Perwujudan Islam, meskipun
berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan
keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan
struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan
pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul,
sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik.
Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan
pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran
yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang
demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak
perwujudan Islam itu sendiri.[1]
Karena
struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan
variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah
di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat
Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya
ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran
serta merumuskan karakteristik gerakannya.
Dalam
prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar,
ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar
pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah
kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas
keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi
sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang
berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab
merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya
dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan
dan peningkatan kualitas spiritual.
Perkembangan
awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim
terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural
tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan
mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan
ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan
penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan
diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada
Allah[2].
Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin
dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan
Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang
demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam
struktur hukum (fiqh).
Proses
pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan
dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori
Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan
pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification”
(jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada
kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan
jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber
reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi
pengikat.[3]
Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat
dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4] Khanaqah
dan Ribath[5]
berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.
Pada sisi
lain, dengan pertumbuhan komunitas sufi yang berkumpul di sekitar masternya,
sikap para ulama hukum (fiqh) mengalami perubahan mendasar. Kalau semula
model sufisme dianggap sebagai gerakan yang menyimpang dan bertentangan dengan
kebenaran Islam, berbagai kejadian konflik juga menghiasi kontak antara sufisme
dan legalisme, pandangan dan sikap ulama berangsur-angsur berubah dan dapat
menerima kehadiran komunitas tasawuf sebagai bagian dari kekayaan khazanah
Islam. Al-Ghazali sangat berjasa dalam meletakkan kompromi dan jalan tengah
pertemuan antara dua kutub yang saling bertentangan.[6]
Pada sisi lain, kehadiran komunitas sufi semakin memberikan arti dan
mendapatkan sambutan dari masyarakat karena mereka merasa mendapatkan kedamaian
jiwa ditengah persoalan politik yang mengganggu peri kehidupan mereka.[7]
Perkembangan
tarekat semakin pesat memasuki abad 12 dan 13 M, tarekat menjadi institusi yang
prestisius dan signifikan dalam peta perkembangan dan sejarah Islam. perkataan
tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu
kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan
menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pemimpin
organisasi tersebut.[8] Ada beberapa tarekat
berdiri dan mengembangkan sayapnya ke-berbagai daerah, perkembangan tarekat itu
antara lain diwakili oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi, yang darinya nama tarekat
Suhrawardiyah diambil. Al-Qadir al-Jilani; yang ajarannya menjadi dasar tarekat
Qadiriyah; Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif,
pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat
Naqsyabandiyah pada masa belakangan; Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang
khas pada masa sufi yang memberi namanya, Baha’uddin Naqsyaban; anumerta
pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Al-Syattar; dan tarekat Rifaiyah yang
didirikan oleh Ahmad Rifa’i.[9]
Perkembangan
tarekat di Indonesia
terus berlangsung sampai abad ke-19 sekalipun pemerintah Kolonial melakukan
pengawasan yang ketat terhadap aktivitas para pengamal tarekat. Salah satu yang
muncul di Indonesia
pada abad ke-19 ialah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
yang menekankan segi-segi batiniyah dari agama ini telah memainkan peranan yang
amat penting dalam sejarah islamisasi. Dan yang sangat penting adalah membantu
dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia .[10]
Tarekat ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar yang berkembang di
Nusantara, yaitu tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Suatu hal yang
biasa dalam sejarah sufisme bahwa beberapa ulama mempraktekkan ajaran-ajarannya
dari dua atau lebih tarekat yang berbeda. Demikian pula di Indonesia ,
tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah tidak
hanya sebuah kombinasi antara dua tarekat yang berbeda yang dipraktekkan secara
bersama-sama, tetapi agaknya ia sendiri merupakan sebuah tarekat sufi baru.[11]
Sebagai suatu
mazhab dalam tasawuf, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang
diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang
merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat
atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini
paling efektif dan efesien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan
pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan perkataan para ulama arifin dari kalangan
Salafus Shalihin
Di Indonesia,
diyakini bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah pertama kali diajarkan oleh
Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas Kalimantan Barat yang
bermukim dan mengajar di Mekkah pertengahan abad 19 dan wafat di sana pada tahun 1878.[12]
Berbeda dengan guru-guru tarekat yang lain, yang mngajarkan berbagai tarekat di
samping Qadiriyah, Syeikh Ahmad Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini
secara terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang harus diamalkan secara
utuh. Syeikh Ahmad Khatib Sambas terkenal sebagai pemimpin sebuah tarekat sufi
dan merupakan pakar dalam sufisme, tetapi di samping itu ia adalah seorang
cendikiawan Islam yang menguasai berbagai lapangan pengetahuan Islam seperti
Al-Qur’an, Hadist (tradisi Nabi), dan Fiqh (hukum Islam), dan menyalurkan
pengetahuannya kepada banyak pelajar di Mekkah.[13]
Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah belajar secara tekun sebagaimana
diketahui bahwa setidaknya dia memiliki sembilan guru kenamaan di Mekkah yang
menguasai bermacam-macam cabang pengetahuan Islam.[14]
Sebagai
seorang mursyid yang kamil mukammil (guru sufi paling sempurna) Syeikh
Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri
bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qadiriyah memang
ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada
masanya telah jelas ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan
Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at[15]
dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat
tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan
kepada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia .
