05 March 2012

Sejarah dan Pokok Pikiran Nahdlatul Ulama (NU)

| More
Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1
Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun para mantan murid  pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam memperkuat jaringan ini.2
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal  para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai  Gerakan  atau Paham Wahabiyah, maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam.4
Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren.

Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seseorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH. Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif  di Sarekat Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim, yang sejak semula bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal para pencuri  dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang   muslim, Arab, dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah kelompok diskusi, Islam Studie Club.
Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan kepuasan pada dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung mengarah kepada persoalan-persoalan politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab menginginkan untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang ditempuh selain mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan kapasitas intelektual para pemuda.
Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu dengan Kyai Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, mengajak berunding untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme para pemuda dalam rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh Kyai Wahab tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh masyarakat. Terbukti pada  tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan” (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya—madrasah ini mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat ilmu pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas   penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk kegiatan dakwah—yang  sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9  Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama Taswiru al-Afkar,10 yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.11
Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru pada tahun dua puluhan.12 Sehingga  dalam beberapa diskusi, termasuk di forum Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi  al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan, seorang pendiri Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya perdebatan masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai ijtihad, mengenai madzhab dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-kali telah diadakan munazarah (perdebetan sehat) untuk menyelesaikan masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti oleh para ulama dari berbagai daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah, sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi dipimpin oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar, bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur, sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain sebagainya, selalu dipertahankan  oleh Kyai Wahab sementara yang lainnya masih tetap menentangnya.13
Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut Kyai Wahab telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri. Dan dalam perdebatan yang diadakan berulang-ulang kali itu pun, Kyai wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat dan tidak dapat dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan kebenaran paham yang dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.
Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri perdebatan itu dengan penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap perdebatan itu telah selesai segala-segalanya. Namun, kaum pembaharu (reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang ditunjukkan oleh Kyai Wahab itu, malahan telah  berbuat sepihak atau tidak adil.14 Di antara buktinya adalah,  pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz. Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan mengenai kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15
KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam Tradisionalis menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta jaminan kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh dan memperbolehkan melakukan praktek-praktek peribadatan atau keagamaan secara tradisional. Demikian pula meminta untuk meniadakan pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke makam-makam orang-orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain, namun kurang mendapat sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi oleh kelompok Islam Modern tidak begitu menghiraukan usulan Kyai Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam Modernis cenderung mendukung pendapat Raja Ibnu Sa’ud.
Sebelum kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisonalis mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah oleh delegasi Indonesia.17 Penolakan yang memang masuk akal itu—karena sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi.
Selanjutnya, dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam Tradisionalis semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri. Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5 dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya mengadakan pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah Kyai  Wahab, atas undangan Komite Hijaz. Oleh karenanya, untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan beberapa hal yaitu;18
Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.

Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)—artinya;  organisasi kembangkitan ulama.

Kedua utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti yang telah diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh penguasa hijaz (Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:
1.      Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran Wahabi, tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran empat mazhab.
2.      Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa  al-Jama’ah (paham yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-Haram sejak dahulu kala.
3.      Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah ke makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama makam-makam yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi, Sahabat, dan lain sebagainya.19
Selain rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga menyusun pengurus besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:
Rais Akbar                  : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang)
Wakil Rais Akbar       : KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)
Katib Awal                 : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Katib Tsani                 : KH. Abdul Halim (Cirebon)
‘Awam                       : KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
KH. Ridwan (Surabaya)
KH. Sa’id (Surabaya)
KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)
KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
KH. Nachrawi (Malang)
KH. Amin (Surabaya)
KH. Masykuri (Lasem)
KH. Nachrawi (Surabaya)
            Musytasyar                  : KHR. Asnawi (Kudus)
KH. Ridwan (Semarang)
KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)
Syeikh Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)
KHR. Hambali (Kudus).

            Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:
            Ketua                          : H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)
            Seketaris                      : Muhammad Shiddiq (Pemalang)
            Bendahara                   : H. Burhan (Surabaya)
            Pembantu                    : H. Saleh Syamil (Surabaya)
                                                  H. Ihsan  (Surabaya)
                                                  H. Ja’far (Surabaya)
                                                  H. Utsman (Surabaya)
                                                  H. Achzab (Surabaya)
                                                  H. Nawawi (Surabaya)
                                                  H. Dahlan (Surabaya)
                                                  H. Mangun (Surabaya)         

                        Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat perhatian, sebab karakteristik organisasi atau jam’iyah ini lebih berakar dari sini. Satu hal yang perlu dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya.21

Pokok-pokok Pikiran
            Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25 Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada  Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan  alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU)  secara ringkas dapat  dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah  yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.27 Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.28
Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam.29
Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam (fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;30 Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi  SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan, maupun  taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan bagi Nahdhatul Ulama.
Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh (hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah melalui tasawuf itu sendiri.
Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia.
Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama badan tersebut di mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.
Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.33 Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:

1.      Sikap Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.34 Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
2.      Sikap Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.      Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.

Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan  warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.





1 Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya lihat www.nu.online.or.id. Sejarah NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, cet, I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.
2 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 7-8.
3 A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 47.
4 Ibid., hlm. 47-48
5 Ibid., hlm. 48
6 KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888 di Jombang,  Jawa Timur. Sejak kecil beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun dari ayahnya sendiri, KH. Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren Langitan selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa Timur. selama empat tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di Bangkalan,  Madura. Yang diasuh oleh KH. Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk belajar ilmu alat kepada KH. Hasyim Asy’ari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S. Ahmad, “KH. Abdul Wahab Hasbullah: Santri Kelana Sejati”, dalam Huwaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995),  hlm. 27-29.
7 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 8
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41
9 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
10 Taswiru al-Afkar atau dikenal juga dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatu at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi yang mana kegiatan di dalamnya adalah membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm. 1.
11 Dikatakan kelompok Islam Tradisionalis karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Petama, berpegang teguh pada produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam kitab-kitab kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang terungkap dalam teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok  ini. M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 11-12.
Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Ta’lim al-Muta’allim  yang terlalu mengagung-agungkan seorang guru. M. Mashur Amin. “Anatomi Umat Islam”, dalam Bankit, N0. 6, 1993, hlm. 59-62.
Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan, karena syarat-syarat yang harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.
12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm.9.
13 Ali As’ad, ke-NU-an. (Yogyakarta: PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.
14 Ibid., hlm.20.
15 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 47.
16 Ibid., hlm. 48.
17 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, hlm. 11.
18 Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21.
19 Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup di dalam surat resmi Raja Ibnu Sa’ud, Nomor: 2082, tanggal 24 Dzulhijjah H/13 Juni 1928 M. Ali As’ad, ke-NU-an, hlm. 21-22
20 Ibid., hlm. 22-23.
21 A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.
22 Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama  para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, hlm 39.
23 Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta:  Sek. Jen. PBNU, 1999), hlm.23.
24 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain, cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 86.
25 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm. 58.
26 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, hlm. 80. Lihat juga Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.
27 Ibid., hlm. 81
28 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 97.
29 M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad hlm. 83
30 Ibid., hlm. 83-84
31 Ibid., hlm.  84.
32 Ibid., hlm. 85
33 Ibid., hlm. 86-88.
34 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...