Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Keberadaan hadis yang begitu kompleks memaksakan kita untuk selektif dalam penggunaannya sebagai sumber atau dasar hukum. Hal inilah yang kemudian para ulama memilah dan memilih hadis dengan sangat hati-hati, karena ditakutkan apa yang disebut hadis Nabi saw. ternyata setelah ditelusuri Nabi tidak pernah mengeluarkannya. Dan ini bisa dijawab melalui penelusuran sanad atau yang sudah kita kenal dengan Ilmu Takhrij Al-Hadis. Lalu apa yang dimaksud dengan Tahqiq Al-Hadis? Adakah hubunganya dengan semua itu, atau paling tidak hubungan tahqiq dengan hadis.
Definisi
Ilmu Jarh wa Ta’dil hanya berkutat pada kajian tsiqat atau ketidak-tsiqat-an para rawi hadis, begitu juga dengan Ilmu Rijal Al-Hadis yang hanya membahas tentang kebersambungan atau ke-muttashil-an para perawi baik dari segi tempat, waktu wafat dan lahir, maupun dari hubunganya sebagai guru dan murid. Sementara Ilmu Tahqiq Al-Hadis—meskipun secara kajian atau penelusuran pustaka belum kami dapatkan—tapi berdasarkan informasi sima’i dari para dosen, bahwasanya Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah tidak jauh dengan Ilmu Takhrij Al-Hadis. Ini artinya bahwa Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah ilmu yang membahas apakah suatu hadis itu termasuk shahih atau dha’if dan bisa dijadikan dasar sebuah hukum.
Ilmu Tahqiq Al-Hadis merupakan penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal atau keseluruhan khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis. Dalam istilah lain, Ilmu Tahqiq Al-Hadis disebut juga Fiqh Al-Hadis.[1] Kompleksitas yang mengarungi seluruh problematika hadis dijawab dengan ilmu ini.
Contoh Penerapan
Sebagai gambaran umum mengenai proyeksi kerja Ilmu Tahqiq Al-Hadis, dibawah ini kami berikan contoh sebagai pengantar untuk memahami apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan Ilmu Tahqiq Al-Hadis.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ ﴿ رواه البخاري ﴾[2]
Telah berbicara kepada kami Ya’qub, berkata Ibrahim ibn Sa’d dari ayahnya dari Al Qasim ibn Muhammad dari Aisyah ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang mendatangkan hal baru dalam agama yang tidak termasuk dalam bagian darinya (tidak ada dasar hukumnya) maka tertolak”. ﴾HR. Bukhari﴿
Cara kerja Ilmu Tahqiq Al-Hadis dalam menganalisis hadis di atas adalah sama seperti dengan ilmu-ilmu hadis yang terkait. Namun dalam ilmu ini kita akan memperoleh gambaran yang lebih holistik dan secara menyeluruh serta komprehensif.
Hadis di atas terdapat pada:[3]
Hadis di atas terdapat pada:[3]
- Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Shulhi, Bab Iza Ishtholahu ‘ala Shulh Juur fa Al-Shulh Mardud, hadis nomor 2550.
- Shahih Muslim, Kitab Al-Aqdhiyah, Bab Naqhd Al-Ahkam Al-Bathilah wa Radd Muhaddatsat Al-Umur, hadis nomor 1718.
- Sunan Abu Daud, Kitab Al-Sunnah, Bab Fi Luzumi Al-Sunnah, hadis nomor 4606.
- Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Muqadimah, Bab Ta’dzim Hadits Rasulillah wa Al Taghlidz ‘ala Man ‘Aridhah, hadis nomor 14.
- Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 3311, 3975, 4298, 4840.
Berdasarkan penjajagan kami dalam meneliti sanad-sanad yang ada dalam hadis di atas, maka hadis di atas menurut para muhaditsin adalah shahih. Karena disamping mar’fu, juga ittishal. Dalam studi sanad, hadis tersebut tidak bermasalah. Akan tetapi jika dilakukan studi hadis atau analisis matan, maka kita akan banyak menemukan masalah. Ini dikarenakan muatan matan hadis tersebut datang dengan maknanya yang mujmal sehingga membutuhkan banyak referensi agar kita memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai makna ke-mujmal-anya itu.
