Sesungguhnya, wali-wali Allah itu tak ada ketakutan bagi mereka, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia juga akhirat (QS. 10: 63).
Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia berarti menyatakan perang terhadap-Ku (Hadis Qudsi).
Kewalian adalah prinsip dasar dari jalan Tasawuf. Seperti dikatakan oleh Al-Hujwiri, “Ketahuilah prinsip dan landasan Tasawuf serta makrifat adalah bertumpu pada kewalian.” Wali-wali Allah (awliya) adalah orang-orang suci yang telah diberkati oleh Allah dan diangkat menjadi “sahabat-Nya”. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai penglihatan batin (mukasyafah) yang benar.
Sesungguhnya, Setiap mukmin yang takwa adalah Wali Allah (kullu mu’minin taqiyyin fahuwa waliyullah). Maka, syarat menjadi Wali Allah adalah mukmin yang takwa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa, pertama, mukmin di sini adalah dalam pengertian yang “sempurna”. Kata wali dalam konteks ini adalah mengandung makna mubalaghah (sangat menekankan), yakni mukmin yang betul-betul taat. Mukmin yang sesungguhnya selalu mendasarkan perilakunya pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karenanya, seperti dinyatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Al-Quran sudah bercampur dengan darah dan daging mereka,” yang mengingatkan kita pada perkataan Aisyah, istri Nabi, bahwa “Akhlak Nabi adalah Al-Quran.” Dalam istilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kewalian adalah bayangan dari fungsi kenabian (zill al-nubuwwa), sebagaimana kenabian adalah bayangan dari fungsi ketuhanan.” Mukmin sejati akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (hakikatnya) bukan sebagaimana yang dipikirkan, sebab mereka itu melihat dengan Nur Allah (al-mu’minu yandzuru bi nurillahi ta’ala).
Kedua, syarat takwa di sini juga dalam pengertian yang hakiki (haqqa tuqatihi) yakni sebenar-benar takwa seperti diperintahkan dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 102. Takwa di sini mengandung dua aspek, lahir dan batin. Aspek lahirnya adalah pelaksanaan syariat, sedangkan aspek batinnya adalah niat yang suci (lillahi ta’ala) dan mujahadah. Jika seseorang sudah mencapai takwa yang hakiki ini barulah dia bisa disebut mukmin yang sejati, dan mukmin yang sejati adalah Wali Allah. Dan orang yang mukmin yang paling bertakwa bisa dipastikan paling mulia kedudukannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13—inna akramakum ‘inda Allahi atqakum—”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Dalam analisis terakhir, Wali Allah adalah orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah para “pejabat istana Tuhan”. Pada tingkat inilah mereka akan dilindungi oleh Allah, yang merupakan makna kedua dari kata “wali,” yakni “yang dilindungi atau dijaga”. Dalam Al-Quran, Surah Al-A’raf: 196, disebutkan, “Dan Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang shalih.”