21 August 2010

Hadis Ahad dan Hukum Mengamalkannya

| More
A. TA'RIF HADITS AHAD
Hadits ahad adalah hadits yang derajatnya tak mencapai derajat Mutawattir, sedangkan hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh jama'ah (kumpulan banyak) shahabat sehingga dinyatakan menurut 'adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta ataupun melakukan kesalahan. Hadits mutawattir jumlahnya amat sangat sedikit dibandingkan dengan hadits ahad. Hadits ahad sendiri dibagi menjadi hadits gharib jika diriwayatkan oleh seorang saja pada tiap tingkatannya, hadits aziz jika diriwayatkan oleh dua orang pada tiap tingkatannya, dan hadits masyhur jika diriwayatkan oleh lebih dari 2 orang pada tiap jenjangnya namun tak mencapai derajat mutawattir.
Dari segi diterima dan ditolaknya, hadits Ahad terbagi menjadi beberapa bahagian, di antaranya ada yang maqbul (diterima) dan ada yang mardud (ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya, hafalan-nya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.
Menurut muhadditsin hadits ahad itu yufiidud dhon (membuahkan dhon/dugaan), berbeda dengan hadits mutawattir yang yufiidul yaqiin (membuahkan keyakinan) sehingga hadits mutawattir pasti shohih, dan menolaknya adalah kekufuran yang nyata. Sebagian kelompok islam yang mengusung pemahaman aqlaniyy (pengagug akal) dan mu'taziliy, menolak hadits ahad dalam masalah aqo'id (keyakinan) karena sifatnya yang dhon itu. Menurut falasafah mereka aqidah itu harus memiliki 2 syarat, yaitu :
  1. Qoth'i ats-Tsubut (pasti periwayatannya)
  2. Qoth'i ad-Dilaalah (pasti penunjukannya)
Pemahaman ini diusung oleh Taqiyyudiin Nabhani dalam kitabnya Syakhisyah Islamiyyah jilid III, dan menjadi mabda' resmi Hizbut Tahrir. Beberapa ulama' yang mutaaham (tertuduh) aqlaniy juga menggunakan pendapat ini seperti Sayyid Qutb, Muhammad Al-Ghozaly, dan semisalnya Dengan falsafah ini, mereka menetapkan bahwa hadits ahad itu dhonni ats-Tsubut (meragukan peiwayatannya) sehingga laa yufiidul yaqin (tidak membuahkan keyakinan), jadi mana mungkin suatu hal yang tak membuahkan keyakinan akan berfaidah dalam menetapkan aqidah yang harus ditetapkan dengan keyakinan. Mereka juga menolak ayat-ayat shifat Allah di dalam al-Qur'an dikarenakan dhonni ad-Dilaalah (meragukan penunjukannya sehingga bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam).
Menurut ulama' ahlu sunnah, hadits ahad bisa dijadikan landasan hukum dan akidah. Hadits ahad pada awalnya adalah bersifat dhonn (tidak pasti), hal ini sebagaimana dalam QS Al-Hujuraat ayat 6 berfirman Allah Subhahanhu wa Ta'ala : "Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka tabayyunlah (periksalah dengan teliti)." Dari ayat ini Allah memerintahkan kepada mu'min untuk bertabayyun terhadap orang fasiq apabila menyampaikan berita, berarti mafhum mukhalafahnya (pemahaman berkebalikan dengan dhahir lafadh) apabila sang pembawa berita tersebut adalah 'adil maka hujjah akan tegak besertanya. Dari sini para ulama' mewajibkan untuk memeriksa khobar ahad dari segi riwayatnya, yakni memeriksa para perawinya, maka dari sini pula muncul ilmu riwaayatul hadiits, ilmu jarh wa ta'dil, ilmu riaalul hadits, dan lain sebagainya.