Secara substansial kita bisa memahami bahwa muatan makna hadis di atas berkenaan dengan hukum. Yaitu hukum tertolaknya amal yang tanpa bersumber dari dua prasasti hukum islam yaitu al-sunah dan al-Qur’an. Berkenaan dengan ini, Imam Nawawi berkata,” Hadis ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran”. Senada dengan itu, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,” Hadis ini merupakan dasar islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global dari semua dalil.”[4]
Hadis ini merupakan dasar yang jelas bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syar’i adalah tertolak. Hadis ini juga menunjukan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan terikat dengan hukum syara. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari koridor syara’, seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syara’ bukan syara’ yang menghukumi perbuatan.
Hadis ini merupakan jawami’ al-kalim (singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al-Qur’an yang menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya hanya akan didapat dengan mengikuti petunjuk Rasulullah saw. tanpa menambah ataupun menguranginya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿ آل عمران 31 ﴾
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ﴾QS. Ali Imran: 31).
Juga dalam firman-Nya,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿ الأنعام 153 ﴾
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. ﴾QS. Al-An’am: 153﴿
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw. Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan semua yang dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan, “dan semua kesesatan masuk neraka.” [5]
Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’, maka perkara itu tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun, perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat, maka perkara tersebut baik dan dapat diterima. Karena itulah Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apa-apa yang sengaja dibuat dan tidak sesuai dengan al-Qur’an atau Sunnah, ijma’ atau atsar, maka perkara tersebut masuk dalam kategori bid’ah yang sesat. Dan apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak bertentangan dengan syara, maka masuk dalam kategori bid’ah yang baik.”[6]
Contoh bid’ah hasanah adalah seperti pengumpulan al-Qur’an di masa Abu Bakar, penyeragaman bacaan al-Qur’an di masa Utsman ibn ‘Affan. Contoh lain seperti penulisan ilmu nahwu, tafsir, ilmu hadis dan berbagai ilmu lainnya yang bersifat empiris dan sangat bermanfaat bagi manusia serta dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi. Dan yang termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat adalah seperti pengagungan suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan keyakinan bahwa benda yang ia agungkan bisa memberi manfaat, misalnya mengagungkan pohon, batu dan kuburan.
Hadis ini dapat digunakan sebagai hujjah untuk menolak segala hal yang baru dalam perkara tetapi sesat dan atau menyesatkan (bid’ah). Namun demikian, sebagian ahli bid’ah membantah hadis ini. Karenanya, perlu disebutkan hadis senada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ﴿رواه مسلم﴾[7]
Telah berkata kepada kami Ishaq ibn Ibrahim dan ‘Abd ibn Humaid, keduanya dari Abi ‘Amir, berkata ‘Abd, berkata ‘Abd Al-Malik ibn ‘Amr, berkata ‘Abdullah ibn Ja’far Al-Zuhri dari Sa’d ibn Ibrahim. Ia berkata, “Saya bertanya kepada Al Qasim ibn Muhammad tentang seorang laki-laki yang memiliki tiga buah tempat tinggal, kemudian ia berwasiat dengan sepertiga tempat tinggal.” Al-Qasim menjawab, “Semuanya dikumpulkan dalam satu tempat tinggal.” Kemudian ia berkata, “’Aisyah telah mengkhabarkan kepadaku sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasarkan perintah kami, maka ia ditolak.”” ﴾HR. Muslim﴿
Dalam tubuh suatu hadis terdapat dua kategori, yaitu kategori sanad dan kategori matan. Sanad sebagai pohon dan ranting suatu hadis, sementara matan adalah buah yang diproduksi atau dihasilkan oleh pohon tersebut. Dan Ilmu Tahqiq Al-Hadis adalah ilmu yang bisa memetik dan sekaligus memanfaatkan buah dengan cara memanjat atau menelusuri ranting-rantingnya hingga akhirnya bisa memetik buah itu dengan tangannya sendiri. Inilah analogi sederhana tentang tahqiq al-hadis yang ingin memetik sekaligus menikmati atau menggunakan buah (matan) suatu hadis, dengan melalui penelusuran secara menyeluruh melalui pohon atau ranting-ranting (sanad) nya. Seperti itulah apa yang dimaksud dengan ilmu ini, yaitu merupakan penjajagan ataupun penjelasan tahap akhir terhadap perincian pemahaman hadis secara universal atau keseluruhan khususnya yang terkait dengan substansi suatu hadis.
