.
2.
Saling menjaga kehormatan di antara sesama kaum muslimin.
Dari beberapa rekaman peristiwa
selama masa khulafah al-rasyidun dapat diambil natijah, bahwa hak-hak
rakyat mendapat jaminan hak-haknya yang sangat besar. Hanya saja kalau
dibandingkan dengan perkembangan sekarang, jaminan hak-hak rakyat lebih banyak
bersifat top-down daripada buttom-up, sebagaimana yang sekarang
dikampayekan. Khalifah mempunyai kekuasaan yang telah diberikan oleh umatnya.
Khalifah hanyalah manusia biasa
yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk mengatur urusan dunia dan urusan
akhirat,[14] selaras dengan apa yang disyari’atkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila dalam penyelenggaraan pemerintah, khalifah
sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka rakyat harus
tunduk, namun bila khalifah melakukan kesalahan maka rakyat berhak mengkoreksi
atau bahkan me-makzul-kan khalifahnya. Apabila dalam me-makzul-kan khalifah
akan muncul fitnah maka perlu diwaspadai antara dua kerugian.[15]
Ummah (rakyat) dalam hal ini mempunyai kedudukan yang
tinggi. Alasan ini tidak saja karena secara rasional dimana rakyat adalah unsur
negara yang akan ikut serta berkiprah dalam penyelenggaraan negara sehingga
wajar bila rakyat sebagai subjek negara, tetapi secara teologis ada beberapa
hadits maupun ayat Qur’an yang memandang rakyat sebagai sumber kebenaran.[16]
Pemilihan khalifah yang
dilaksanakan atas dasar musyawarah, tidak melalui perwakilan atau sistem
langsung ataupun parlementer, oleh Hussain Haikal[17] dikatakan mendekati sistem republik. Bahkan
menurut Phillip K. Hitty,[18] sistem pemerintahan khulafah al-rasyidun itu
adalah sistem yang sekarang disebut republik, karena pemilihan kepala negara
dilakukan oleh rakyat warga negara. Hanya yang membedakan, kalau republik ada
pembatasan waktu jabatan kepala negara, sedang pada khulafah al-rasyidun tidak
ada peraturan pembatasan masa jabatan khalifah. Pokoknya selagi mereka masih
taat atas nash Qur’an dan hadits dapat diteruskan.
RELASI PENGUASA DAN RAKYAT
Penguasa dipahami sebagai sebuaj
kelompok rakyat yang dipilih dan dipercayakan untuk bertindak atas nama rakyat
dalam menyelenggarakan negara. Kebijakan-kebijakan ke arah tercapainya tujuan
bersama dilaksanakan dengan dukungan dan partisipasi seluruh rakyat. Sedangkan
rakyat adalah keseluruhan anggota warga negara yang ada dalam suatu negara.
Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, rakyat sebagai individu harus mau
bekerjasama dengan individu lain yang beraneka macam untuk merealisasikan
tujuan bersama.
Hubungan rakyat dan penguasa tak
dapat direduksi sebagai hubungan antar individu dengan individu. Namun
merupakan hubungan antara sekelompok individu dengan lembaga pelaksana negara
dalam suatu mekanisme yang komplementer. Relasi keduanya dapat berupa kontrak
sosial (social contact), kontrol sosial (social control) atau
bisa agent social of change.
Relasi antara penguasa dengan
rakyat menjadi hubungan kontrak sosial yang memberikan kepada masing-masing
beberapa hak dan kewajiban yang berupa hubungan timbal balik. Buktinya adalah
inti pidato yang disampaikan pada waktu pengangkatan. Di sana jelas ada ikatan
antar penguasa dan rakyat.[19]
Sebagai social control,
rakyat mempunyai kewenangan yang mutlak untuk mengkoreksi perjalanan
pemerintahan khalifah. Kontrol yang dilakukan biasanya diberikan langsung
kepada khalifah dan khalifah menanggapinya sebagai upaya membenarkan
tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan nash. Kontrol ini merupakan hak
rakyat yang harus diterima sebagai kewajiban yang harus diterima oleh khalifah.
