17 August 2010

Tokoh Semiotika Modern

| More
Charles Sanders Peirce
Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Ia memerlukan konsep-konsep baru dengan menciptakan kata-kata baru yang ditemukannya sendiri. Dari penggunaan kata-kata inilah ahli semiotika dari kubu Peirce dapat dikenali. Ia mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika yang harus mempelajari 'bagaimana orang bernalar'. Penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda yang dengannya memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Ahli semiotika dari kubu Saussure menggunakan kosa kata yang berbeda. Mereka menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik. Di Prancis terutama pengaruh Saussure-lah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa gagasan-gagasan ini belum mendapat perhatian yang sepantasnya di Prancis. 

Peirce menyebut tanda dengan representament. Apa yang dikemukakan oleh tanda disebutnya object. Jadi suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representansi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Di samping itu, representasi itu dapat terlaksana karena bantuan sesuatu; misalnya bantuan suatu kode. Selain itu, tanda diinterpretasikan. Ini berarti bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang di sebut interpretant. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya.
Peirce telah menciptakan semiotika agar dapat memecahkan dengan lebih baik masalah inferensi (pemikiran logis); akan tetapi, semiologi juga membahas masalah-masalah signifikasi dan komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda. Dengan demikian, tidaklah mngherankan bila kita lihat bahwa sebahagian dari teori komunikasi berasal dari semiotika. Akan tetapi, di satu pihak ada tanda-tanda yang berfungsi di luar situasi komunikasi, dan di pihak lain berbeda dengan teori semiotika; teori semiotika menaruh perhatian pada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu pada saluran komuniklasi. Melalui inilah pesan dapat disampaikan.
Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada: hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon, hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks, dan akhirnya hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol.
Di dalam tipologi lambang dari Peirce, lambang itu disebut rheme bilamana lambang itu terhadap interpretannya adalah sebuah first. Rheme itu harus mendapat tempatnya dalam hubungan dengan kata-kata lain dan dalam kombinasi itu rheme tersebut berubah dari lambang yang potensial menjadi lambang yang nyata. Jadi, sebuah rheme adalah sebuah lambang yang sedang tidur, yang sedang menunggu untuk dibangunkan. Sebuah rheme terletak dalam bidang firstness, siap untuk dibawa kebidang secondness, dunia hal-hal yang benar-benar ada.
Bilamana antara lambang itu dan interpretannya terdapat suatu hubungan yang benar, maka lambang itu merupakan suatu second, yaitu sesuatu yang termasuk dunia yang ada. Peirce telah menyebut tipe lambang ini dengan nama dicent sign dan juga dicisign. Dia juga menyebutnya proposition dan kata itu memperlihatkan bahwa dia terutama adalah seorang ahli logika.
Jika proposition membentuk suatu kesatuan yang bersangkut-paut, bilamana berkat adanya suatu “hukum” mereka menunjukkan adanya hubungan antara yang satu dan yang lain, maka mereka bersama membentuk sebuah argument. “Hukum” itu, peraturan yang sering tersirat tanpa dapat dilihat, mempunyai nama yang sering bagus di dalam logika: leading principle.
Bagi  Peirce, dari ketiga tipe semiotika yang telah disebutkan, tanda ikonlah yang paling utama. Di dalam sebuah teks terdapat ikon apabila orang melihat adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnya yang lebih kecil. Jumlah acuan yang mungkin ada juga tak terbatas. Acuan dapat bersifat kongkret ataupun abstrak, nyata atau amajiner. Semua yang dapat dibayangkan oleh fikiran manusia dapat merupakan acuan suatu tanda.
Suatu gejala struktural, baik ia muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat, dalam sekuan) maupun pada tingkatan makrostruktural (dalam bagian teks yang agak lebih luas atau dalam teks yang secara keseluruhan), selalu dapat dianggap sebagai tanda.
Wilayah ikonositas tidak terbatas pada wilayah ikon tipologis dan diagramatik. Peirce telah membedakan kelompok ikon ketiga dan menamakannya “metafora” atau dapat kita sebut ikon metafora. Karakteristik ikon jenis ini adalah tidak adanya kemiripan antara tanda dan acuannya, tetapi antara dua acuan; kedua-duanya diacu dengan tanda yang sama (seperti halnya metafora yang sebenarnya juga). Pada tingkatan makrostuktural gejala tersebut terdapat dalam teks-teks yang secara keseluruhan merupakan alegori atau parabel. Ikon metafora tidak hanya terlihat dalam roman-roman metafisik atau yang menyangkut eksistensi manusia. Ikon metafora juga terlihat dalam unsur-unsur teks yang lebih kecil lagi.
Pembedaan antara ikon tipologis, diagramatik, dan metafora, itu tidak mutlak. Hal ini menyangkut penonjolan saja. Cukup dengan melihat deskripsi yang menunjukkan kehadirannya. Jika dalam deskripsi itu digunakan istilah-istilah yang termasuk wilayah makna spasialitas, disimpulkan adanya ikon topografis. Apabila termasuk wilayah makna relasional, yang terdapat ikon diagramatik. Jika deskripsi yang dibuat untuk menunjukkan adanya ikon mengharuskan dipakainya metafora sebagai istilah (jika secara keseluruhan dikatakan ada”metafora”), maka yang terdapat ikon metafora.

