24 August 2010

Politik Pendidikan dan Dilematika Penyelenggaraan Pendidikan

| More
Sebagian besar orang mungkin pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani, apalagi bila dihadapkan pada politik. Lalu apakah benar politik harus demikian? Lalu bagaimana dengan dampak politik pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan? Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komuditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga – lembaga pendidikan memiliki aspek dan wilayah politik yang banyak. Serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik sehari – harinya. Dalam arti bahwa pendidikan merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Karena besarnya nuansa politik dari kebijakan – kebijakan pendidikan, maka berbagai faktor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan turut mempengaruhi bagaimana kebijakan – kebijakan pendidikan dibuat. Sebagai wilayah tanggung jawab pemerintah, pendidikan juga sering “ dipaksa “ menyesuaikan diri “ dengan pola – pola administratif umum dan norma – norma yang berlaku.

Dengan demikian jika politik dipahami sebagai “ praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial “ ( Harman. 1974 : 9 ) maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis poltik 1). Yang berarti pula bahwa semua lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam batas – batas tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan – keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Sebuah keputusan yang dibuat dalam rapat – rapat guru sekolah untuk mengimplementasikan sebuah program pengajaran baru sama politisnya dengan sebuah keputusan yang dibuat oleh departemen pendidikan dalam rangka mengalokasikan sebuah dana bantuan untuk sekolah – sekolah tertentu. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga pendidikan. Bahkan menurut baldridge ( 1971 ) lembaga – lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem – sistem politik mikro yang melaksanakan semua fungsi – fungsi utama sistem politik.