Fungsi dari kontrol ini sangatlah besar mengingat penguasa, dengan kekuatannya,
sering disalahkgunakan. Ini mestinya sangat manusiawi. Orang yang kuat sering
terlena dengan kekuatan dan kebesarannya, untuk itu sebagai perimbangan
kekuatan, kontrol rakyat akan sangat bermanfaat. Dengan demikian, kontrol yang
dilakukan oleh rakyat pada masa khalifah menjadi sangat urgen dalam perspektif
negara Islam. Tetapi kemutlakan kontrol tidak tanpa dasar, karena tetap mengacu
kepada nilai-nilai Qur’an dan Hadits.
Di samping sebagai social
control, rakyat mempunyai relasi dengan penguasa sebagai pusat pembaharuan.
Pembaharuan yang dilakukan oleh khalifah dalam segala aspek kehidupan harus
mengacu pada aspirasi rakyat baik secara lisan maupun sikap tingkah laku. Tanpa
mengacu kepada dinamika masyarakat kepemimpinan khalifah tidak akan diterima
oleh rakyat secara umum.
AKTUALISASI HAK-HAK RAKYAT (Mashalih
al-Ra’iyyah)
Dinamika sistem pemerintahan pada
masa khalifah al-rasyidun beraneka ragam bentuk dan faktanya. Paruh pertama
masa khulfah al-rasyidun pemerintahan berjalan hampir tak mempunyai cela dan
kekurangan, sedangkan paruh kedua diawali dengan berbagai friksi-friksi politik
internal umat Islam yang mempresentasikan perkembangna masyarakat Islam.
Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab nampak mendekati dengan sistem
pemerintahan yang dibangun pada masa Nabi,[20] buka saja karena secara kronologis waktunya
masih relatif dekat dengan masa nabi, tetapi juga secara geografis masyarakat
Islam belum banyak tersebar ke berbagai daerah yang heteregon sosial budayanya.
Sedangkan munculnya konflik-konflik yang terjadi pada permulaan pemerintahan
Utsman merupakan konsekwensi logis dari perkembangan negara baru Islam. Bila
dilihat dengan kacamata politis, munculnya konflik itu akibat semakin sadarnya
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari deferensiasi sistem
pemerintahan yang ada selama masa khalifah rasyidun ada beberapa indikator yang
menunjukkan teraktualisasikannya hak-hak rakyat dalam aktifitas politik waktu
itu. Di antaranya prinsip Musyawarah (syura), persamaan (al-musawa/egalitarian),
keadilan (‘adalah) dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (social
control).
Di awal pengangkatan, khalifah Abu
Bakar telah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memberikan koreksi dan
kontrol atas perilaku kekhalifahan.
Tugas pertama yang dilakukan oleh
Abu Bakar adalah memerangi sejumlah rakyat yang mengingkari bayar zakat. Pada
mulanya Umar tidak menyetujui pendapat Abu Bakar karena bila dilihat dari
kacamata politis, mereka itu bisa dijadikan aset negara, meskipun tidak
melakukan zakat. Abu Bakar melihat lain, bahwa ia ingin mengembalikan sistem
masyarakat seperti pada zaman nabi yang masih kental dengan nilai-nilai
religius.[22]
Begitu juga ketika Umar mengusulkan
al-Qur’an dalam sebuah mushaf Abu Bakar menolak karena khawatir ada
pengkultusan terhadap mushaf, namun demi kemashlahatan rakyat, Abu Bakar
menyetujui ide Umar untuk membukukan al-Qur’an.
B.
