Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai “pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al-Isra’: 9). Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara individu maupun kelompok. Rasulullah saw. sebagai penerima Al-Qur’an bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkannya kepada manusia (QS. Al-Jum’ah: 2). Menurut Quraish Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain membekali anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.[1] Pendidikan dan pengajaran tersebut mempunyai tujuan pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia (QS. Adz-Dzariyat: 56). Atas dasar ini, lebih lanjut ia menjelaskan, dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan Al-Qur’an adalah membina manusia secara individu dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.[2]
Dalam hal penyampaian materi pendidikannya, Al-Qur’an membuktikan kebenaran materi tersebut melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia melalui penalaran akalnya. Hal ini ditemui pada setiap permasalahan akidah atau kepercayaan, hukum, sejarah, dan sebagainya.[3]
Salah satu metode yang digunakan Al-Qur’an adalah dengan menggunakan “kisah”. Kisah yang dalam bahasa Arab berasal dari kata قِصَّة dan mempunyai bentuk jamak قَصَص merupakan pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah tersebut dengan cara yang menarik dan mempesona.[4]
Dalam kisah-kisah Qur’ani terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan berupa peri hidup para nabi, berita-berita tentang umat terdahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal-ihwal bangsa-bangsa.[5] Salah satu diantaranya adalah kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang dijelaskan dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82.
Kisah Musa dan Khidir tersebut telah banyak disoroti oleh para sarjana Muslim. Seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, penulis Fath al-Bari (kitab syarh hadis Shahih al-Bukhari), dalam bukunya Al-Dzahr al-Nadhir fi Naba’i al-Khidhir dan Hilmi ‘Ali Sya’ban dengan bukunya Musa ‘Alaihi al-Salam dimana pembahasannya masih seputar biografi dan otobiografi yang bersumber pada hadis-hadis Nabi saw. dan qaul para ulama. Namun, dewasa ini para pemikir Muslim lebih moderat dan menelisik lebih dalam ketika menjelaskan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir itu. Mereka sudah mulai mencari pesan sesungguhnya yang terkandung dalam kisah kedua nabi tersebut, meskipun umumnya mereka hanya berbicara tentang proses pendidikan dan pengajaran antara pemberi dan penerima ilmu pengetahuan. Sejauh upaya eksplorasi yang penulis lakukan, belum ditemukan secara khusus suatu karya ilmiah yang mencoba mengungkap sisi manajemen dalam kisah tersebut, khususnya dalam hal mutu pendidikan. Sekalipun ada, hanya berupa penjelasan singkat dalam suatu karya yang terkadang hanya hasil dugaan sementara tanpa ada unsur ilmiah di dalamnya.
Berkaitan dengan manajemen pendidikan, untuk saat ini merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Arah manajemen pendidikan adalah usaha mewujudkan peserta didik menjadi lulusan yang mempunyai kualitas, cerdas, inovatif, akhlak/moral yang mulia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tujuan tersebut tentunya akan dapat dicapai dengan pelaksanaan sistem manajemen yang baik dan berkualitas pada lembaga-lembaga pendidikan. Dalam kondisi krisis moral bangsa saat ini, lembaga-lembaga pendidikan berperan membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral sekaligus menjadi pelopor dan inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan.
Penerapan manajemen pendidikan yang bermutu menjadi syarat mutlak untuk keberhasilan guru, siswa, lembaga pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Kendatipun teori-teori dan praktek-praktek manajemen mutu sudah banyak dilakukan, tetapi baru terbatas pada perusahaan-perusahaan. Kalaupun lembaga-lembaga pendidikan sudah menerapkannya, maka manajemen mutu tersebut berdasar pada teori-teori yang dikembangkan di Barat. Oleh karena itulah, perlu dilakukan suatu upaya dan usaha untuk menggali nilai-nilai manajemen mutu pendidikan yang berbasis pada ajaran Islam di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
No comments:
Post a Comment