02 February 2011

Mengenal Beberapa Tokoh Sufi (3)

| More
1.      Al-Ghazali
a.      Riwayat Hidup
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H bersamaan dengan tahun 1058 M di Thus, Khurasan (Iran). Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H bersamaan dengan tahun 1111 M di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Hujjatul Islam ; Sang Pembela Islam

Pada tahun 1091, beliau pernah menjadi Guru Besar Hukum kepada Nizam Al-Mulk (1018-1092), kemudian Perdana Menteri Sultan Maliksyah, dan kerajaan Saljuk di Madrasah Nizamiyah, Baghdad. Beliau mengajar di sana selama 4 tahun. Dalam waktu tersebut, beliau telah berjaya menghasilkan 2 karya yang amat berharga yaitu Maqasid Al-Falasifah (Maksud Ahli Falsafah) dan Tahafut Al Falasifah (Kekeliruan Ahli Falsafah).
Dua karyanya itu telah membawa satu gelombang besar dalam dunia aliran falsafah dan ilmu kalam. Al-Ghazali telah memberi tamparan yang hebat kepada ilmu logika yang mencoba mengalahkan Kalam Allah.
Di dalam tasawufnya, al-Ghazali lebih memilih tasawuf sunni berdasarkan al-Quran dan Hadis ditambah dengan doktrin Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Perjalanan intelektual dan spiritual dalam menemukan kedamaian batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam autobiografinya yang berjudul al-Munqiz min al-Dhalal (pembebas daripada kesesatan).
Al-Ghazali telah mengkritik ahli falsafah dan akhirnya beliau memilih jalan tasawuf sebagai jalan menuju Allah. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah beliau sendiri telah menyanggah pandangan ahli falsafah yang membawa kepada kekufuran yakni hujah alam ini qadim, tuhan tidak mengetahui bagian kecil alam ini, dan ketiadaan kebangkitan jasmani pada hari Qiamat. Al-Ghazali merobek seluruh pemahaman yang keliru itu.
Al-Ghazali berkata, “Pada akhirnya saya sampai kepada kebenaran, bukan menerusi jalan akal budi serta pengumpulan bukti, melainkan menerusi cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam jiwaku.” [1]
Berbahagialah al-Ghazali karena telah mendamaikan antara syariat dan tasawuf dengan menzahirkan ilmu tasawuf pada jiwa umat Islam.
b.      Pokok Pemikiran Tasawuf al-Ghazali
Tasawuf Al-Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori-teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.

Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya al-Ulum al-din, al-Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi ke dalam 10 pasal yaitu :
·         Bab pertama : tentang ibadah (rubu’ al - ibadah)
·         Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu’ al - adat)
·         Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al - muhlikat)
·         Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al - munjiyat)
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.[2]
c.       Karya-karya  al -Ghazali
Adapun diantara karya-karya al-Ghazali dalam bidang tasawuf adalah sebagai berikut:
1.      Mizan al-‘Amal
2.      Al-Ma’arif al-Aqliah wa Lubab al-Hikmah al–Ilahiyah
3.      Ihya al-Ulum al-din
4.      Al-Maqshad al-Astna fi Syarh Asma al–Husna
5.      Bidayat al–Hidayah
6.      Al-Madhnun Bih ‘ala Ghairi Ahlil
7.      Kaimiya al-Sa’adah
8.      Misykat al–Anwar
9.      Al-Kasyf Wa al-Tabyin Fi Ghurur al-Naas Ajma’in
10.  Al-Munqidz Min al–Dhalal
11.  Al-Durrat al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al–Akhirah
12.  Minhaj al-‘Abidin Ila Jannati Rabbi al-‘Alamin
13.  Al-Arba’in fi Ushul al-Din