Umar ibn Khattab (13-23 H/634-644 M)
Khalifah kedua ini meninggalkan banyak
pelajaran bagi perkembangan Islam berikutnya. Umar sangat getol memperjuangkan
keadilan bagi penguasa dan rakyat secara keseluruhan. Di setiap malam Umar
jarang sekali terlelap tidur di peraduannya, ia lebih banyak keliling kota
untuk melihat perkembangan masyarakat Islam waktu itu. Pada suatu hari Umar
menemukan seorang janda yang sedang ditangisi anaknya. Seketika Umar datang dan
menanyakan problem apa yang dihadapi si-anak. Si ibu menjawab dengan lugu bahwa
anaknya kelaparan. Tanpa basa-basi Umar meninggalkan rumah janda itu dan
mengambil sekarung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya.[23]
Dalam prinsip musawa, suatu
malam Umar pernah melihat seorang kakek sedang minum-minum bersama seorang
perempuan cantik. Melihat ada kemungkaran, Umar masuk dan berkata kepada si
kakek; “Hai si kakek, engkau telah berbuat dosa karena engkau berdua di tempat
yang sepi. Ingatlah akan kutukan Tuhan”. Si kakek balik bicara, “hai khalifah,
aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau lebih dari satu kesalahan.
Pertama, engkau masuk rumah tanpa permisi, kedua engkau mengganggu
kebebasanku”. Umar tak dapat menjawab.
Prinsip musyawarah sangat
ditekankan. Setiap tahun ia selalu mengadakan musyawarah dengan seluruh pejabat
negara dan seluruh rakyat yang melakukan ibadah haji. Forum itu dijadikan ajang
“dengar pendapat” antara khalifah dengan para ‘Amir dari daerah dan seluruh
rakyatnya. Apa saja yang menjadi permasalahan di tengah rakyat, dicari
penyelesaian dengan cara musyawarah.[24]
C.
Utsman ibn Affan (23-25 H/644-656 M)
Masa pemerintahan Utsman yang oleh
sebagian muarrikh dijastifikasi sebagai munculnya sistem nepotisme
memberikan banyak mengandung misteri yang perlu dianalisis lebih jauh. Utsman
ternyata apresiatif terhadap aspirasi rakyatnya. Ini terlihat ketika ia hendak
mengangkat gubernur Kuffah, Wahid ibn Uqbah, yang kebetulan masih ada hubungan
famili dengannya. Masyarakat Kuffah tidak mau menerima gubernur yang diangkat
oleh khalifah karena rendahnya integritas keagamaan Wahid. Dalam suatu riwayat
disebutkan, Wahid sering mabuk-mabuk dan pernah shalat empat raka’at karena ia
dalam keadaan mabuk. Usul rakyat dikabulkan oleh khalifah dan dicarikan calon
yang lain.[25]
Musyawarah juga menjadi prinsip
utama dalam menyelesaikan masalah. Ketika terjadi kerusuhan kaum muslimin di
Sabaiyyah, ia mengadakan musywarah bersama sahabat lain. Dalam musyawarah ini
dihasilkan keputusan untuk mengirim tim kecil dari Muhammad bin Maslamah, Usman
bin Zaid, Abdullah bin Umar dan Ammar bin Yasin untuk mengadakan pendekatan
secara persuasif.[26]
D.
Ali ibn Abi Thallib (35-40 H/656-661 M)
Meskipun pengangkatan Ali mengalami
kekacauan, namun dalam masa lima tahun banyak kontribusi yang diberikan dalam
perkembangan pemerintahan Islam. Antara lain prinsip keadilan, al-musawa
dan kemashlahatan rakyat.
Suatu waktu Ali pernah dituduh oleh
seorang Yahudi bahwa khalifah telah memiliki pedang miliknya. Ia mengadukan
peristiwa itu kepada pengadilan. Dalam waktu dekat pengadilan memutuskan bahwa
khalifah Ali harus memberikan pedang itu kepada si Yahudi. Ali melaksanakan
putusan pengadilan, tetapi kemudian si Yahudi berkata bahwa sesungguhnya pedang
itu telah dibeli oleh khalifah Ali. Ia hanya ingin menguji seberapa adilnya Ali
dalam merealisasikan hak-hak rakyat.