KRISIS DUNIA PENDIDIKAN
Dari keterkaitan politik dan pendidikan yang saling memengaruhi tersebut, apakah keduanya mampu sejalan dan seirama didalam penyelenggaraannya? Mengingat dari dua perspektif tersebut dapat melahirkan multi orientasi yang saling berbeda bahkan bisa saling bertolak belakang. Salah satu contoh yang dapat kita ambil adalah komplikasi antara bisnis oriented dan education oriented dalam pendidikan. Sebenarnya tidak ada yang salah dari keduanya jika dijalankan secara “ manis ”. Namun hal tesebut akan terkesan “ dipaksakan “ jika salah satunya terdominasi.
Dalam perspektif teori pendidikan mekanistik ( mechanistic theories of education ) yang diperkenalkannya, Apple ( 1982 ; viii ) mengingatkan : “ kita mesti sensitif terhadap cara – cara sekolah dan institusi lainnya terperangkap dalam berbagai kebutuhan dan kekuatan yang saling bersaing “. Hal yang sama juga bisa dan akan terjadi terhadap guru – guru dan peserta didik yang ada di ruang kelas di sekolah – sekolah tersebut “. Persoalannya, ujar Apple ( 1982 : ix ) “ what’s good for business is good for the country and its people maynot be very good educational policy “ ( apa yang baik bagi bisnis, baik bagi negara dan rakyatnya mungkin tidak begitu baik bagi kebijakan pendidikan ).
Meski dasar pandangan Apple tersebut adalah hasil pengamatannya terhadap dunia pendidikan di Amerika Serikat, dimana kapitalisme merajalela, namun dengan cara yang berbeda hal serupa bisa saja terjadi di negara kita. Sebagai contoh adalah sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang baik menurut saya untuk mengangkat status sosial ekonomi guru sebagai penyelenggara pendidikan. Namun hal ini menjadi tidak baik manakala seorang guru melupakan essensi utama dari keprofesiannya sebagai guru. Sehingga para guru bisa jadi tidak lagi bekerja keras untuk pencerahan intelektual dan kematangan emosional, tetapi bekerja keras hanya untuk sekedar meraih prestasi – prestasi ekonomi. Bahkan ada yang smpai rela menggunakan segala cara. Ironinya ketika dunia pendidikan mulai diperhatikan, kesejahteraan guru mulai mendapat jaminan, keadaan kontras malah terjadi pada hasil dan mutu pendidikan kita yang semakin melemah. Hal ini bisa dilihat dari fenomena krisis budi pekerti yang semakin merajalela. Pertanyaannya adalah apa yang membuat mereka, para peserta didik seolah tidak lagi tertarik dan malah semakin menjauh dari kegiatan pendidikan, lalu kemanakah larinya para penyelenggara pendidikan? Ataukah mereka terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan pemerintah ? Dan adilkah bila penyelenggara pendidikan disebut sebagai penyebab utama dari krisis tersebut ?.
Dalam konteks Indonesia, Muchtar Buchori 2) berpendapat bahwa “ poor education is one source of the country’s crisis “ ( pendidikan yang tidak bermutu adalah salah satu sumber krisis di negara ini ). Krisis yang saat ini melanda bangsa ini (Indonesia ) bersumber dari akumulasi keputusan – keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi di masa lalu. Sedangkan Apple ( 1993 : 65 ) berpendapat bahwa retorika tentang sistem terbaik tersebut sedang mengalami kehancuran, bukan karena sekolah gagal meningkatkan kemampuan teknis peserta didik, bukan pula karena sekolah – sekolah telah gagal mengembangkan sistem yang komprehensif untuk mengidentifikasi, kuantifikasi dan serifikasi bakat yang ada, tetapi karena berbagai faktor yang sejak tahun 1970-an semakin menjadi – jadi, yaitu krisis negara. Sejalan dengan berantakannya kehidupan komunal dibawah tekanan revolusi urban dan industri. Persoalan ini memunculkan pertanyaan yaitu apakah masih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of education? Sementara faktor – faktor eksternal terlalu banyak memberikan dampak yang bersifat “ mengganggu “ tujuan asasi pendidikan. Sehingga hal ini memunculkan berbagai dilema yang pada akhirnya membuat sekolah bisa tidak lagi menjadi pusat pencerahan masyarakat, melainkan menjadi pusat problematika masyarakat.
ASPEK PENDIDIKAN DAN KONFLIK ERA OTODA
Pada hakekatnya pendidikan mempunyai jangkauan yang sangat luas. Dalam rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu kepeda peserta didik :”berilah aku seluruh yang engkau miliki, maka akan aku berikan sebagian yang aku punyai “ 3). Yang pasti ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali dana, tenaga dan perhatian yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk pengembangan pendidikan.
Walau demikian kita tahu bahwa kebijakan otoda merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintah dan pembangunan secara menyeluruh, dan pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar didalamnya. Kesadaran tersebut tergambar pada rumusan arah dan strategi pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam Garis Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) tahun 1999 – 2004 yang di tetapkan melalui rapat paripurna ke 12 Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) pada tanggal 19 oktober 1999 dan dijabarkan melalui Undang – Undang RI nomor 25 tahun 2000 tentang pembangunan nasional tahun 2000 – 2004. UU tesebut menegaskan bahwa ditengah krisis multidimensi dan arus globalisasi yang sedang dihadapi, bangsa indonesia menghadapi 4 masalah utama pendidikan yaitu rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, masih lemahnya manajemen pendidikan dan belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi dikalangan akademis (Sirozy,2005:203).
Sejalan dengan hal itu kebijakan otoda juga membuka ruang politik yang lebar bagi berbagai kelompok kepentingan untuk mempresentasikan nilai – nilai atau kepentingan – kepentingan pendidikan baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Ruang politik yang lebar tersebut membuat proses kebijakan pendidikan di era otda menjadi sangat dinamis dan rawan konflik baik secara horisontal dan vertikal. Konflik horisontal dapat terjadi pada skala besar seperti antara berbagai departemen yang terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan. Dan dapat juga terjadi dalam skala kecil seperti antar propinsi, antar kabupaten / kota atau antar sekolah. Sedangkan secara vertikal, konflik pendidikan di era otonomi daerah dapat terjadi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah; antar pemerintah kabupaten / kota dan pemerintah propinsi; antar kepala sekolah dan guru – guru; dan antar pihak sekolah dan masyarakat. Selain itu otonomi daerah yang tak terkendali yang melahirkan raja – raja kecil juga memperparah situasi konflik 4)
Sebagaimana apa yang disebut konflik, hal ini dapat dipicu oleh terjadinya benturan – benturan kepentingan (conflik of interest ) dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan seperti aspek pedagogi, kurikulum, organisasi dan evaluasi. Sehingga semua hal tersebut terkadang harus mempertaruhkan satu hal yang paling prinsip yang dalam aspek pedagogi disebut prinsip kejujuran dalam mendidik.
Kenyataan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal tapi juga faktor eksternal yang mungkin merasa tidak harus bertanggung jawab atas pengembangan kualitas pendidkan. Akhirnya problematika internal muncul bagai bola benang kusut yang bila ditarik semakin membelit.sebagai salah satu contoh problematika yang paling menjadi buah simalakama bagi penyelenggara pendidikan saat ini adalah tentang kelulusan yang ditentukan oleh standarisasi UNAS dengan dasar pertimbangannya adalah agar mutu pendidikan “ terlihat baik “ bukan “ sungguh – sungguh baik “. Dengan kata lain hal ini bisa disebut sebagai desentralisasi yang sentralisasi yang pada akhirnya memunculkan sesuatu yang dipaksakan. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bila akhirnya sekolah harus membantu kelulusan siswa dengan segala cara atau kebohongan nurani pun tak dapat dihindari. Lalu apa dampak bagi peserta didiknya ? Tentu saja peserta didik semakin meremehkan proses pembelajaran dalam arti semakin tidak peduli dengan bahan yang diajarkan. Sebaliknya, dari apa yang mereka saksikan, ada satu ilmu “ sesat ” yang akhirnya mereka tanam dalam hati mereka seumur hidup bahwa menggunakan “ segala cara ” adalah sesuatu yang dihalalkan, dan satu lagi paham yang akan mereka anut bahwa demi sebuah image, manusia tidak harus berbuat jujur. Dari fenomena ini tanpa kita sadari, dunia pendidikan kita telah mencetak dan mempersiapkan generasi yang akan datang sebagai sebuah generasi yang lebih parah dari generasi kita sekarang ini dalam hal mental dan intelektual. Ini menunjukkan bahwa terkadang orientasi politik dan pendidikan tidak saling sejalan dan saling mendukung. Seperti yang telah dikatakan bahwa apa yang baik bagi politik belum tentu baik bagi pendidikan. Standarisasi kelulusan yang dianggap baik bagi kehidupan politik dan masyarakat belum tentu memberikan dampak baik bagi asasi pendidikan bila hal tersebut terlalu dipaksakan. Bukankah hakekat pendidikan adalah penggodokan mental dan intelektual, dan kelulusan hanyalah merupakan sebagai hadiah bagi proses tersebut, bukan sebagai penentu yang dapat dinilai. Lalu bagaimana dengan para pendidik ? mereka tak ubahnya bagai makan buah simalakama, menusuk diri sendiri atau menusuk apa yang sudah menjadi amanah profesi mereka? Sungguh kenyataan yang sangat menyedihkan.