Wa Allah A’lam bi Al-Shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Utsman, Fatimah, Dra. Hj. M.Si. dan Hasan, A., Asy’ari Ulama’i, M.Ag, Ratu-Ratu Hadis. Semarang: ITTAQA Press, 2000.
Abdillah, Abu, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mughirah Al Ja’fari ibn Bardazabah Al Ja’fi Al Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz 2. Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth.
Wensick,A. W., Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits Al-Nabawi Juz 1. Leiden: Maktabah Barel, 1936.
Musthafa, Dieb, Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Dr., Menyelami Makna 40 Hadis Rasulullah saw. (Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah) (terj.), Al-I’tishom Cahaya Umat, tth.
Salim, Syekh, Alwan Al Hasani dan Fawwaz, Syekh, ‘Abboud, Bid’ah, makalah yang dipresentasikan dalam acara Daurah Ilmiyah “Bedah Wacana Teologi Sunni” di Aula Serbaguna Jurusan Ilmu Agama Islam, FIS Universitas Negeri Jakarta tanggal 15 – 16 April 2004, kerjasama Pusat Kajian SYAHAMAH dengan IAI, FIS-UNJ Jakarta.
Husain, Abu, ibn Hajjaj ibn Muslim Al-Qusairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1. Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth.
Lampiran Redaksi Hadis
﴿ البخاري ( كتاب الصلح باب إذا اصطلحوا على صلح جور فالصلح مردود ) ﴾
2550- حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
﴿ مسلم ( كتاب الأقضية باب نقض الأحكام الباطلة ورد محدثات الأمور ) ﴾
1718- حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
1719- و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
﴿ أبو داود ( كتاب السنة في لزوم السنة ) ﴾
4606- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
﴿ ابن ماجه ( كتاب المقدمة باب تعظيم حديث رسول الله والتغليظ على من عارضه ) ﴾
14- حَدَّثَنَا أَبُو مَرْوَانَ مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعُثْمَانِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
﴿ احمد بن حنبل ﴾
3311- حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ مِنْ آلِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا مِنْ غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ مَرْدُودٌ
3975- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى فِي مَسَاكِنَ لَهُ بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ لِإِنْسَانٍ فَسَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ فَقَالَ اجْمَعْ ثَلَاثَةً فِي مَكَانِ وَاحِدٍ فَإِنِّي سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَأَمْرُهُ رَدٌّ
4298- حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ سَمِعَ الْقَاسِمَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
4840- حَدَّثَنَا يَزِيدُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
------------
[1] Dra. Hj. Fatimah Utsman, M.Si. dan A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag, Ratu-Ratu Hadis (Semarang: ITTAQA Press, 2000), hal. 15.
[2] Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mughirah Al Ja’fari ibn Bardazabah Al Ja’fi Al Bukhari, Shahih Al-Bukhari Juz 2 (Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth), no. 2550.
[3] A. W. Wensick, Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits Al-Nabawi Juz 1 (Leiden: Maktabah Barel, 1936), hal. 102.
[4] Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Menyelami Makna 40 Hadis Rasulullah saw. (Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah) (terj.), (Al-I’tishom Cahaya Umat, tth.), hal. 26.
[5] Dr. Musthafa, Menyelami Makna 40 Hadis Rasulullah, hal. 27.
[6] Syekh Salim Alwan Al Hasani dan Syekh Fawwaz ‘Abboud, Bid’ah, makalah yang dipresentasikan da-lam acara Daurah Ilmiyah “Bedah Wacana Teologi Sunni” di Aula Serbaguna Jurusan Ilmu Agama Islam, FIS Universitas Negeri Jakarta tanggal 15 – 16 April 2004, kerjasama Pusat Kajian SYAHAMAH dengan IAI, FIS-UNJ Jakarta.
[7] Abu Husain ibn Hajjaj ibn Muslim Al-Qusairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1 (Surabaya: Makatabah Al-Syekh Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan, tth), no. 1719.
No comments:
Post a Comment