Penggabungan
kedua tarekat (Qadiriyah-Naqsyabandiyah) memiliki inti ajaran yang saling
melengkapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki
kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari’at dan
menentang faham wihdatul wujud.[16]
Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai
derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih
efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain
(selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad
Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam
Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari
sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai sekarang belum ditemukan secara pasti dari
sanad mana ia menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Untuk
mendapatkan keterangan yang lebih jelas atas masalah ini, maka penting untuk
didaftarkan silsilah dari tarekat sufi ini sampai pada Syeikh Ahmad Khatib
Sambas. Allah dan Jibril disebutkan dalam silsilah ini; kemudian diikuti oleh:
Muhammad Saw
‘Ali Ibn Abi
Talib
Husayn Ibn Ali
Talib
Zayn
al-‘Abidin
Muhammad
al-Baqir
Ja’far
as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali
Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf
al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim
Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar
asy-Syibli
‘Abd al-Wahid
at-Tamimi
Abu al-Faraj
at-Tartusi
Abu al-Hasan
‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id
Makhzumi
Abd al-Qadir
al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad
al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib
Sambas.[17]
Sebagai
seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah. Seorang murid
yang telah mencapai taraf tertentu, menurut ukuran normatif seorang Syeikh,
mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi Syeikh. Di antara khalifah Syeikh
Sambas di Indonesia, ada tiga orang yang dipandang menonjol: Syeikh Abdul Karim
dari Banten, Syeikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha
dari Cirebon .
Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam penyebaran Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura.
Di antara jasa
para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah perkembangannya yang mencapai
beberapa negara tetangga, terutama Malaysia , Singapura , Brunei
Darussalam. Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan
beberapa negara ASEAN lainnya.[18]
Proses penyebarannya khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola
ideologi para ikhwan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam warna
tersendiri. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi salah satu aliran yang
sangat terkenal di Indonesia .
Ia dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di pulau Jawa. Tarekat
ini memang tidak dikenal di dunia Islam, selain di Indonesia . Di negara-negara Islam
lainnya, hanya dikenal adanya Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di
samping ratusan tarekat lainnya.[19]
Tarekat
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia . Dan
yang sangat penting, adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia .
Bukan karena Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri, tetapi para pengikut
kedua tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda, dan
terus berjuang melalui gerakan sosial keagamaan dan institusi pendidikan
setelah kemerdekaan.
Secara
historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia
diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu sejak kembalinya murid-murid Syeikh
Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim selama bertahun-tahun di
Mekkah. Di Kalimantan, misalnya, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah disebarkan
oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syeikh Muhammad Sa’ad. Karena
penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau
lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang dari
kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan ,
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok
pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat. Oleh karena
itu, kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang paling besar
dan paling berpengaruh di Indonesia .[20]
Pada tahun 1970,
ada empat pondok pesantren yang penting sebagai pusat penyebaran Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa yaitu: Pondok pesantren Mranggen di
Semarang, di bawah bimbingan Syeikh Muslih. Pondok pesantren Rejoso di Jombang,
di bawah bimbingan Syeikh Romli Tamim, di Rejoso mewakili garis aliran Ahmad
Hasbullah. Pesantren Pagentongan di Bogor, di bawah bimbingan Syeikh Thohir
Falak, dan Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, di bawah bimbingan Syeikh
Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), di Suryalaya dan yang lainnya
mewakili garis aliran Syeikh Abdul-Karim Banten dan penggantinya.[21]
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut juga berkembang di daerah
Banten. Keberadaan tarekat tersebut di daerah Banten dibawa oleh K.H. Abdul
Karim pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh dan kharisma yang dimilikinya,
memungkinkan tarekat ini memiliki pengikut yang sangat besar, terutama sekali
di Banten.
