20 November 2012

Mengurai Masalah Dalam Sholat: Kewajiban dan Tata Cara Berdiri

| More

Masalah 1: Kewajiban Berdiri

Berdiri dalam melaksanakan sholat fardhu hukumnya wajib. Demikian kesepakatan (ijmak) umat Islam. Dengan demikian, jika seseorang mampu berdiri tetapi dia melakukan sholat fardhu tidak sambil berdiri maka sholatnya dianggap tidak sah. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. terhadap Imran bin Husain, “Lakukanlah sholat sambil berdiri. Jika tidak mampu, lakukanlah sambil duduk dan jika tidak mampu pula, lakukanlah sambil berbaring” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw dalam sabdanya itu memerintahkan Imran bin Husain untuk berdiri padahal dia sedang sakit, karena sholat yang dilakukannya adalah sholat fardhu. Adapun dalam melaksanakan sholat sunat, seseorang tidak diwajibkan berdiri. Hal ini diisyaratkan melalui sabda Nabi saw, “Siapa yang melakukan sholat sambil berdiri, maka itu lebih utama (afdholu). Dan siapa yang melakukan sholat sambil duduk, maka dia mendapatkan pahala setengah dari orang-orang yang berdiri. Dan siapa yang melakukan sholat sambil berbaring, maka dia mendapat pahala setengah dari orang yang melakukannya sambil duduk” (HR. Bukhari).

Imam Nawawi mengatakan, “Adapun berdiri yang menjadi syarat (sahnya) sholat adalah menegakkan tulang punggung. Bagi orang yang mampu (sehat), dia tidak boleh berdiri dengan miring ke salah satu arah sehingga tidak memperlihatkan bentuk berdiri (sebenarnya). Dia juga tidak boleh miring seperti orang yang ruku’. Jika miringnya tidak sampai ruku’,[1] tetapi mirip dengan orang yang sedang ruku’ maka sholatnya tidak sah karena dia tidak berdiri tegak. Jika dia merendahkan kepalanya tanpa miring, maka sholatnya sah karena dia masih tegak berdiri. Pendapat ini tanpa khilaf (perbedaan pendapat)”. Adapun mengenai orang yang tidak mampu melakukan hal itu karena  punggungnya yang bongkok atau karena tua sekali dan hanya mampu berdiri sambil membungkuk, bahkan seperti yang sedang ruku’, maka dia harus berdiri (sekedar berdiri dan tidak tegak). Jika dia akan melakukan ruku’, hendaklah lebih miring jika dia mampu. (Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, h. 263).

Wallahu a’lam.

Masalah 2: Kaki dan Bahu Harus Menempel

Salah satu perbuatan makruh atau sangat tidak baik di dalam sholat dan akan mengganggu kekhusyuan sholat adalah memusatkan perhatian pada penempatan (telapak) kaki dan cara menempelkan sisi telapak kaki pada orang lain yang berada di sisinya. Hal itu banyak dilakukan oleh sebagian orang yang mengikuti kelompok ahli bid’ah.


Menurut Ibnu Hajar al-Asqalany, perintah untuk menutupi sela-sela atau kekosongan dalam shaf itu dasarnya adalah hadis-hadis shahih, antara lain hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Dawud lalu dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, yaitu “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Tegakkanlah barisan sholat, rapatkan (diantara) bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah serta jangan kalian biarkan celah-celah bagi syetan. Siapa yang menyambungkan shaf maka Allah akan mennyambungkannya dan siapa yang memutuskannya maka Allah pun akan memutuskannya”. (Fathul Bari, Juz 2, h. 211).

Bagaimanapun kita tidak dapat mengingkari sunnah Nabi Muhammad untuk merapatkan barisan dengan menempelkan kaki atau bahu masing-masing jamaah sholat. Sunnah tersebut semestinya tetap dipertahankan, tetapi jangan sampai kepentingan merapatkan shaf itu sampai mengganggu kekhusyuan sholat. Bukankah khusyu dalam sholat itu sangat menentukan baik-tidaknya orang yang mendirikan sholat? Dalam hubungan ini, Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yang mereka itu khusyu dalam sholatnya” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).

Jadi, kesibukan membereskan shaf atau barisan sholat dengan menempelkan kaki seseorang kepada kaki yang lain dalam sholat, atau menariknya untuk ditempelkan, maju atau mundur, dan kesibukan lain seperti itu, semuanya mengganggu kekhusyuan sholat (baik orang itu sendiri maupun orang lain di sampingnya). Bukankah Nabi Muhammad telah menegaskan, “Sesungguhnya di dalam sholat itu ada kesibukan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka yang disunatkan bagi setiap orang yang melakukan sholat adalah tidak membuka lebar-lebar ruang diantara kedua kakinya. Dia hendaknya menetapkan jarak kakinya dengan kaki yang lain itu minimal sejengkal atau lebih dekat lagi. Insya Allah, dengan demikian sunnah menempelkan kaki dengan kaki itu terealisasikan. Demikian pula menempelkan bahu dengan bahu. Barangsiapa yang bertentangan dengan cara ini, berarti dia telah berbuat salah dan melakukan perbuatan yang makruh di dalam sholatnya.

Wallahu a’lam.

Masalah 3: Berdiri Terlalu Lama

Memanjangkan atau melamakan berdiri dalam sholat dengan membaca Al-Qur’an lebih utama daripada melamakan sujud atau ruku’. Nabi Muhammad pernah ditanya mengenai (perbuatan) sholat yang lebih utama. Beliau menjawab, “Thulu al-qunut, lama berdiri” (HR. Muslim).[2] Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud al-qunut tersebut ialah “berdiri” sesuai dengan kesepakatan ulama. (Syarh Shahih Muslim, Juz 6, h. 35).

Akan tetapi, lama bersujud lebih baik daripada lama melakukan rukun sholat lainnya selain berdiri. Berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Saat) yang paling dekat bagi seorang hamba terhadap Tuhannya ialah ketika dia sujud. Maka perbanyaklah—ketika sujud itu—berdoa” (HR. Muslim).

Wallahu a’lam.



[1] Hadd ar-raki’in (batas orang-orang yang ruku’), maksudnya seperti ukuran minimal orang yang ruku’, yaitu jika miring dan meletakkan kedua telapak tangganya pada kedua lututnya, dia mampu melakukannya sambil menegakkan badannya.
[2] Kata al-qunut mempunyai banyak makna, antara lain ketaatan, diam, berdoa, berdiri di dalam sholat, menahan (tidak) berbicara, dan lain-lainnya seperti yang diisyaratkan oleh para etimolog.






Disarikan dari buku Shahih Shifah Shalah an-Nabi karangan Hasan bin Ali as-Saqqaf (terj. Shalat Bersama Nabi saw: Petunjuk Pelaksanaan Shalat Sejak Takbir Hingga Salam, Bandung: Pustaka Hidayah, h. 54-65).

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...