Dalam menilai kualitas hadis-hadis tersebut, selain hadis atau riwayat yang telah disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim diperlukan standar uji kesahihan yang mengacu pada kaidah kesahihan sanad hadis, di samping kualitas matan hadis. Kaidah kesahihan ini merupakan derivasi dari definisi hadis sahih sebagai berikut:
الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْمُسْنَدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْناَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلىَ مُـنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًّا وَلاَ مُعَلَّلاً [1]
Hadis sahih adalah musnad yang bersambung sanadnya melalui penukilan periwayat yang adil dan dhabith dari periwayat yang adil dan dhabith pula hingga akhir ( sanad) nya, tidak menyimpang dan tidak bercacat.
Atau definisi hadis sahih secara singkat yakni:
مَا رَوَاهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرَ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ [2]
Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, dhabith, bersambung sanadnya, tidak bercacat dan tidak menyimpang.
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa kriteria atau syarat hadis sahih adalah sebagai berikut:
1. Sanad bersambung (muttashil al-sanad) dari awal sampai akhir yakni marfû’ sampai nabi saw. Dengan demikian, hadis yang maqthu’, mursal, mu’dhal, dan sejenisnya, tidak masuk dalam kriteria hadis muttashil dan marfû’.
2. Seluruh periwayat bersifat ‘adl. ‘Adl dalam pengertian ilmu hadis tidak sekedar ditinjau dari aspek akhlak atau kepribadian yang baik, seperti : jujur, adil, ahli ibadah, wara’ (berhati-hati) dan tidak fasiq, tetapi juga meliputi aspek yang sangat mendasar, seperti beragama Islam (muslim), dewasa (bâligh) dan berakal (‘âqil). Sebagian ulama menyamakan sifat adil dengan taqwa.
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhâbith, yakni memiliki kualitas hapalan yang sempurna. Dhâbth yang sempurna berarti dia hapal hadisnya dengan baik dalam arti bisa menyampaikan hadis yang diterimanya kapanpun dia menghendakinya, atau minimal sampai dia menyampaikan hadis itu kepada yang lain.
4. Sanad hadis terhindar dari Syudzûdz, yakni menyimpang atau bertentangan dengan hadis lebih sahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih tsiqah (terpercaya karena keadilan dan kedhabitannya).
Syarat kritikus hadis sebenarnya sama persis dengan syarat ke-tsiqah-an atau kredibilitas seorang periwayat hadis. Untuk menjaga obyektifitas dan kejujuran, para kritikus disyaratkan harus memiliki integritas akhlaq yang baik (‘adl) sehingga ia tidak boleh terlalu fanatik (ta‘ashshub) terhadap golongan atau mazhabnya dan memiliki sikap permusuhan dengan periwayat yang dinilainya. Sikap seperti ini dapat merusak kredibilitas dan citra seorang kritikus hadis.
Di samping syarat-syarat ke-tsiqah-an lainnya, yang perlu ditekankan di sini adalah dari segi pengetahuan, ia harus mengetahui persis (‘alim dan ‘arif) tentang siapa yang dinilainya sehingga dituntut untuk menjelaskan letak kecacatan periwayat yang dinilainya ( لاَ يُقْـبَلُ الْجَرْحُ إِلاَّ مُفَـسَّراً :kritik ketercelaan tidak bisa diterima kecuali dijelaskan secara rinci).[4] Penilaian kecacatan tanpa dijelaskan bukti kecacatannya—apalagi terhadap periwayat yang sudah dikenal keadilannya—tidak bisa diterima kritikannya karena tidak memenuhi syarat mufassar. Ibn ‘Abd al-Barr (w. 463 H), seperti yang dikutip oleh Taj al-Din al-Subki, menegaskan:
إِنَّ مَنْ ثَـبَتَتْ عَدَالَتُهُ وَمَعْرِفَتُهُ لاَ يُقْبَلُ قَوْلَ جَارِحِهِ إِلاَّ بِبُرْهَانٍ [5]
Sesungguhnya periwayat yang telah pasti keadilannya dan dikenal keadilannya, tidak diterima kritikan terhadapnya kecuali disertai dengan bukti.
Dengan demikian bila terjadi pertentangan antara penilaian cacat dengan penilaian adil seorang periwayat maka peneliti memilih kaidah:
الْجَرْحُ الْمُفَسَّرُ مُقَدَّمٌ عَلىَ التَّعْدِيْلِ [6]
Kritik ketercelaan yang dijelaskan secara rinci didahulukan atas penilaian keadilan.
Akan tetapi bila terjadi pen-jarh-an tidak disertai dengan bukti yang menyakinkan, apalagi tidak ada satupun kritikus yang kredibel yang keberatan dengan pen-jarh-an tersebut, maka peneliti akan bersikap hati-hati dan mendahulukan ta’dîl dari pada jarh.
Sementara itu, penjelasan rinci terhadap keterpujian seorang periwayat tidak dianggap penting. Hal ini karena arti ‘adil, menurut Ibn Hibbân (w. 354 H), adalah orang yang tidak dikenal cacatnya. Selama tidak ada yang mencacatkannya maka dia tergolong orang yang ‘adil, kecuali tentunya bila ada penjelasan rinci mengenai kecacatannya.[7]
[2] Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-‘Asqallâni, Nuhbat al-Fikar, (Bayrut : Dâr el-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1352), h. 51.
[3] Al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, h. 305; sebagian ulama mengembangkan cakupan definisi tidak syâdz yaitu matan hadis tidak bertentangan dengan ayat al-quran, akal sehat, kepastian sejarah dan ilmu pengetahuan. Lihat Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta, Bulan Bintang, 1998), h. 11-135; Mushthâfa al-Sibâ’i, Al-Sunnah wa Makânatuhu fî Tasyrî’ al-Islâmi, (Ttp, Dâr el-Qawmiyah, 1996), h. 206-207.
[4] Tâj al-Dîn al-Subki, Qâ’idah fî al-Jarh wa al-Ta’dîl, tahqîq : Abu Ghuddah, (Qâhirah : Dâr el-Wâ’iy, 1398/1978), h. 22; ‘Abd al-‘Adzîm bin ‘Abd al-Qawiy al-Mundziri, Risâlah fî al-Jarh wa al- Ta’dîl, (Kuwayt ; Maktabah Dâr el-Aqshâ, 1406), juz I, h. 40.
[5] Tâj al-Dîn al-Subki, Qâ’idah fî al-Jarh wa al-Ta’dîl, h. 22; Lihat juga Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqallâni, Fath al-Bâri, tahqîq : Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqi, (Beyrut : Dâr el-Ma’rifah, 1379), juz I, h. 189.
[7] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqallâni, Lisân al-Mîzân, (Beyrut ; Mu’assasat al-A’lami li al- Mathbû’ât, 1986/1406), juz I, h. 14. Studi Al-Hadis.
No comments:
Post a Comment