Aliran Qadiriyah diperkirakan memasuki Banten pada
abad ke-16 Masehi yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri. Akan tetapi ketika
itu belum mencapai momentum yang vital. Pada perkembangan selanjutnya, aliran
Qadiriyah dengan jelas menandakan suatu kebangkitan Islam dalam arti yang
sesungguhnya.[22] Banten telah mengadakan kontak dengan Mekkah
sejak pertengahan abad ke-19, dengan jalan mengirimkan berulangkali misi-misi
untuk mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan. Banten terkenal sebagai
sebuah pusat Islam ortodoks, pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang
sesuai dengan ketentuan agama sangat dihargai.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
berkembang di Banten pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang
melibatkan komitmen total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena
kedudukan dan kewibawaannya, maka para kyai tampil sebagai pimpinan yang
kharismatik sehingga anggota-anggota tarekat yang tergabung di dalamnya sangat
menghormati dan patuh terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani,
dapat dikategorikan menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam
tahap tersebut, Syeikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di
bawah peraturan yang tidak ketat.[23] Para petani yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya
tetap bekerja sebagaimana biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk
berkumpul bersama dalam mengikuti ajaran tarekat yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di
ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat tradisional, unsur mitos dan
kepercayaan kepada kekuatan supernatural, kekeramatan masih kuat di anut.
Karena itu kewibawaan seorang kyai, tokoh kharismatik bagi masyarakat Islam
tradisional, tidak bisa dipisahkan dari unsur kekeramatan. Di samping itu,
sebagai pemimpin keagamaan masyarakat tradisional, kyai menjadi tokoh sentral
kepatuhan, panutan masyarakat dalam mekanisme kehidupan sosial, budaya bahkan
tidak jarang ia memainkan peranannya sebagai tokoh politik
Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang
khalifah yang bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah
dimanfaatkan oleh para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926.[24]
Dan dilanjutkan oleh putranya, kyai Kazhim, yang mengajarkan tarekat ini di
Menes (Labuan). Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan oleh putra kyai
Kazhim yang bernama Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga masih
berkembang di Cibeber (Cilegon) yang pada waktu lalu diajarkan oleh Abd
Al-Lathif bin Ali, sedang mursyidnya sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima
ijazah melalui kyai Asnawi. Hingga akhir tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang
bernama kyai Armin masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal
di Cibuntu (Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat dari
pamannya, kyai Armin mengaku telah belajar dari beberapa ulama di Mekkah dan
Baghdad.
Ajaran dan
Ritual Tarekat
Tarekat adalah salah satu unsur dari ajaran-ajaran
Islam, yang menekankan pada segi batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan
secara umum menjadi aspek keimanan, keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak.
Adapun ajaran Islam yang menekankan pada aspek ibadah atau hubungan manusia
dengan tuhannya, biasa juga diklasifikasikan dalam tingkatan: syari’at,
tarekat, dan hakekat.[25]
Dalam hal ini, tarekat sama maksudnya dengan syari’at, yakni suatu jalan atau
cara untuk mencapai hakekat tuhan. Namun antara keduanya berbeda di dalam
orientasi untuk menuju Tuhan, dalam hal
ini tarekat mengarahkan pada dimensi lahir.
Sebagaimana fungsi ajaran tarekat pada umumnya,
zikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik dasar dalam
ritual para penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk mencapai tujuan
“mengingat Allah” (zikrullah). Menurut Martin, praktek zikir semacam itu
pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung
dan permanen, tetapi sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau
peniadaan diri.[26]
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib
Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,[27] bahwa ada tiga ritual dasar dalam tarekat sufi ini. Yang pertama adalah
membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur ar-Rahim, dua
puluh sampai dua puluh lima kali, kemudian diikuti pembacaan salawat, yaitu Allahumma
salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa sahbih wa sallim, dengan
jumlah yang sama dengan istigfar. Yang ketiga adalah melakukan zikir
dengan membaca la ilah ilaha Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak
165 kali, setelah menunaikan shalat wajib lima waktu setiap hari.[28]
Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran untuk metode pembacaan
“la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir harus diawali dengan
melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan bahwa kata itu
diambil dari bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke
kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat “ilaha” ke bahu kanan, dan akhirnya dengan
menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat illallah disertai
dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah.
