Oleh: Prof KH Didin Hafidhuddin
Di tengah memanasnya suhu perpolitikan nasional akibat pro-kontra tentang rencana kenaikan harga BBM, terdapat satu isu pen ting yang juga perlu mendapat perhatian kita bersama, yaitu pembahasan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) oleh Komisi VIII DPR. Jangan sampai RUU ini malah menjadi produk hukum (undang-undang) yang tidak sesuai dengan keyakinan agama.
Jika itu terjadi, dipastikan akan mengundang reaksi penolakan dari umat Islam. Apalagi, sejumlah kalangan, terutama para penggiat gerakan feminisme dan liberalisme, juga sangat aktif menyokong kesetaraan gender dalam perspektif mereka, yang seolah-olah adalah perspektif dan pendapat yang paling benar. Sementara, di sisi lain, konsep agama terkait hubungan gender ini dianggap sebagai konsep yang ‘usang’ dan perlu direvisi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika pemikiran nyeleneh ini dibiarkan maka akan sangat membahayakan keyakinan umat terhadap ajaran agamanya. Padahal, konsep Islam adalah konsep yang paling tepat karena ia bersumber langsung dari-Nya. Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai konsep hubungan gender, ada beberapa prinsip dasar yang perlu dipahami dengan benar.
Prinsip dasar
Pertama, posisi laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam sesungguhnya adalah sederajat. Islam mengajarkan bahwa selama laki-laki ataupun perempuan memiliki dua hal, mereka akan mendapatkan balasan dari Allah berupa hayatan thayyibah, kehidupan yang baik. Kedua hal tersebut adalah iman dan amal saleh. Lihat QS an-Nahl [16]: 97.
Bahkan, dalam QS al-Ahzab [33]: 35, Allah menggambarkan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks yang lebih luas. Intinya, baik lakilaki maupun perempuan, selama mereka taat dan tunduk terhadap aturan Allah dan se nan tiasa berusaha mengamal kan ajaran Islam dengan baik dan benar, mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala.
Perbedaan yang mungkin terjadi adalah pada kualitas iman dan amal saleh yang dilakukan. Jika perempuan memiliki kualitas iman dan amal saleh yang lebih baik dari laki-laki maka tentu reward-nya akan lebih besar. Demikian pula sebaliknya. Karena itu, jenis kelamin tidak otomatis membuat posisi seseorang lebih baik dari yang lain, tetapi kualitas iman dan amal saleh yang menentukan apakah seseorang lebih baik dalam pandangan- Nya atau lebih buruk.
Kedua, dalam kehidupan sosial, Islam pun mengajarkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, yaitu keduanya dapat memiliki peran dan dapat berkiprah secara bersama-sama dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang adil, tenteram, dan senantiasa mendapat rahmat Allah.
Pada QS at-Taubah [9]: 71, kerja sama dan sinergi antara mukmin laki-laki dan perempuan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya tali persaudaraan. Kekuatan ukhuwah ini merupakan hal yang sangat fundamental dan sangat memengaruhi keberhasilan pembangunan sosial masyarakat.
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran dan peluang yang sama besar dalam upaya menggali dan mengoptimalkan potensi umat dan bangsa. Keduanya harus saling bekerja sama dalam membangun kekuatan umat di seluruh bidang kehidupan, seperti membangun kekuatan politik dan ekonomi, agar bangsa ini tidak mudah didikte dan dikendalikan oleh kekuatan asing yang merusak.
Potensi zakat, misalnya, meskipun angka minimalnya mencapai Rp 217 triliun, tidak akan pernah terealisasikan jika tidak didukung oleh kedua belah pihak. Bahkan, pada kondisikon disi tertentu, sering kita melihat bahwa “tekanan” istri terhadap suami untuk membayar zakat menjadi fenomena yang turut mendongkrak pendapatan zakat nasional secara positif.
Sebaliknya, kerja sama antara laki-laki dan perempuan yang memiliki karakter kepribadian orang-orang munafik bisa menjadi penyebab hancurnya tatanan sosial kemasyarakatan. (QS at- Taubah [9]: 67). Kerusakan ini tidak bisa diciptakan oleh salah satu pihak, apakah oleh perempuan saja ataupun oleh laki-laki saja, jika tanpa diiringi kerja sama yang kuat di antara keduanya.
Ini menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi, yang bisa memberikan dampak positif mau pun negatif dalam kehidup an sosial, bergantung pada dasar apa hubungan tersebut dibangun.
Oleh karena itu, sebagai prinsip yang ketiga, Islam mengibaratkan hubungan antara lakilaki dan perempuan sebagai “pakaian” yang saling menutupi dan saling menjaga sebagai mana yang termaktub dalam QS al- Baqarah [2]: 187, yaitu “ Hunna libaasul lakum wa antum libaasul lahunna”, yang artinya, “Mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kalian (laki-laki) dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”
Sebuah analogi yang sangat indah dan luar biasa. Dengan prinsip ini, kalaupun ada perbedaan, itu lebih kepada perbedaan fungsi, bukan diskriminasi. Jika perempuan maupun laki-laki tidak melaksanakan perannya dengan baik, kehidupan pasti tidak akan berjalan dengan baik.
Misalnya, ikhtiar seorang ayah dalam mencari nafkah bagi keluarganya sama besar pahalanya dengan ikhtiar seorang ibu yang mendidik anaknya di rumah sehingga menjadi generasi yang tangguh. Dalam QS Luqman [31]: 14, manusia diperintahkan untuk bersyukur kepa da Allah dan kepada orang tua nya yang telah mendidiknya, terutama sang ibu yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan telah menyapihnya selama dua tahun.
Jika seandainya tidak ada sinergi antara sang ayah dan sang ibu di mana keduanya berjalan masing-masing dan meng anggap dirinya lebih berjasa di bandingkan yang lain, dipastikan rumah tangga tersebut akan kacau dan berantakan. Seorang istri boleh saja bekerja, asalkan mendapat izin dari suami dan tidak mengganggu fungsinya dalam mendidik anak-anaknya.
Demikian indahnya Islam mengatur hubungan dan peran laki-laki dan perempuan. Karena itu, upaya sebagian pihak untuk “mengaburkan” dan “mendiskreditkan” konsep Islam tentang hu bungan gender ini merupakan langkah mundur. Wallahu a’lam bis shawab
Sumber : republika.co.id
No comments:
Post a Comment