KETIDAK BERDAYAAN PROFESIONAL
Hal diatas hanya merupakan salah satu contoh kecil diantara contoh – contoh besar lainnya yang mungkin kurang mendapat perhatian dalam pertimbangan – pertimbangan pemberian keputusan dalam kaitannya dengan dampak pendidikan. Dan ketika seorang profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, bisa jadi perilaku ini muncul dari rasa frustasi dan ketidak berdayaan. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa banyak para profesional pendidikan merasa terancam. Hal ini bisa terjadi manakala iklim opini publik memberi perlawanan terhadap pendidikan, pemerintah mengurangi anggaran pendidikan dan sekolah – sekolah dipersalahkan atas berbagai kekurangan.
Dengan demikian, ketidak berdayaan profesional dapat melahirkan hambatan baru. Para profesional bisa saja menjadi patah semangat, terganggu dan frustasi. Mereka tidak mampu bekerja sebagaimana apa yang menurut mereka harus mereka kerjakan karena seringkali keputusan – keputusan dibuat oleh orang lain dan tidak dibuat oleh para profesional atas landasan teknis. Lalu keputusan – keputusan tersebut dibuat oleh kelompok nonprofesional dengan landasan politis.
Reaksi tesebut sungguh dapat dimengerti karena dalam berbagai bidang kehidupan para profesional merasa terancam karena otonomi dan keahlian mereka ditantang dan digerogoti. Namun dalam pandangan Harman ( 1980 : 32 ) bagi para profesional pendidikan, mengisolasi diri dari dunia politik adalah menyesatkan dan tidak menguntungkan. Menyesatkan, karena domain profesionalisme dan politik tidak dapat dipisahkan begitu saja, dan dalam konteks apapun keputusan – keputusan tentang pendidikan jarang dibuat semata – mata atas dasar pertimbangan – pertimbangan teknis. Tidak menguntungan. Karena input dari para profesional dalam proses kebijakan sangat diharapkan.
Dari hasil penelitian J. Campbell 5) dan kawan – kawan tentang upaya menyusun parameter khusus untuk sisi kondisi dalam berbagai organisasi juga menyebutkan satu hal diantaranya yang sejalan dengan organisasi pada umunya adalah sentralisasi kebijakan – kebijakan dan konsistensi manajemen terhadap kebijakan – kebijakan yang penting dapat mempengaruhi kelaikan produktifitas individu. Bila ditarik kesimpulan, hal ini akan memberi sebuah jawaban atas persoalan – persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita bahwa sinkronisasi antara kebijakan, sosialisasi dan dampak yang diharabkan masih belum memberikan solusi pencerahan terhadap persoalan pelik pendidikan yang kita hadapi sekarang. Sebaliknya, menambah hambatan baru bagi para profesional dalam hal motivasi kerja, produktifitas dan kualitas pendidikan itu sendiri.

--------------------------

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...