Dengan perangkat ilmu alat inilah para muhaddits mampu memilah mana hadits maqbul (hadits yang wajib diterima) dan hadits mardud (hadits yang harus ditolak). Maka, jika telah tsabat (tetap) suatu khobar itu shohih dengan ketsiqahan, kedhabitan dan ke'adilan perawinya, maka wajib diterima dan dibenarkan, serta haram untuk ditolak, demikian sebaliknya, jika telah nyata bahwa hadits tersebut adalah dhaif bahkan maudhu', bukan dari Rasulullah maka wajib ditolak. Dari sini jumhur muhadditsin menyatakan bahwa hadits ahad itu yufiidul 'ilmal yaqin (membuahkan ilmu yakin/pasti) dan karenanya bisa dijadikan landasan hukum, ibada dan aqidah.

B. MENGAMBIL DAN MENGAMALKAN HADITS AHAD.

Para Sahabat dan orang-orang sesudahnya yang terdiri dari para tabi'in dan generasi Salaf umat ini, baik yang mengatakan, bahwa hadits Ahad itu menunjukkan ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits Ahad menunjukkan zhann, mereka berijma' (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad, tidak ada yang berselisih dari mereka kecuali kelompok yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu'tazilah dan Rafidhah.[1]
Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata dalam kaitan ini: "Keharusan mengamalkan hadits Ahad itu adalah pendapat seluruh tabi'in dan para fuqaha sesudahnya di seluruh negeri hingga kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka yang menentangnya atau menyalahinya".[2]
Pengamalan hadits Ahad menurut kaum Salaf berlaku untuk seluruh perkara agama baik masalah 'aqidah maupun masalah lainnya. Akan tetapi ahli kalam dan para pelaku bid'ah menyelisihi mereka. Mereka mengatakan: "Hadits Ahad tidak boleh dipakai untuk masalah 'aqidah, karena landasan 'aqidah/keyakinan adalah bersifat qath'i (pasti), sedangkan hadits Ahad tidak bersifat qath'i, melainkan bersifat zhanni (tidak pasti), sehingga mereka (ahli kalam) menolak tidak sedikit dari hadits-hadits yang menetapkan sebagaian sifat-sifat Allah dan masalah 'aqidah lamnya".[3]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membedakan masalah 'aqidah dengan masalah lainnya. Setiap hadits shahih yang datang dari Nabi, mereka terima, mereka pakai dan mereka mengharamkan untuk menyalahinya.
Pengarang Syarh al-Kaukab al-Munir rahimahullah berkata: "Hadits-hadits Ahad dapat digunakan untuk masalah ushuluddin." Ibnu Abdi al-Barr rahimahullah meriwayatkan, ini adalah ijma' (kesepakatan) ulama.[4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hadits-hadits (Ahad) ini sekalipun tidak menunjukkan kepada yakin, namun la menunjukkan kepada zhann ghalib (dugaan kuat), boleh bagi kita untuk menetapkan Asma dan sifat-sifat Allah dengannya sebagaimana tidak ada larangan menggunakannya untuk menetapkan hukum-hukum yang sifatnya perintah atau larangan (thalab). Jadi, baik dalam masalah 'aqidah maupun dalam masalah hukum/fiqih boleh menggunakan hadits Ahad, tidak ada perbedaan untuk keduanya dalam hal menggunakannya. Jika ada yang membedakan, maka pembedaan itu adalah bathil berdasarkan ijma' (kesepakatan) umat, karena ulamanya umat ini (hingga kini) tetap berargumentasi dengan hadist-hadits seperti itu untuk masalah yang sifatnya berita ('aqidah) dan untuk masalah yang sifatnya thalab (perintah dan larangan).
Para Sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan ahli hadits senantiasa mengambil hadits-hadits Ahad sebagai dasar berargumentasi dalam masalah-masalah sifat, takdir, Asma Allah dan hukum. Tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan ada satu orang dari mereka yang membolehkan berargumentasi dan berhujjah dengan hadits-hadits Ahad untuk masalah hukum, tapi melarangnya untuk masalah masalah 'aqidah seperti tentang sifat dan Asma' Allah.[5]
Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan sebagai berikut: "Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak boleh kita menyimpang darinya adalah, bahwa hadits-hadits Ahad yang shahih, diamalkan untuk masalah-masalah ushuluddin sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu'. Maka, apa yang datang dari Rasul dengan isnad shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan, bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke Maha Sempurnaan dan ke Maha Agungan-Nya sebagai-mana firman-Nya: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Asy-Syuura: 11).
