Donor mata (at-tabarru’ bi al-‘ain, eye donation) adalah pemberian kornea mata kepada orang yang membutuhkannya (resipien). Kornea mata tersebut umumnya diambil dari mayat lalu ditransplantasikan (dicangkokkan) kepada resipien. Pengangkatan kornea mata mayat harus dilaksanakan kurang dari 6 jam sejak donor dinyatakan meninggal, dan dalam waktu 24 jam sudah harus dicangkokkan ke resipien. Meski umumnya diambil dari mayat, dimungkinkan pula kornea mata diambil dari donor yang masih hidup. (Yusuf bin Abdullah al-Ahmad, Ahkam Naql A’dha` al-Insan fi a-Fiqh al-Islami, Riyadh : 1425 H).Hukum syar’i yang rajih (kuat) dalam masalah ini menurut kami sebagai berikut: jika donor mata berasal pendonor hidup hukumnya mubah. Jika dari mayat hukumnya haram.Bolehnya donor mata dari orang hidup karena ada dalil syar’i yang menetapkan hak milik organ tubuh dan tiadanya risiko kematian donor mata. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan boleh secara syar’i seseorang yang masih hidup mendonorkan satu atau lebih organ tubuhnya kepada orang lain secara sukarela karena adanya hak milik orang itu atas organ tubuhnya dengan syarat tidak mengakibatkan kematian pendonor. (Abdul Qadim Zallum, Hukm al-Syar’i fi al-Istinsakh, hal. 9).Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum kalau seseorang matanya tercongkel akibat perbuatan orang lain, dia berhak mengambil diyat (tebusan) atau memaafkan orang itu. Jika memaafkan, berarti dia menyumbangkan diyat, yang artinya dia mempunyai hak milik atas diyat. Adanya hak milik atas diyat, artinya ada hak milik atas organ tubuh yang disumbangkan dalam bentuk diyat.Ringkasnya, bolehnya memaaafkan artinya adalah penetapan hak milik organ tubuh. Dalam hal ini telah terdapat nash-nash yang membolehkan memberikan maaf dalam qishash (QS Al-Baqarah : 178) dan berbagai diyat. Sabda Nabi SAW,”Barangsapa tertimpa musibah pembunuhan atau penganiayaan fisik, dia berhak memilih salah satu dari tiga pilihan; menuntut qishash, mengambil diyat, atau memaafkan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1405).Adapun jika donor mata berasal dari mayat, hukumnya haram. Alasannya ada dua: pertama, ketika seseorang meninggal, hilanglah hak miliknya atas apa pun, baik hartanya, tubuhnya, atau istrinya. Buktinya, hartanya wajib diwariskan, tubuhnya wajib dikuburkan, dan istrinya wajib menjalani masa iddah.
Maka orang yang meninggal tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya, misalnya mendonorkan atau berwasiat kepada ahli warisnya mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat ini tidak sah, karena merupakan wasiat atas sesuatu yang tidak lagi dimiliki. Kaidah fiqih menyatakan: Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf, tidak berhak pula memberikan izin melakukan tasharruf). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081; Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).Kedua, mayat mempunyai kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu tidak boleh dianiaya misalnya dicincang, dicongkel matanya, dipenggal kehernya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mukmin yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (HR Ahmad, Malik, dan Ad-Daruquthni). Wallahu a’lam.
Maka orang yang meninggal tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya, misalnya mendonorkan atau berwasiat kepada ahli warisnya mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat ini tidak sah, karena merupakan wasiat atas sesuatu yang tidak lagi dimiliki. Kaidah fiqih menyatakan: Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf, tidak berhak pula memberikan izin melakukan tasharruf). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081; Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).Kedua, mayat mempunyai kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu tidak boleh dianiaya misalnya dicincang, dicongkel matanya, dipenggal kehernya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mukmin yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (HR Ahmad, Malik, dan Ad-Daruquthni). Wallahu a’lam.
------------
Sumber : blog.sivitas.lipi.go.id
No comments:
Post a Comment