STUDI AL-QURAN
Al-Quran dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya adalah sebagai berikut:
1. Al Huda (petunjuk). Dalam Al-Quran terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Quran: petunjuk bagi menusia secara umum (QS. Al-Baqarah: 185), Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 2), dan sebagai petunjuk bagi orang beriman (QS. Fushilat: 44).
2. Al-Furqan (pemisah) antara yang hak dan yang batil.
3. Al-Shifa (obat), berfungsi sebagai obat bagi penyakit yang ada di dalam dada/jiwa (QS. Yunus : 570).
4. Al-Mau’idzah/nasihat (QS. Ali Imran: 138).
5. Al-Mubin/yang menerangkan (QS. Al-Maidah : 15).
6. Al-Mubarak/yang diberkati (QS Al-An’am : 92).
Al-Quran berisi 30 juz, 114 surat, dan ± 6236 ayat. Ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran terdiri dari :
Ø Ayat Makkiyah : sebagai ayat-ayat pokok yang terdiri dari ± 4789 ayat
Ø Ayat Madaniyah : sebanyak ± 1456 ayat
Apabila ada pertentangan antara makkiyah dan madaniyah, maka yang dipilih adalah Madaniyah, sedangkan pendapat lainnya adalah sebaliknya.
Rincian penganturan ayat-ayat dalam Al-quran:
Ø ± 10 ayat tentang hubungan antara kaya dan miskin
Ø ± 10 ayat tentang kenegaraan
Ø ± 13 ayat tentang pengadilan
Ø ± 25 ayat tentang hubungan muslim dan non muslim
Ø ± 30 ayat tentang pidana
Ø ± 70 ayat tentang kekeluargaan, perkawinan, dan waris
Ø ± 70 ayat tentang perekonomian, jual beli, sewa, pinjam meminjam
Ø ± 136 ayat tentang keimanan, tuhan, malaikat, Rasul, Kitab dan hari Akhir
Ø ± 140 ayata tentang ibadah, sholat, zakat, puasa, haji
Ø ± 150 ayat tentang sains (fenomena alam)
Ø ± 228 ayat yang mengatur dasar-dasar kemasyarakatan, dan seterusnya.
Al-Quran merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya merupakan undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan jalan qoth’i (absolut), yang kebenarannya tidak boleh diragukan, alasan lain bahwa Al-quran sebagai mukjizat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran itu memang ternyata tidak ada yang mampu meniru.
Macam-macam hukum di dalam Al-Quran :
1. Hukum aqidah (ahkam ’itiqodiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang harus dipercaya oleh mukalaf, yang disebut rukun iman.
2. Hukum-hukum akhlak (Ahkam Khuluqiyah) yaitu hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang harus dipakai setiap mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan menghindarkan diri dari kehinaan.
3. Hukum Amaliyah (Ahkam ’Amaliyah) yaotu hukum yang erat hubungannya dengan seluruh tidakan atau perbuatan mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad) dan kegiatan –kegiatan lainnya dan hidup sehari-hari.
Bila dilihat dari segi hukumnya terbagi 2 bagian yaitu nash yang qoth’i (yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mungkin menerima takwil, atau tidak ada pengertian yang lain selain makna tersebut) dan nash yang dzanni (nash yang menunjukkan makna yang mungkin menerima takwil atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada makna yang lain). Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa nash tersebut mempunyai beberapa pengertian dan penafsiran.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat Al-Quran :
Ø Beda dalil yang dipakai
Ø Beda Paham tentang dalil
Ø Beda Metoda ijtihad
Ø Beda Konsep Masalah
Beberapa persoalan tentang Al-Quran :
Ø Al-Quran Mahluk / kalamullah?
Ø Sistematis Al-Quran , siapa yang menyusunnya
Ø Mengapa Indonesia tidak memakai hukum Islam
Ø Bermazhab
Ø Bid’ah
Ø Hadis hubungannya dengan Al-Quran
Kalau ada perbedaan pandangan tentang Islam, lalu dikembalikan pada Al-Quran dan hadist, persoalan tidak begitu saja selesai. Sebab ayat yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berpotensi untuk diartikan lain. Al-Quran sebagai gudang, petunjuk, obat, yang dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Jangan berada dalam perdebatan yang proporsional.
STUDI AL-HADIS
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Diantara naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
Ø Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam),
Ø Al-Shahifah al-Shadiqah,
Ø Shahifah Sumarah bin Jundub,
Ø Shahifah Jabir bin ‘Abdullah,
Ø Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Dapat disebutkan beberapa faktor hadis di masa Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
Ø Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
Ø Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
Ø Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
Ø Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
Ø Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah.
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
Ø Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan seterusnya.
Ø Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
Ø Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah mursal (terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa al-Ada’.
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Gejolak Pemikiran Tentang Hadis
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis.
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain. Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir.
Pada masa modern, cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Dari sisi outsider, Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
Allah maha besar
ReplyDelete