Ali sangat memperhatikan masyarakat
kecil yang tak punya apa-apa. Suatu waktu ada seorang gubernur yang menghadiri
sebuah pesta seorang pembesar. Ali mencela gubernurnya dengan alasan bahwa perhelatan
itu tidak menghadirkan rakyat kecil. Di sini ia ingin menanamkan persamaan di
antara rakyat warga negara.[27]
ANALISIS AKHIR
Dari berbagai data sejarah yang
terkumpul, penulis mencoba mengklarifikasi data dengan mengacu pada pertanyaan
awal. Apakah ada kedaulatan rakyat pada masa khulafah rasyidun? Dan seberapa
jauh hak-hak rakyat itu dilaksanakan?
Pertama, bahwa dari empat khalifah
dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya dalam melaksanakan pemerintahan
berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bisa ditemuka dari
pidato pertama tiap khalifah yang membetikan kesempatan kepada rakyat untuk
memberikan kritik bahkan koreksi atas penyelenggaraan pemerintah yang
menyeleweng dari nash Qur’an dan Hadits. Dengan kedaulatan yang ada pada
rakyat, rakyat berhak menentukan segala perundang-undangan dan pemerintahan
bahkan rakyat berhak untuk me-makzul-kan khalifah yang dholim.
Kedua, dengan berlandaskan
kedaulatan pada rakyat, musyawarah baik secara internal penguasa maupun
penguasa face a face rakyat menjadi sangat urgen dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Hanya saja pada masa khulfah rasyidun musyawarah banyak
dilaksanakan hanya oleh kalangan elitis penguasa, atau juga di kalangan jama’ah
kaum muslimin di masjid nabawi, seperti yang dilakukan Abu Bakar. Bahkan sekali
dalam satu tahun musyawarah dilakukan dengan segenap jama’ah haji dan seluruh
pejabar pemerintahan daerah yang sedang melakukan ibadah haji di madinah,
sebagaimana yang dilakukan oleh Umar.
Ketiga, beberapa kegiatan
pemerintahan yang memposisikan rakyat sebagai subjek negara lebih banyak top-down,
datang dari khalifah, meskipun ada satu-dua ide-ide itu dari rakyat. Sehingga
terkesan hak-hak rakyat yang ada pada zaman khalifah rasyidun kurang
diperhatikan.
Keempat, relasi antara penguasa
dengan rakyat menjadi suatu kesepakatan kontrak sosial dimana keduanya
mempunyai hak dan kewajiban atas dasar timbal balik sebagaimana tercermin dalam
pidato iftitah pengangkatan khalifah.
PENUTUP
Makalah ini sengaja dijadikan
sebagai bahan diskusi karena penulis belum dapat menemukan konsep final tentang
kedaulatan negara pada masa khalifah al-rasyidun. Dengan harapan para peserta
diskusi dapat memberikan kritik konstruktif.
[1] Pada mulanya istilah
warga negara yang diartikan polites (bahasa Yunani) atau citizen (dalam
bahasa Inggris) tidak ditemukan dalam khazanah Islam. Karena asalnya dari
revolusi Prancis dan Amerika pada negara kota (polis) di Yunani kuno.