Imam asy-Syafi'i rahimahullah telah membela madzhab Salaf yang mengambil hadits Ahad untuk semua masalah agama termasuk di dalamnya masalah 'aqidah. Tidak ada keterangan yang menyebutkan, bahwa ia membedakan pemakaian hadits Ahad untuk masalah hukum dan melarangnya untuk masalah 'aqidah, bahkan telah diriwayatkan dari Imam asy-Syafi'i rahimahullah, bahwa ketika ia ditanya oleh Sa'id bin Asad tentang hadits Ru'yah, ia berkata: "Hai Ibnu Asad, hukumlah aku baik aku hidup atau mati, bahwa setiap hadits shahih yang datang dari Rasulullah aku berpendapat dengannya, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung".[6]
Dari ucapannya ini dapat disimpulkan, bahwa Imam asy-Syafi'i rahimahullah menerima hadits dan mengikutinya dengan syarat, hadits itu shahih dari Rasulullah. Penulis telah menyebutkan syarat-syarat diterimanya hadits secara lengkap pada pembahasan yang lalu. Ia tidak membedakan antara hadits Ahad yang ia namakan dengan Khabar Khashshah (riwayat orang-orang khusus) dengan hadits mutawatir yang disebutnya dengan Khabar 'Ammah (riwayat orang-orang umum). Keduanya menurutnya menunjukkan kepada ilmu (yang yakin) dan wajib untuk diamalkan dan diimani.
Ketika ada orang yang meminta kepada Imam asy-Syafi'i rahimahullah argumentasi tentang bisa digunakannya hadits Ahad, argumentasi itu berupa nash syar'i, makna yang menunjukkan kepadanya, atau ijma', maka Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan, di antaranya hadits Ibnu Mas'ud dengan sanadnya, bahwa Nabi bersabda: "Semoga Allah menganugerahi kebaikan kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku, lalu menghafalkannya dan memahaminya serta menyampaikannya (kepada yang lain). Tak sedikit si pembawa suatu ilmu bukan ahli ilmu, dan acapkali si pembawa ilmu menyampaikannya kepada yang lebih faham darinya. Tiga hal yang tidak dikhianati oleh hati seorang muslim, ikhlas beramal karena Allah dan menasehati orang muslim dan senantiasa bergabung dengan jama'ah (barisan) mereka, karena sesungguhnya seruan mereka meliputi (siapa di) belakang mereka".[7]
Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Maka ketika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendengar ucapannya, memeliharanya serta menyampaikannya kepada yang lain, sedangkan kata "al-Imru'u" itu seorang (tunggal) dengan demikian menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menyuruh untuk menyampaikan sesuatu darinya, kecuali apabila ia telah menjadi dasar tegaknya hujjah dan alasan terhadap orang yang menyampaikannya, karena yang disampaikan itu tidak lain adalah yang halal, yang haram, had (hukuman) yang dijalankan, harta yang diambil dan yang dikeluarkan, nasehat tentang din dan dunia."
Imam asy-Syafi'i rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya hadits Abu Rafi' (pelayan Nabi yang dimerdekakan), katanya: Nabi bersabda: "Aku tidak ingin menjumpai salah seorang di antara kamu bersandar di tempatnya, datang kepadanya suatu perintah atau larangan dariku, tapi ia berkata, aku tidak peduli itu, apa yang aku dapati dalam Kitabullah, aku akan mengikutmya".[8]
Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan, bahwa hadits Rasulullah harus diambil, sekalipun nash yang sesuai dengan kandungannya tidak di dapati dalam Kitabullah. Tetapi nash itu ada di tempat lain."
Dalil lain yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah adalah peristiwa perpindahan arah kiblat yang dilakukan oleh penduduk Quba' ke Ka'bah dengan hadits Ahad.