Zikir ini harus dilaksanakan dengan konsentrasi pikiran penuh. Sementara
rumusan la maqsud illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari
menjaga pikiran maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli
membayangkan rupa syekh yang membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau
penyatuan ekstatik), yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada saat
yang sama memohon rahmat dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di
hadapannya selama beberapa detik, jika syekh tidak hadir, dia harus
membayangkan rupa syekh dalam mata batinnya dan mencari bimbingan spiritualnya.
Kemudian disebutkan bahwa zikir ini dikenal dengan zikr nafi isbat
(zikir penyangkalan penegasan), dan dipraktekkan secara jahr (suara
keras) dan sirr (dalam hati).[29]
dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati, seraya membayangkan
bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang
ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul Allah salla Allah
alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah
berkati dan beri keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma
salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha min jami’ al-ahwal wa
al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau
engkau menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini
diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.[30]
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini
betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan dengan
gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah
atas ritual ini juga substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi
tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana manusia dilengakapi
demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang digunakan
Syeikh Ahmad Khatib Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tidak
dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut dipinjam dari tarekat
Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin menggambarkan sepuluh lata’if. Lima di
antaranya adalah qalb (hati), ruh (ruh), sirr (batin), khafi
(rahasia) dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam
al-amr (Alam perintah). Lima lata’if yang lain adalah nafs
(kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan api. Ini disebut alam
al-khalq (Alam ciptaan).[31]
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat
al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada
di bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah
tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah.
Kelembutan ruh (latifah al-ruh) terdapat di bawah dada kanan, dua jari
ke kanan, warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu
kita Ibrahim dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr)
terletak berlawanan dengan dada kiri, dua jari kearah dada, warnanya adalah
putih, ia adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah
al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah
hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya udara. Kelembutan paling rahasia (latifah
alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi
Muhammad, dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs
an-natiqah terletak di dahi dan seluruh kepala. [32]
Syeikh Ahmad Khatib Sambas mengajarkan zikir
jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau khafi (zikir diam). Praktek
zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah, oleh
karena tarekat Qadiriyah hanya mengajarkan zikir keras. Pengaruh kuat lainnya
dari tarekat Naqsyabandiyah adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh
sebelum atau selama zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang
dijelaskan dalam Fat al-Arifin, adalah pengaruh lain dari tarekat
Naqsyabandiyah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh yang
sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat pada daftar
silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat Qadiriyah
yang didaftar. Silsilah tarekat Naqsyabandiyah tidak disebutkan. Pengaruh
lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama dalam manaqiban.[33] biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani
selalu dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din an-Naqsyabandi tidak
pernah dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan
dengan praktek-praktek tertentu dari tarekat Naqsyabandiyah.
[1] Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan
Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm.
13-14.
[2]
Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 29.
[3] M.
Fudoli Zaini, “Asal-usul Tarekat dan
Penyebarannya di Dunia Islam,
dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4]Adapun
yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal
yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang ada bakat mengarah kepada
kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat
revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih
kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau sekaligus gerakan tarekat
dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu
terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika
Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian
Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk
Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.
[5] Hanaqah
merupakan tempat pertemuan para anggota sufi dengan dipimpin oleh seorang
administrator. Sedangkan ribaht itu merupakan pembinaan spiritual di
bawah bimbingan seorang guru sebagai model bangunannya yang relatif besar.
Istilah-istilah itu merupakan padepokan sufi atau tempat pembinaan kerohanian
masyarakat dalam kontek dunia Islam. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat,
hlm. 65.
[6]
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: Jambatani, 1993), hlm. 1209.
[7] M.
Hasbi Amiruddin, “Tarekat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Madaniya,
No. 2. 2002, hlm. 15.
[8]
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 135.
[9]
Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,; Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188.
[10]
Mahmud Suyuti, Politik Tarekat, hlm. 54.
[12]
Mahmud Sujuti, Politik Tarekat, hlm. 52.
[13]
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 17-18.