Saussure
Konsep (dikotomis) langue/parole sangat penting dalam pemikiran Saussure dan pasti telah membawa suatu pembaharuan besar bagi linguistik sebelumnya. Untuk mengembangkan dikotomi yang terkenal itu, Saussure mulai dengan sifat bahasa yang “berbentuk jamak dan beragam”, yang pada pandangan pertama tampak bagaikan suatu realita yang tak dapat dikelompok-kelompokkan. Di samping itu, terdapat parole yang mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realisasi aturan-aturan, dan kombinasi tanda-tanda yang terjadi sewaktu-waktu). Jadi, dapat dikatakan bahwa langue adalah langue dikurangi parole: itu adalah suatu institusi sosial sekaligus juga suatu sistem nilai. Sebagai sistem sosial, langue sama sekali bukan tindakan, tidak direncanakan sendiri: itulah sisi sosial dari langue.
Berlainan dengan langue yang merupakan institusi dan sistem, parole terutama merupakan suatu tindakan individual yang merupakan seleksi dan aktualisasi; parole pertama-tama terdiri dari “kombinasi dan berkat kombinasi inilah maka subjek pembicara dapat menggunakan kode bahasa itu untuk mengungkapkan pemikiran pribadinya” (pengertian parole yang luas ini dapat disebut wacana). Langue dan parole: istilah ini masing-masing tidak dapat mempunyai makna sepenuhnya kecuali dengan proses dialektik yang menghubungkannya satu sama lain: tidak ada langue tanpa parole, dan tak ada parole yang berada di luar langue, dalam hubungan inilah terletak aktivitas linguistik yang sebenarnya.
Pemisahan langue dan parole membentuk essensi analisis linguistik; namun, akan sia-sialah mengusulkan secara tergesa-gesa pemisahan semacam ini untuk sistem objek, gambar, atau sikap yang belum dipelajari dari segi semantik.Hubungan antara langue dan parole di sini akan cukup dekat dengan hubungan yang ditemukan dalam langage: secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penggunaan parole, yaitu semacam pengendapannya, membentuk langue makanan.
Yang dilakukan secara arbitrer dalam perspektif langue/parole, dapat dikemukakan pula beberapa saran tentang sistem objek yang memang sangat berbeda, tetapi masih mempunyai persamaan, yaitu keduanya tergantung dari kelompok pengambil keputusan (dalam produksi).Langue itu terbentuk dari aturan-aturan dalam penggabungan unsur-unsur yang berbeda dalam tahap penyusunan ruangan (dekorasi). Dalam hal ini, parole terbentuk dari berbagai variasi yang tak berarti yang dapat dilakukan para pemakai pada suatu unsur. Sistem-sistem yang paling menarik, setidak-tidaknya yang tercakup dalam sosiologi komunikasi massa, adalah sistem yang kompleks; di dalamnya terkait berbagai substansi.
Perluasan semiologis sistem langue/parole tidak berlangsung tanpa menimbulkan masalah. Hal itu terjadi bersamaan dengan adanya permasalahan bahwa model linguistik tak dapat diikuti lagi dan perlu diubah. Di dalam langage, tak ada yang dapat masuk ke dalam langue sebelum sebelum digunakan dalam parole, sebaliknya, tak ada parole yang mungkin hadir (artinya melaksanakan fungsi komunikasinya) bila unsur itu tidak diambil dari kekayaan langue.