Dengan sanadnya yang sampai kepada 'Abdullah bin 'Umar, Imam asy-Syafi'i rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu 'Umar: "Ketika orang-orang di Quba' sedang shalat shubuh, datanglah seseorang, lalu ia berkata: 'Telah turun al-Qur'an kepada Rasulullah, beliau disuruh shalat menghadap Ka'bah.' Maka ketika mendengar berita itu, mereka langsung memutar badannya yang pada waktu itu sedang menghadap ke arah negeri Syam menjadi ke Ka'bah".[9]
Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Penduduk Quba' adalah orang-orang Anshar yang senantiasa bersegera kepada ketaatan dan orang-orang yang faham. Pada saat itu mereka sedang menghadap sebuah kiblat yang diwajibkan Allah kepada mereka. Tidak sepatutnya mereka meninggalkan kiblat yang diwajibkan Allah atas mereka, kecuali setelah tegaknya hujjah atas mereka.
Pada saat itu mereka belum menemui Rasulullah dan belum mendengar ayat yang diturunkan Allah dalam perubahan kiblat tersebut atau mendengar dari sejumlah orang, namun mereka berpindah (arah kiblat) dengan berita dari satu orang yang jujur yang membawa berita dari Nabi bahwa beliau telah mengadakan perubahan arah kiblat.
Mereka tidak melakukannya karena berita dari satu orang, melainkan karena mereka tahu dan yakin, bahwa berita dari seorang yang jujur seperti itu harus dipercaya dan diterima sebagai dalil atau hujjah. Mereka juga tidak membuat satu hal besar seperti ini dalam agama, melainkan atas dasar ilmu dan keyakinan bahwa mereka boleh membuat hal itu, mereka tidak tinggal diam akan tetapi mereka memberitahukan apa yang diperbuatnya (yaitu) berupa pindahnya arah kiblat kepada Rasulullah. Dan jika berita satu orang tentang perpindahan arah kiblat yang mereka terima itu hanya sekedar boleh diambil, tentu Rasulullah akan berkata kepada mereka: "Kamu sedang menghadap kiblat, jangan kamu pindah arah kecuali setelah mengetahui dan yakin mendengarnya dariku atau dari orang banyak atau lebih dari satu orang".[10]
Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan wajibnya mengamalkan atau mengambil hadits Ahad dan la menunjukkan kepada llmu yang yakin dan qath'i (pasti). Dia juga menyebutkan beberapa dalil yang membuktikan hal itu.
Berkata Imam asy-Syafi'i rahimahullah: "Rasulullah telah mengutus Abu Bakar sebagai pimpinan pada musim haji tahun ke-9 yang diikuti oleh jama'ah yang jumlahnya banyak dari berbagai negeri. Abu Bakar menjalankan haji bersama mereka dan memberitahukan kepada mereka apa yang dibawa oleh Rasulullah 31 tentang perintah dan larangan. Pada tahun itu, Rasulullah juga mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan kepada mereka pada hari Nahar, rangkaian ayat dan surat Bara'ah (surat at-Taubah) dan menyampaikan pernyataan bahwa, apabila orang-orang kafir melanggar perjanjian, maka mereka (umat Islam) pun melakukannya dan 'Ali ketika itu melarang beberapa hal.
Baik Abu Bakar maupun 'Ali dikenal oleh penduduk Makkah sebagai orang yang memiliki keutamaan jujur, takwa dan taat beragama, sedang jamaah haji yang tidak mengetahui tentang sifat keduanya diberitahukan oleh jamaah lain yang mengetahuinya.
Jadi, Rasulullah tidak mengutus orang saat itu kecuali hanya satu orang dan hanya hujjah itu berdiri tegak pada orang yang diutus, hanya dengan berita dari seorang utusan itu. Rasulullah pun telah mengirim para sahabat ke berbagai negeri yang nama dan tempat tugasnya masmg-masing dari mereka telah kita kenal.
Di antara orang yang ditugaskan adalah, Qais bin 'Ashim, az-Zibriqan bin Badr dan Ibnu Nuwairah. Mereka ditugasi untuk mendakwahi suku dan keluarga mereka masing-masing, karena telah diketahui kejujuran mereka.
Datanglah kepada mereka utusan Bahrain. Maka, mereka pun mengetahui orang yang ada dalam rombongan itu, kemudian diutuslah bersama kepada mereka Ibnu Said bin al-’Ash.
