09 May 2011

Asal Usul Bahasa

| More
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan ini kita tidak terlepas dari kegiatan komunikasi, setiap saat kita berkomomunikasi dengan orang lain, bertukar informasi dan melalakukan traspormasi informasi kepada orang lain. Ketika kita berkomunikasi lebih sering menggunakan komunikasi lisan, bahasa merupakan bagian dari bagian dari komunikasi lisan..Bahasa didefinisikan sebagai seperangkat symbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan symbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa tertulis Thai misalnya terdiri dari 44 konsonan dan 32 vokal. Suaranya dikombinasikan dengan lima nada yang berbeda untuk menghasilkan bahasa yang bermelodi. Kelas-kelas orang berbeda mengunakan kata ganti orang, kata benda dan kata kerja yang berbeda pula untuk menunjukan status sosial dan keintiman.  Setidaknya terdapat 47 kata ganti orang termasuk 17 kata ganti orang pertama dan 19 kata ganti orang kedua. Kerena bentuknya yang berbeda untuk setiap kelas orang. Bahasa Thai dapat dibedakan menjadi empat kategori : bahasa kerajaan, bahasa kerohanian, bahasa halus tarian, dan bahasa orang kebanyakan.

ASAL USUL BAHASA
Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal. 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan, ini dimugkinkan kerena mereka punya struktur tengkorak, lidah dan kotak suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kemampuan bahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini, Cro Magnon dapat berfikir lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep berburu dengan cara yang lebih baik, dan mempertahankan diri dangan lebih efektif dalam lingkungan yang keras dan cuaca yag buruk. Mereka juga dapat mengawetkan makanan. Sekitar 5000 tahun lalu manusia melakukan trassi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Transisi paling dini dilakuakan oleh bangsa Sumeria dan mengembangkan system tulisan mereka secara independent. Tahun 2000 sebelum Masehi, papyrus digunakan secara luas di Mesir untuk menyampaikan pesan tertulis dan merekam informasi. Penyebaran sisitem tulisan menyebar sampai ke Yunani. Bangsa Yunani-lah yang kemudian menyempurnakan dan menyederhanakan sisitem tulisan ini. Menjelag kira-kira 500 sebelum Masehi, mereka menggunakan alfabet secara luas, dan terus berkembang sampai sekarang

12 April 2011

SAINTS AND SHEIKH IN MODERN EGYPT

| More
Valerie J. Hoffman

Belief in the existence and powers of ‘saints’ or ‘friend of God’ (wali, pl. awliya) is pervasive throughout the Muslim world. Such individuals are often associated with Sufism, or Islamic mysticism, though the notion of human perfection probably developed first among Shi’a.
According to some branches of the Shi’a, the imams inherited from the Prophet a spark of divine light granting them a perfection and sinlessness denied to ordinary human beings. The perfection of the saints in Sunni Islam is also a divine grace, and is often also associated with putative inheritance from the Prophet, thought it usually also derives from the arduous disciplines of self-denial and devotion that are peculiar to the Sufi way. A true Sufi sheikh, or spiritual master, should be a friend of God, one who by virtue of his closeness to God may see by the light of God what no ordinary person can see, and who is therefore qualified to give each disciple the discipline and instruction that befits him or her. Nonetheless, not all those who are recognized as saints are followers of the Sufi path, and not all those who function as sheikhs are commonly recognized as saints.
Since there is no body in Islam authorized to canonize saints, as there is in Catholicism, the process by which sainthood is recognized is entirely informal and necessarily a matter of contention. Typically, disciples regard their masters not only as saints, but usually as the greatest of all saints, the qutb (axis) or ghawth (help). Nonetheless, the problem of unqualified individuals being granted a certificate to function as Sufi sheikhs has been broadly recognized by Sufis themselves. So who is a saint, and how is he or she recognized?
The qualities typically deemed mandatory for saints include piety, observance of the Shari’a, knowledge of God, and the performance of miracles – typically miracles of knowledge, such as the ability to ‘read hearts’ and to communicate mind-to-mind with other saints or one’s own disciples, breaking through barriers of time and space, and providing spectacular assistance to those in need. Yet this inventory of attributes is deceiving, for the experts on Muslim sainthood also tell us that sainthood (wilaya) is by definition hidden among God’s creatures, especially the saints of the highest rank. So the person who is serving the tea to the guests may in fact be of a higher spiritual rank than the sheikh who is revered by his disciples. There is hierarchy among saints, with a diversity of spiritual types, habits and functions. The qutb, or axis, is said to be hidden and largely unrecognized. Even a child might be a saint. In Cairo there is a tomb for a boy who, after his death, identified himself as a saint by means of a dream given to a person who had never known him. Nonetheless, the man built a shrine over the place where the dead boy was buried, and his tomb is visited by people seeking his baraka.

07 April 2011

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MBS)

| More
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...