2.      Ibnu Arabi
a.      Riwayat Hidup Ibnu Arabi
Ibnu Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syaikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Ibnu Arabi dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Al-Andalus Timur (kini Spanyol).
Meski Ibnu Arabi belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran al-Quran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.
b.      Karya-karya Ibnu Arabi
Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Arabi mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Bahkan ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhat al-Makkiyah (8 jilid), serta Futuhat al-Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushush al-Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.
c.       Pemikiran Sufi Ibnu Arabi
Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan haqiqat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun.
Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.[3]
Kontroversial Ibnu Arabi
Tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu Arabi, terutama kaum fuqaha' dan ahli hadis, sangat kontroversial. Sebut saja,  teorinya tentang wahdatul wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah karena dalam karya-karyanya itu Ibnu Arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik metaforis khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggapnya telah kufur, misalnya Ibnu Taimiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebagai kafir.
Abdurrauf Singkel dalam karyanya Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyiy menyebutkan bahwa Ibnu Arabi beranggapan bahwa, pada hakikatnya entitas kita adalah bayangan Tuhan, tidak lebih dari itu.[4]
كنا حروفا عاليات لم نقل متعلقات فى ذرى اعلى القلل انا انت فيه ونحن انت وانت هو والكل فى هو هو فاسئل عمن وصل.
Dulu, kami adalah huruf-huruf mulia yang tak terucapkan, tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia, dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia, dan semuanya adalah Dia dalam Dia, tanyalah mereka yang telah smpai. (Tanbih al-Masyi)[5]
Ungkapan Ibnu Arabi di atas merupakan ungkapan pantheistis yang menegaskan adanya kesatuan wujud pada segala realitas, baik realitas Tuhan maupun realitas alam.
Di Indonesia, ketersesatan memahami Ibnu Arabi juga terjadi khususnya di Jawa, ketika aliran kebatinan Jawa Singkretik dengan tasawuf Ibnu Arabi. Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujudnya Ibnu Arabi.
Bahkan di pulau padat penduduk ini, sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan. Karena itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu Arabi, harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif.

3.      Suhrawardi al-Maqtul
a.      Riwayat Hidup Suhrawardi al-Maqtul
Syihabuddin as-Suhrawardi dilahirkan di Suhraward, Iran, tahun 549 H/1155 M dan wafat di Aleppo, Suriah, pada tahun 587 H/1191 M. Suhrawardi sering disebut sebagai tokoh sufi dari kalangan Syiah yang diberi gelar Syaikh al-Isyraq (Guru Pencerahan) karena pendapatnya tentang filsafat Isyraqiyyah.
Gelar al-Maqtul (yang terbunuh) diperolehnya karena pada saat itu Suhrawardi bersama Qaramithah dan Hasyasyin secara politis dituduh telah merongrong kekuasaan Sultan Shalahuddin al-Ayubi. Ketika itu Sultan adalah penganut dan pembela faham sunni serta berusaha menegakkan hegemoni sunni di seluruh wilayah kekuasaannya. Akhirnya atas desakan para fuqaha, Suhrawardi dipenjarakan di Aleppo dan dijatuhi hukuman mati.
b.      Karya-karya Suhrawardi al-Maqtul
Sebagai seorang sufi dan filosof, Suhrawardi menulis beberapa kitab yang menunjukkan gambaran ajaran tasawufnya dalam hidup yang relatif singkat dan telah menghasilkan 50 karya ilmiah. Di antara karyanya dalam bidang tasawuf adalah:[6]
1.      At-Talwihat
2.      Al-Muqawamat
3.      Al-Massyari wa al-Muttaharat
4.      Hikmah al-Isyraqiyyah
5.      Al-Isyarat wa at-Tanbihat
c.       Pemikiran Tasawuf Suhrawardi al-Maqtul
Inti ajaran isyraqiyyah yang dibawa Suhrawardi adalah bahwa segala sesuatu yang ada (al-Maujudat) adalah Nur al-Anwar (cahaya dari segala cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran sehingga kosmos terdiri atas tingkatan-tingkatan pancaran cahaya. Cahaya tertinggi sebaga sumber cahaya itu dinamakan Nur al-Anwar dan menurutnya itulah Tuhan yang abadi.
Selanjutnya, salah satu ajaran yang dianggap sesat oleh fuqaha adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa masih ada kemungkinan Tuhan mengutus nabi baru sesudah Nabi Muhammad.
Suhrawardi mendasarkan pendapatnya itu pada konsep kekuasaan Tuhan tidak berbatas sehingga memberikan peluan akan datangnya nabi baru, akan tetapi nabi baru itu tidak harus membawa syariat baru.[7]



[1] http://khairolkhalid.blogspot.com/2005/12/antara-syariat-dan-tasawuf.html
[2] http://linkgar.wordpress.com/2007/03/13/imam-al-ghazali/
[3] http://fauzi_uin.blogs.friendster.com/masokis/
[4] Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung : EFEO-Mizan, 1999, h. 47
[5] Ibid., h. 61
[6] M. Solihin, Op.cit., h. 148
[7] Ibid., h. 149-150

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...