Rasulullah juga mengutus Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman agar bersama orang-orang yang taat kepada Rasul la memerangi orang yang membangkangnya dan mengajari penduduk Yaman tentang apa yang difardhu-kan kepada mereka serta mengambil zakat yang harus mereka keluarkan. Karena kedudukan dan kejujuran Mu'adz sudah terkenal dan kalangan mereka.
Dan setiap orang yang diberi tugas oleh Rasulullah diperintahkan untuk mengambil/memungut apa yang telah diwajibkan Allah atas mereka. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang saya ketahui ketika datang seorang jujur yang ditugasi oleh Rasulullahitu (untuk menyampaikan suatu berita atau perintah), ia berkata: 'Kamu itu satu orang. Jadi kami tidak mempercayaimu tentang apa yang tidak kami dengar langsung dari Rasulullah.[11]
Telah diketahui, bahwa misi utama yang dibawa oleh para utusan Rasulullah itu lalah Tauhid, sebagaimana secara tegas kita jumpai dalam hadits Mu'adz bin Jabal.
Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Rasulullah telah mengutus sejumlah pemimpin pasukan, yang masing-masing dari mereka ditugasi untuk berdakwah dan menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul. Mereka harus menyampaikannya kepada orang yang belum mendengar dakwah Islam dan memerangi orang yang halal dibunuh (orang-orang yang menghalangi jalan dakwah). Demikian pula setiap wali dan pemimpin pasukan yang diutusnya.
Beliau juga sempat mengutus dua orang utusan, tiga, empat orang atau lebih dan ltu. Dalam satu tahun, Rasul pernah mengutus 12 orang utusan kepada 12 orang raja untuk mengajak mereka kepada Islam.
Dan masih saja surat-surat Rasulullah yang dikirim kepada para gubernurnya yang berisi perintah dan larangan dilaksanakan. Tidak ada se-orang pun dari para gubernur itu yang tidak melaksanakannya. Dan beliau tidak mengutus seorang utusan melainkan seorang yang jujur dan dikenal di kaumnya.
Begitu pula dengan surat-surat para Khalifah sesudah beliau dan para Gubernur mereka. Sementara itu, telah menjadi kesepakatan kaum muslimin bahwa Khalifah yang mereka angkat pun hanya satu orang, Hakim juga satu orang, Panglima dan Imam pun demikian. Mereka mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Abu Bakar memilih 'Umar sebagai penggantinya, lalu 'Umar mengangkat Majlis Syura agar memilih salah seorang di antara mereka sebagai Khalifah, maka 'Abdurrahman bin 'Auf memilih 'Utsman bin 'Affan.
Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Ketika didapat pada surat keluarga 'Amr bin Hazm, ucapan Rasulullah yang berbunyi: "Pada setiap jari tangan (jika dipatahkan) wajib diganti dengan 10 ekor unta, maka orang-orang langsung mengambil hadits itu, padahal sebelumnya mereka menolaknya karena belum tahu bahwa ucapan itu adalah ucapan Rasulullah
Hadits tersebut menunjukkan kepada dua hal:
1. Diterimanya (berita) tersebut.
2. Hadits diterima manakala shahih, sekalipun para imam belum mengamalkan sebagaimana berita yang mereka terima.[12]
Peristiwa itu juga menunjukkan, bahwa sekiranya seorang imam mengamalkan sesuatu, lalu ia mendapatkan satu hadits dari Rasul yang bertentangan dengan apa yang dikerjakannya, maka ia harus meninggalkannya dan mengambil hadits itu. Peristiwa itu juga menunjukkan, bahwa hadits Rasulullah itu shahih dengan sendirmya bukan karena pengamalan orang terhadapnya.[13]
Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan contoh yang banyak dari al-Qur'an dan as-Sunnah atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad dilengkapi dengan menyebutkan ijma' Sahabat atas hal itu. Beliau berkata: "Seandainya seseorang boleh mengatakan dalam ilmu khusus (hadits Ahad), bahwa umat Islam dahulu maupun sekarang telah bersepakat atas diakuinya hadits Ahad sehingga tidak ada seorang ahh fiqih pun yang tidak mengakumya, maka aku akan mengatakannya".[14]
Yang jelas, Imam asy-Syafi'i rahimahullah mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik masalah 'aqidah maupun masalah lainnya, sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam contoh-contoh yang dikemukakannya.