Roland Barthes
Rolland Barthes (1915-1980) adalah salah seorang pemikir kebudayaan dari Prancis. Barthes, dalam salah satu bukunya, Semiologi—mengatakan, jika kelahiran seorang pembaca pastilah ditebus dengan kematian seorang pengarang. Suatu pernyataan yang bernada ‘menciutkan’ keinginan dari para pengarang setiap kali melahirkan karyanya. Hal ini, sama dengan ungkapan yang berkembang dalam dunia kesusastraan, yakni, “seorang sastrawan, entah itu penyair, cerpenis, novelis, esais, akan habis setelah karyanya dilempar ke masyarakat luas”. Suatu statement yang terlontar setiap kali pengarang melahirkan sebuah karya.
Roland Barthes adalah sosok pemberi nyawa dalam pemikiran sastra yang tiada bandingannya. Ia adalah sosok pemicu kontroversi. Di satu sisi, Barthes dianggap sebagai seorang strukturalis yang telah menggarisbawahi arti penting "sains sastra". Dia pula yang menjadi pelopor utama dalam perkembangan semiologi. Tapi ada juga yang menganggap Barthes tak pernah berpihak pada sains, karena yang dikejarnya hanyalah kesenangan yang didapatkan pembaca ketika berhadapan dengan teks.
Menurut Ronald Barthes, kekuasaan modern telah lahir dengan begitu lembut melalui mekanika sosial dan sangat mungkin masuk dalam relung-relung kepentingan, tidak hanya negara, kelas, grup, tetapi juga di dalam fashion, opini publik, hiburan, olahraga, berita, informasi, keluarga, dan hubungan pribadi. Inilah yang disebut dengan wacana kekuasaan (discourse of power).
Secara struktural sebuah teks adalah otonom. Ia tidakbergantung kepada maksud pengarang, pada situasi historis di mana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Inilah yang disebut dengan sifat intrinsik atau sifat "bahasawi" (the lingual character) teks. Pemahaman tidak lagi mencari makna tersembunyi di balik teks, tetapi mengarahkan perhatiannya kepada makna obyektif sebuah teks, terlepas dari subyektivitas pengarang. Menginterpretasikan teks bukan berarti mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus: diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai, bila "dunia teks" dan "dunia interpretator" bercampur baur menjadi satu (K. Bertens, 1996).
Barthes mengemukakan sebuah metode untuk membaca mitos dari jenis yang telah dia fahami dengan baik. Metode tersebut disusun lebih dikarenakan dari pengalamannya sebagai seorang mitografer dibandingkan faktor lainnya. Dia juga disusun dari ilmu bahasa atau lebih tepatnya dari semiotika, studi tentang sistem-sistem tanda dan tentang penandaan. Metode tersebut tidak terlalu teknis, yang hanya melibatkan sedikit rambu-rambu pelajaran mitos pada perbedaan antara denotasi suara tanda dan konotasinya. Denotasi adalah makna sebenarnya, konotasi adalah makna tidak sebenarnya. Demi argumen konotasi dapat digolongkan sebagai sebuah simbolisme, karena konotasi memiliki makna tambahan disamping makna sebenarnya dari tanda yang dipertanyakan.
Mythologue adalah orang yang akan mendidik kita sehingga dapat mendeteksi mereka. Dia akan menggantikan sebuah kultur yang alami dengan yang bersifat menjelaskan atau menerangkan. Karenanya, dalam peranannya sebagai seorang mytholog, Barthes sedang memperluas tanggung jawab tradisional masyarakat pada arah yang menarik dan berguna. Tambahan atau gabungan metodologis yang panjang dengan nama mitologies berakhir bersifat sangat mendidik, untuk membuat kita semua menjadi orang yang lebih waspada dan kritis. Dari pemercaya mitos yang malu-malu Barthes akan membalikkan kita menjadi pembaca mitos yang sinis, jika diperlukan, kita mampu memproduksi mereka untuk diri kita sendiri. Mitos, seperti yang ditulis oleh Barthes dinyatakan secara tertulis dengan hilangnya kualitas historis dari benda-benda: di dalammya benda-benda kehilangan memori perangkainya. Dan ini ada dalam kaitannya dengan perangkaian dimana mitolog Barthes bertemu dengan para pemikir kesusastraan.
Mite adalah suatu ceritera yang didalamnya sebuah ideologi berwujud. Dapat dimengerti bahwa mite-mite, yang rangkai-merangkai menjadi mitologi-mitologi, memainkan peranan yang penting di dalam kesatuan-kesatuan kebudayaan; mite-mite memungkinkan inkarnasi dari hal-hal yang kalau tidak demikian akan tetap abstrak dan tak dapat disentuh. Di dalam mite-mite lama tertanam ideologi-ideologi lam dan pastilah akan merupakan tugas yang sangat menarik hati bagi peneliti-peneliti teks untuk menggalinya di bawah bentuk yang tampak


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...