06 October 2010

Menguji Keshahihan Suatu Hadis

| More

Dalam  menilai  kualitas  hadis-hadis tersebut, selain  hadis  atau  riwayat  yang  telah disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim diperlukan standar uji kesahihan yang mengacu pada kaidah kesahihan sanad hadis, di samping kualitas matan hadis. Kaidah kesahihan ini merupakan derivasi dari definisi hadis sahih sebagai berikut:

الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْمُسْنَدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْناَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلىَ مُـنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًّا وَلاَ مُعَلَّلاً [1]

Hadis sahih adalah musnad yang bersambung sanadnya melalui penukilan periwayat yang  adil  dan  dhabith  dari  periwayat  yang  adil  dan  dhabith  pula  hingga  akhir ( sanad) nya, tidak menyimpang dan tidak bercacat.

Atau definisi hadis sahih secara singkat yakni:
مَا رَوَاهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرَ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ [2]
Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, dhabith, bersambung sanadnya, tidak bercacat dan tidak menyimpang.

Dari definisi di atas, dapat diketahui  bahwa kriteria atau syarat hadis sahih  adalah sebagai berikut:
1.        Sanad bersambung (muttashil al-sanad) dari awal sampai akhir yakni marfû’ sampai nabi saw. Dengan demikian, hadis yang maqthu, mursal, mudhal, dan sejenisnya, tidak masuk dalam kriteria hadis muttashil dan marfû’.
2.        Seluruh  periwayat  bersifaadl.  Adl  dalam  pengertian  ilmu  hadis  tidak  sekedar ditinjau  dari  aspeakhlak  atau  kepribadiayang baik,  seperti :  jujuradil,  ahli ibadah, wara (berhati-hati) dan tidak fasiq, tetapi juga meliputi aspek yang sangat mendasar, seperti beragama Islam (muslim), dewasa (bâligh) dan berakal (âqil). Sebagian ulama menyamakan sifat adil dengan taqwa.
3.        Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhâbith, yakni memiliki kualitas hapalan yang  sempurna.  Dhâbth  yang sempurna  berarti  dia  hapal  hadisnya  dengan  baik dalam  arti  bisa menyampaikan  hadis  yang  diterimanya  kapanpun  dia menghendakinya, atau minimal sampai dia menyampaikan hadis itu kepada yang lain.
4.        Sanad hadis terhindar dari Syudzûdz, yakni menyimpang atau bertentangan dengan hadis  lebih  sahih  yang  diriwayatkan  oleh  periwayat  yang  lebih  tsiqah (terpercaya karena keadilan dan kedhabitannya).
5.        Sanad hadis itu terhindar dari illat yang menggugurkan baik pada sanad maupun matan.[3]
Syarat kritikus hadis sebenarnya sama persis dengan syarat ke-tsiqah-an atau kredibilitas seorang periwayat hadis. Untuk menjaga obyektifitas dan kejujuran, para kritikus disyaratkan harus memiliki integritas akhlaq yang baik (adl) sehingga ia tidak boleh terlalu fanatik (taashshub) terhadap golongan atau mazhabnya dan memiliki sikap permusuhan dengan periwayat yang dinilainya. Sikap seperti ini dapat merusak kredibilitas dan citra seorang kritikus hadis.
Di samping syarat-syarat ke-tsiqah-an lainnyayang perlu ditekankan di  sini adalah dari segi pengetahuan, ia harus mengetahui persis (alim dan arif) tentang siapa yang dinilainya sehingga dituntut untuk menjelaskan letak kecacatan periwayat yang dinilainya (  لاَ يُقْـبَلُ الْجَرْحُ إِلاَّ مُفَـسَّراً :kritik ketercelaan tidak bisa diterima kecuali dijelaskan secara rinci).[4] Penilaian kecacatan tanpa dijelaskan bukti kecacatannya—apalagi terhadap periwayat yang sudah dikenal keadilannya—tidak bisa diterima kritikannya karena tidak memenuhi syarat mufassar. Ibn Abd al-Barr (w. 463 H), seperti yang dikutip oleh Taj al-Din al-Subki, menegaskan:
إِنَّ مَنْ ثَـبَتَتْ عَدَالَتُهُ وَمَعْرِفَتُهُ لاَ يُقْبَلُ قَوْلَ جَارِحِهِ إِلاَّ بِبُرْهَانٍ [5]
Sesungguhnya periwayat yang telah pasti keadilannya dan dikenal keadilannya, tidak diterima kritikan terhadapnya kecuali disertai dengan bukti.

Dengan demikian bila terjadi pertentangan antara penilaian cacat dengan penilaian adil seorang periwayat maka peneliti memilih kaidah:
الْجَرْحُ الْمُفَسَّرُ مُقَدَّمٌ عَلىَ التَّعْدِيْلِ [6]
Kritik   ketercelaan   yang   dijelaskan   secar rinc didahulukan   atas   penilaian keadilan.

Akan tetapi bila terjadi pen-jarh-an tidak disertai dengan bukti  yang menyakinkan, apalagi tidak ada satupun kritikus yang kredibel yang keberatan dengan pen-jarh-an tersebut, maka peneliti akan bersikap hati-hati dan mendahulukan tadîl dari pada jarh.
Sementara itu, penjelasan rinci terhadap keterpujian seorang periwayat  tidak dianggap penting. Hal ini karena arti adil, menurut Ibn Hibbân (w. 354 H), adalah orang  yang  tidak  dikenal  cacatnya.  Selama  tidak  ada  yang  mencacatkannya  maka  dia tergolong orang yang adil, kecuali tentunya bila ada penjelasan rinci mengenai kecacatannya.[7]



[1] Ibn al-Shâlah, ‘ Ulûm al-Hadîts. (Madinah al-Munawarah al-Ilmiyyah, 1972),  h. 10.
[2] Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-Asqallâni, Nuhbat al-Fikar, (Bayrut : Dâr el-Kutub al-Ilmiyyah, 1352),  h. 51.
[3] Al-Khathîb, Usl al-Hadîts, h. 305; sebagian ulama mengembangkan cakupan definisi tidak syâdz yaitu matan hadis tidak bertentangan dengan ayat al-quran, akal sehat, kepastian sejarah dan ilmu pengetahuan. Lihat Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta, Bulan Bintang, 1998), h. 11-135; Mushthâfa al-Sibâi, Al-Sunnah wa Makânatuhu fî Tasyrî’ al-Islâmi, (Ttp, Dâr el-Qawmiyah, 1996), h. 206-207.
[4] Tâj al-Dîn al-Subki, Qâ’idah al-Jarh wa al-Ta’dîl, tahqîq : Abu Ghuddah, (Qâhirah : Dâr el-Wâiy, 1398/1978), h. 22; Abd al-Adzîm bin Abd al-Qawiy al-Mundziri, Risâlah al-Jarh wa al- Ta’dîl, (Kuwayt ; Maktabah Dâr el-Aqshâ, 1406), juz I, h. 40.
[5] Tâj al-Dîn al-Subki, Qâ’idah al-Jarh wa al-Tadîl, h. 22; Lihat juga Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqallâni, Fath al-Bâri, tahqîq : Muhammad Fuâd Abd al-Bâqi, (Beyrut : Dâr el-Marifah, 1379), juz I, h. 189.
[6] M.Syuhudi Ismail, Metodologi penilaian Hadis Nabi, ( Jakarta, Bulan Bintang, 1992), h. 78
[7] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallâni, Lisân al-zân, (Beyrut ; Muassasat al-Alami li al- Mathât, 1986/1406), juz I, h. 14. Studi Al-Hadis.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...