[14]
Kesembilan guru tersebut adalah: Syekh Dawud Ibn Muhammad al-Fatani; Syekh Syam
ad-Din; Syekh Muhammad Salih Ra’is; Syekh Umar Abd ar-Rasul; Syekh Abd al-Hafiz
‘Ajami; Syekh Basir al-Jabiri; Sayyaid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Ahmad
al-Marzuki; Sayyid Abd Allah al-Mirgani; dan Syekh ‘Usman ad-Dimyati. Lihat Zulkifli,
Sufi Jawa, hlm. 38-39.
[15]
Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang biasanya diucapkan oleh
seorang murid di hadapan mursyid untuk menjalankan segala persyaratan yang
telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan
syarat Islam. Yang menjadi landasan normative ialah surat Al-Fath ayat 10. Bai’at dijadikan acara
ritual resmi setelah seseorang menjadi anggota tarekat, yang selanjutnya
dijadikan bentuk ikatan setia kepada mursyid dan ajaran-ajarannya. Lihat Bai’at
dan Tawassul, www.yahoo.com,
tanggal akses 20 Maret 2004.
[16]
Ajaran Wihdatul Wujud ini dicetuskan oleh Ibnul Araby (1165-1240), yang
berpendapat bahwa alam ini hanya merupakan bayang-bayang dari realitas yang berada
di baliknya. Ajaran ini merupakan pengembangan dari ajaran Al-Hallaj (wafat
921) yang memandang manusia sebagai manifestasi dari cinta tuhan yang azali
kepada zatnya, Al-Hallaj ini dalam keadaan tak sadar atau fana, sering
menyatakan dirinya Tuhan. Ana-Allah, Anal-Haq. Tim penulis, Ensiklopedi
Islam, jilid II (Jakarta: Penerbit Jambatani, 1993), hlm. 339-340.
[17]
Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 42-43. Lihat juga dengan Van Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90-91.
[18]
Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2002), hlm. 100.
[19]
Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 14. Lihat juga Van Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 98.
[20]
Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, hlm.
103.
[21]
Lihat Ibid.
[22]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam, hlm. 265.
[23]
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 366.
[24]
Mengenai pemberontakan ini, lihat William, Arit dan Bulan Sabit dalam Pemberontakan
Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta :
Syarikat, 2003). Salah seorang pemimpin ulama dari pemberontakan ini, Ahmad
Khatib, adalah menantu kyai Asnawi, ia tidak hanya membawa serta putra kyai
Asnawi, Emed, memberontak, banyak pengikut-pengikut sang kyai
[25]
Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, hlm. 85.
[26]
Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia, hlm. 79.
[27]
Al-Attas berpendapat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah pengarang Fath
al-‘Arifin setebal dua belas halaman, yang merupakan risalah
terpenting dan terpopuler mengenai praktik-praktik sufi dikalangan orang-orang
Melayu. Lihat Zulkifli. Sufi Jawa, hlm. 43. Namun demikian, Van
Bruinessen menyangkal bahwa buku ini ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib dan
berpendapat bahwa penulisan buku ini dilakukan oleh muridnya. Bruinessen
mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib sendiri tidak menulis satu pun buku, namun
dua muridnya dengan setia mencatat ajaran-ajaran dalam sebuah risalah pendek
berbahasa Melayu, yang secara eksplisit menjelaskan teknik-teknik dari tarekat
sufi ini. Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm.
90.
[28]
Nawash Abdullah, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 187.
[29] Ibid.
Pada Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam, hlm. 102. Martin Van
Bruinessen, “Tarekar Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jailani di India. Kurdistan dan Indonesia ”, dalam Ulumul Qur’an
No. 2. 1989. Vol. II: hlm. 73.
[30]
Martin, Ibid, hlm. 73.
[31]
Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 48.
[32] Ibid,
hlm. 49.
[33] Manaqiban
adalah acara ritual khas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu
peringatan mengenang wafatnya Syeikh Abd al-Qadir Jailani. Upacara tersebut
diselenggarakan bulanan bertempat di rumah salah seorang ikhwan yang waktunya telah
ditetapkan. Dalam upacara ini, ada zikir berjama’ah diikutu dengan bacaan
Manaqib Abd al-Qadir, yaitu cerita klasik mengenai kehidupan dan keajaiban
perilaku sang waliyullah. Bandingkan
dengan pengertian istilah itu dalam Ensiklopedia Islam Jilid III,
1994, hlm. 152
No comments:
Post a Comment