C. HUKUM MENOLAK HADITS AHAD.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Menurut hemat saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits Ahad, kemudian ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi la juga menolak hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayat-nya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dan orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda, atau orang yang meriwayatkannya bukan hafizh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua makna hingga dita'wil dan salah satu maknanya diambil. Bila tidak karena alasan ini, maka apa yang diperbuatnya itu adalah satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.[15]
Syaikh al-Islam rahimahullah dalam karangannya yang berjudul "Rafu al-Malam min A'immati al-A'lam" telah menyebutkan 10 sebab mengapa ulama tidak mengambil/mengamalkan hadits Nabi, insya Allah jika terdapat salah satu sebab pada mereka, dapat dimaklumi. Di antara sebab itu adalah:
1.  Hadits itu tidak sampai kepadanya.
2.  Hadits itu sampai kepadanya tetapi menurutnya hadits itu tidak shahih karena lupa atau salah menilai, atau karena ia tidak menemukan makna yang dimaksudnya saat berfatwa, atau ia meyakini hadits itu tidak mengandung makna yang dimaksud.
3.  Meyakini, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan sesuatu yang menunjukkan kelemahannya atau menunjukkan, bahwa hadits itu telah mansukh (tidak berlaku/ dihapus), atau harus di ta'wil.[16]

Maka nyatalah, bahwa setiap keadaan punya hukum tersendiri. Orang yang menolak hadits karena sebab mi, maka ia bisa dimaklumi. Tetapi yang menolaknya tanpa alasan kecuali hanya fanatik saja, maka hal itu tidak di-perbolehkan.


[1].  Al-Ahkaam oleh al-Amidi (2/64), Irsyad al-Fukul (hal. 48-49).
[2].  Lihat al-Kifayah (hal. 72).
[3] . Lihat Syarh Ushul al-Khamsah (hal. 269 dan 672).
[4] . Syarh al-Kaukab al-Munir (2/352) dan Lawami al-Anwar al-Bahiyah (1/19).
[5] . Lihat Mukhtashar as-Shawa'iq (2/412).
[6] . Lihat Kitab Manaqib asy-Syafi'i (1/421).
[7] . Hadits mi diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (No. 2794), Ibnu Majah (1/85), Ahmad dalam musnadnya (4157), dengan tahqiq Ahmad Syakir. Hadits ini juga diriwayatkan dengan riwayat yang banyak hingga sampai ke tingkat mutawatir. Syaikh 'Abdul Muhsin al-Abbad dalam risalahnya: Dirasah Hadits nadhdbarallah Imra'an Sami'a Maqalati Riwayatan wa Dirayatan.
[8] . Hadis diriwayatkan Imam Ahmad (4/130-131), Ad Darimi (1/144), Abu Dawud (4/328), At tarimizi (2/111, ia menghasankan nya, Ibnu Majah (1/5) dan disahihkan oleh Syeikh Ahmad Syakir dalam Ar Risalah (91)
146 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam as-Shalat (1/157), Muslim dalam as-Shaleh (1/148), yang terdapat dalam al-Umm (1/81).
[9] . Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam as-Shalat (1/157), Muslim dalam as-Shaleh (1/148), yang terdapat dalam al-Umm (1/81).
[10] . Lihat Kitab ar-Risalah (hal. 401-408)
[11] . Ibid (hal. 414-417).
[12] . Lihat Ar-Risalah (hal. 417-423)
[13] . Ibid (hal. 424).
[14] . Ibid (hal. 457).
[15] . Ibid (hal. 459-460).
[16] . Majmu'al-Fatawa (20/232). Lihat Mukhtashar Sbawa'iq al-Mursalah (2/370) dan Lawami'
al-Anwar al-Bahiyyah (1/19-20).

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...