Biasanya dalam literatur Islam ditemukan kata ummah yang berarti rakyat,
tetapi setelah Islam banyak mengalami montak dengan barat tentang
nasionalisme dan warga negara, maka istilah warga negara mulai dipergunakan
dalam berbagai buku-buku politik Islam (baca: fiqh siyasah) (Bernard
Lewis, The Political Languages of Islam [Chicago: The University of
Chicago Press, 1988], hlm. 63
[3] Subjective liberty adalah kesadaran dan kehendak individual untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan objecitve liberty adalah
kehendak umum dengan sifat dasar yang serasi dengan tujuan individual
(Syamsuddin, Hak-Hak Rakyat Warga Negara Dalam Perspektif Sejarah Kekuasaan
Negara Agama Dalam Buku Agama Dan Hak Rakyat (Jakarta: P3M, 1993) hlm. 21
[4] Istilah kedaulatan
rakyat, yang berarti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berbeda dengan
kata daulah (bahasa Arab) yang artinya negara. Penulis menemukan kata
yang hampir sama dengan kedaulatan adalah al-siyadah dalam bab Mashdar
al-Siyadah fi al-Ummah (Muhammad Yusuf Musa, Nidhomul Hukmi fi al-Islam,
Beirut: Dar al-Fikr, Tt. Hlm. 74)
[5] Keterangan lebih lanjut
dapat dilihat dari makalah Mansour Fakih dalam seminar sehari Agama dan Hak
Rakyat yang diselenggarakan oleh P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat) Jakarta, Juli 1993 dengan judul Negara dan Hak-Hak Rakyat dalam
Model Kapitalisme: Suatu Analisis Kritis
[8] Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abdullah ibn Abi Quhafah Utsman bin
amr bin Mas’ud bin Taim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr
al-Taimi al-Quraisyi. Nasabnya bertemu dengan nabi di Marrah bin Ka’ab. Ibunya
Ummu Khair al-Sulami binti Shahra binti Amr ibn Ka’ab bin Saad bin Taim bin
Marrah (Muhammad Hudori Bik, Itmam al-Wafa fi Sirah al-Khulafa (Beirut:
Dar al-Kutub, 1983) hlm. 18
[9] Abu Bakar tidak menerima
gelar khalifah, karena menurutnya yang pantas menerima gelar khalifah
adalah Nabi Muhammad SAW. Ia hanya mau diberi gelar khalifah khalifah Allah (pengganti
khalifah Allah). Namun lambat laun para sejarawan (muarrikh) memberikan
gelar kepada khalifah yang empat dengan sebutan Khulafah al-Rasyidun
[10] Teks khutbah secara lengkap dapat dilihat dalam buku Muhammad Hudori
Bik, Muhadhorat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah Juz I (Mesir: Matbaah
al-Qahirah al-Istiqomah, 1370 H) hlm. 170
[11] Nama lengkapnya adalah Umar ibn Khattab ibn Nufail bin Abdul Uza bin
Rabah bin Abdullah ibn Qarith bin Razah bin Addi bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib
bin Fahr al-Adwi al-Qurshi, nasabnya ketemu dengan nabi pada kakek Ka’ab bin
Luay. Nama kunyah-nya Abu
Hafash, sedang gelar al-Faruq (Hudori Bik, Itmam al-Wafa…. Hlm. 53)
[12] Hasil musyawarah
selanjutnya dituliskan oleh Utsman dalam sebuah shahifah yang secara
lengkap dapat dilihat dalam Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh Juz II
(Beirut: Dar al-Fikr, Tt) hlm. 425
[14] Muhammad Hudori Bik, Itmam al-Wafa fi Sirah al-Khulafa (Beirut:
Dar al-Kutub, 1370 H) hlm. 107; Muhammad Yusuf Musa, Nidhom al-Hukmi fi
al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, Tt) hlm. 74
[16] Lihat dua hadits nabi riwayat Ahmad; Umatku tidak akan sepakat
dalam kesesatan dan aku mohon kepada Tuhanku supaya umatku jangan bersepakat
dalam kesesatan dan diperkenankan permohonanku. Dalam Qur’an Surat an-Nisa: 35 dan al-Maidah:
1, 2 dan 8
[17] Muhammad Husain Haikal, al-Hukumah
al-Islamiyyah (terjemahan) (Jakarat: Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 18
[20] Pemerintahan nabi Muhammad menjadi ideal karena tuntunan wahyu Allah
dan banyak diilhami oleh Piagam Madinah, sehingga meski dengan masyarakat yang
majemuk integritas negara tetap dapat dipertahankan (Ahmad Sukarja, Piagam
Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Hidup Bersama
dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta: UI-Press, 1995) hlm. 5
[21] Hugh Kennedy, The
Prophet and The Age of Caliphate (New York: Longman Publishing, 1994) hlm.
50
[27] Mahmud Muhammad Aqqad, Keagungan
Ali ibn Abi Thallib (Surabaya: Pustaka Mantiq, 1994) hlm. 129
------------------
No comments:
Post a Comment