Memahami
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara
komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek
historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan
mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1
Pada
saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu
terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala
mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di
seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau
para murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang
mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang
lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam
memperkuat jaringan ini.2
Jauh
sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah)
yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah
“penegasan formal dari mekanisme informal
para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas
dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi
jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika
itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3
Masuknya
paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam
Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan Suaez
(1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan
dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul
Wahab yang kemudian dikenal sebagai
Gerakan atau Paham Wahabiyah,
maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan
oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji
Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika
kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan
ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam.4
Tidak
semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok
ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam
secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Tradisi ini bisa saja diselaraskan
dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok
tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas.
Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan
munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai
berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para
ulama pesantren.