Memahami
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara
komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek
historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan
mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1
Pada
saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu
terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala
mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di
seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau
para murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang
mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang
lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam
memperkuat jaringan ini.2
Jauh
sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah)
yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah
“penegasan formal dari mekanisme informal
para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas
dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi
jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika
itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3
Masuknya
paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam
Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan Suaez
(1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan
dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul
Wahab yang kemudian dikenal sebagai
Gerakan atau Paham Wahabiyah,
maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan
oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji
Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika
kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan
ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam.4
Tidak
semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok
ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam
secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Tradisi ini bisa saja diselaraskan
dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok
tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas.
Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan
munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai
berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para
ulama pesantren.
Oleh
karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seseorang yang sangat
dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis
dengan dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH.
Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif di Sarekat Islam (SI). Sebuah perkumpulan
saudagar muslim, yang sejak semula bertujuan untuk memompa semangat
nasionalisme dan menangkal para pencuri
dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang muslim, Arab, dan Jawa, dalam bersaing
mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai
Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah
kelompok diskusi, Islam Studie Club.
Keterlibatan
Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan kepuasan pada dirimya, karena
dalam perkembangannya SI lebih cenderung mengarah kepada persoalan-persoalan
politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab menginginkan
untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Sebab dengan
demikian langkah yang ditempuh selain mengobarkan semangat perjuangan juga
membangun dan meningkatkan kapasitas intelektual para pemuda.
Untuk
mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu dengan Kyai Mas Mansur,
yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, mengajak berunding untuk mendirikan
sebuah lembaga pendidikan guna mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme
para pemuda dalam rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh
Kyai Wahab tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh
masyarakat. Terbukti pada tahun 1916,
KH. Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan”
(Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di
Surabaya—madrasah ini mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat
ilmu pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas penggemblengan para pemuda sebagai calon
pemimpin muda untuk kegiatan dakwah—yang
sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9
Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah
madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama
Taswiru al-Afkar,10 yang
tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan
belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela kepentingan kelompok
Islam Tradisionalis.11
Perdebatan
antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru pada tahun
dua puluhan.12 Sehingga dalam beberapa diskusi, termasuk di forum
Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan Ahmad Soerkati. Seorang guru
besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan,
seorang pendiri Muhammadiyah.
Selanjutnya,
pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya perdebatan masalah khilafiyah
dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai ijtihad, mengenai madzhab dan
masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-kali telah diadakan munazarah
(perdebetan sehat) untuk menyelesaikan masalah ini. Di Surabaya, munazarah
diikuti oleh para ulama dari berbagai daerah, sebagian di bawah kepimimpinan
KH. Abdul Wahab Hasbullah, sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan
sebagian lagi dipimpin oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap
mempertahankan adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar,
bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur, sholat tarawih
20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain sebagainya, selalu
dipertahankan oleh Kyai Wahab sementara
yang lainnya masih tetap menentangnya.13
Masalah-masalah
khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut Kyai Wahab telah dianggap
selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak
mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri. Dan dalam perdebatan yang diadakan
berulang-ulang kali itu pun, Kyai wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil
yang kuat dan tidak dapat dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau
menerimanya dengan alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah
alasan yang dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk
menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai Wahab telah
berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan kebenaran paham yang
dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi
al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa
diberikan oleh Allah SWT.
Walaupun
Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri perdebatan itu dengan penuh
toleransi, berjiwa besar dan menganggap perdebatan itu telah selesai segala-segalanya.
Namun, kaum pembaharu (reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang
ditunjukkan oleh Kyai Wahab itu, malahan telah
berbuat sepihak atau tidak adil.14
Di antara buktinya adalah, pada bulan
Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam ke-4 yang bermaksud membahas surat
undangan yang datangnya dari Raja Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri
pertemuan internasional di Hijaz. Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi
oleh kelompok Islam Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas
hal-hal yang berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan
mengenai kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir
tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15
KH.
Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam Tradisionalis
menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta jaminan kepada Raja
Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh dan memperbolehkan melakukan
praktek-praktek peribadatan atau keagamaan secara tradisional. Demikian pula
meminta untuk meniadakan pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke
makam-makam orang-orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh
Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain, namun kurang mendapat
sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi oleh kelompok Islam Modern
tidak begitu menghiraukan usulan Kyai Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam
Modernis cenderung mendukung pendapat Raja Ibnu Sa’ud.
Sebelum
kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu rapat antar
organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan untuk mengirim utusan
yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI)
dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam
tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum
tradisonalis mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah
oleh delegasi Indonesia.17
Penolakan yang memang masuk akal itu—karena sebagian kaum reformis menyambut
baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi.
Selanjutnya,
dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam Tradisionalis semakin tidak mendapat
tempat dalam berbagai forum, maka Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk
mengadakan pertemuan sendiri. Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5
dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya
mengadakan pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres
Islam Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah
Kyai Wahab, atas undangan Komite Hijaz.
Oleh karenanya, untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926
diputuskan beberapa hal yaitu;18
Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan
Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud
dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan
persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.
Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat
menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama
(NU)—artinya; organisasi kembangkitan
ulama.
Kedua
utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti yang telah
diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh penguasa hijaz
(Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:
1. Meskipun
penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran Wahabi, tetapi
beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran empat mazhab.
2. Tidak
dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah (paham yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam
Masjid al-Haram sejak dahulu kala.
3. Tidak
akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah ke makam-makam
yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama makam-makam yang bersejarah.
Misalnya, makam-makam para Nabi, Sahabat, dan lain sebagainya.19
Selain
rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga menyusun pengurus
besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:
Rais
Akbar : KH. Hasyim
Asy’ari (Tebuireng, Jombang)
Wakil
Rais Akbar : KH. Dahlan
(Kebondalem, Surabaya)
Katib
Awal : KH. Abdul Wahab
Hasbullah (Surabaya)
Katib
Tsani : KH. Abdul Halim
(Cirebon)
‘Awam : KHM. Alwi
Abdul Aziz (Surabaya)
KH.
Ridwan (Surabaya)
KH.
Sa’id (Surabaya)
KH.
Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)
KH.
Abdullah Ubaid (Surabaya)
KH.
Nachrawi (Malang)
KH. Amin
(Surabaya)
KH.
Masykuri (Lasem)
KH.
Nachrawi (Surabaya)
Musytasyar : KHR. Asnawi (Kudus)
KH. Ridwan
(Semarang)
KH. MS.
Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
KH.
Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)
Syeikh
Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)
KHR.
Hambali (Kudus).
Sedangkan
pengurus Tanfiziyah adalah:
Ketua
: H. Hasan Gipo
(Blora, Surabaya)
Seketaris
: Muhammad Shiddiq
(Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Surabaya)
Pembantu
: H. Saleh Syamil
(Surabaya)
H. Ihsan
(Surabaya)
H. Ja’far (Surabaya)
H. Utsman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun (Surabaya)
Latar belakang lahirnya
NU tersebut di atas perlu mendapat perhatian, sebab karakteristik organisasi
atau jam’iyah ini lebih berakar dari sini. Satu hal yang perlu dicatat dari
proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus
pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata
menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya.21
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan
mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka
mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain sebagai salah satu
ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan
bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada
mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab,
yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25 Dalam kenyataan NU lebih condong pada
pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut
fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah
rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang
muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas
bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau
mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada
kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam
merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam
bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam
pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU)
secara ringkas dapat dibagi
menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26
Dalam
bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas
dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU
dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi
keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham
Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut
NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi.27 Keduanya dikenal
memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para
sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan
masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari
dan al-Maturidi.
Sementara
dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah
Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah
dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab
Syafi’i.28
Jadi
dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat
mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU
menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah
satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah
Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi
menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut
dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an dan
as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum
Islam.29
Adapun
alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam (fiqh) lebih berpedoman
kepada salah satu dari empat mazhab;30
Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat
universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud dan
tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna
dan maksud dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa
perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya
yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan
beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya
berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian
ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja.
Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang
ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah
imam madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk
fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan
dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan bagi
Nahdhatul Ulama.
Oleh
karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh (hukum Islam) dalam
NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul
Masail ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah
keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusan
tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Faham
Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah
yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan
dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian lahir dari
suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama,
untuk mendalami dan memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh
adalah melalui tasawuf itu sendiri.
Di
antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan berkembang, NU mengikuti
aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali.
Imam Junaid al-Bagdadi adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun
910 M di Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal
dari Persia.
Untuk
kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar
dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU
membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan
wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam
perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut
diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama badan tersebut di
mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai badan
yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.
Selanjutnya,
sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan, maka Nahdlatul
Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus
mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan
tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman
dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap
NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham
keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut
dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.33 Sikap ini harus dimiliki baik oleh
aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan
bermasyarakat:
1. Sikap
Tawasut dan I’tidal.
Tawasut
artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal
maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan
bersama.34 Dengan sikap dasar ini,
maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus
dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang
bersifat tatarruf (ekstrim).
2. Sikap
Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap
toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma
hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam
masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap
Tawazun.
Yaitu
sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT,
khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan
kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan
mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan
merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan
adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat Islam
pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama
pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis
baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang
ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk
atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk
mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.
1 Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar
melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam
Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis sosial Islam
Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya
lihat www.nu.online.or.id. Sejarah
NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, cet,
I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.
2 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, alih
bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 7-8.
3 A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet,
I (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 47.
4 Ibid., hlm. 47-48
5 Ibid., hlm. 48
6 KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888
di Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil
beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun
dari ayahnya sendiri, KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras
Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren Langitan selama satu tahun,
kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa Timur. selama empat
tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di
Bangkalan, Madura. Yang diasuh oleh KH.
Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk belajar ilmu alat
kepada KH. Hasyim Asy’ari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab
Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S.
Ahmad, “KH. Abdul Wahab Hasbullah: Santri Kelana Sejati”, dalam Huwaidy
Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi
5 Rais ‘Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995), hlm. 27-29.
7 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 8
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41
9 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
10 Taswiru al-Afkar atau dikenal juga
dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian
didirikan Nahdatu at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul
at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi
yang mana kegiatan di dalamnya adalah membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan
masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai
Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M. Masyhur Amin, NU
dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm.
1.
11 Dikatakan kelompok Islam Tradisionalis
karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Petama, berpegang teguh pada
produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam kitab-kitab
kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang
terungkap dalam teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok ini. M. Masyhur Amin, NU
dan Ijtihad Politik, hlm. 11-12.
Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini
nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Ta’lim al-Muta’allim yang terlalu mengagung-agungkan seorang
guru. M. Mashur Amin. “Anatomi Umat Islam”, dalam Bankit, N0. 6, 1993, hlm.
59-62.
Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan,
karena syarat-syarat yang harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi
bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri
(Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.
12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
13 Ali As’ad, ke-NU-an. (Yogyakarta:
PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.
14 Ibid., hlm.20.
15 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 47.
16 Ibid., hlm. 48.
17 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 11.
18 Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21.
19 Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup
di dalam surat resmi Raja Ibnu Sa’ud, Nomor: 2082, tanggal 24 Dzulhijjah H/13
Juni 1928 M. Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21-22
20 Ibid., hlm. 22-23.
21 A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.
22 Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada
hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan
daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama
para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah
timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan
ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah
adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, hlm
39.
23 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta: Sek. Jen. PBNU, 1999), hlm.23.
24 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota:
Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain, cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), hlm. 86.
25 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan
Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 58.
26 M. Masyhur Amin, NU
dan Ijtihad Politik, hlm. 80. Lihat juga Mohamad Shodik, Gejolak
Santri Kota, hlm. 97.
27 Ibid., hlm. 81
28 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.
29 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad hlm. 83
30 Ibid., hlm. 83-84
31 Ibid., hlm. 84.
32 Ibid., hlm. 85
33 Ibid., hlm. 86-88.
34 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98.
No comments:
Post a Comment