18 January 2011

LEGITIMASI RELIGIUS KEKUASAAN

| More
Paham kekuasaan religius ialah bahwa hakikat kekuasaan (politik) bersifat adiduniawi dan adimanusiawi yang berasal dari alam gaib atau termasuk yang ilahi. Menurut Talcott Parsons, dalam masyarakat multi-religius proses-proses politik yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan perkembangan.

Situasi seperti itu mendorong lahirnya model keberagamaan yang terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Inilah yang kini dinikmati negara-negara maju dengan tingkat demokrasi yang stabil. Mereka tidak lagi diganggu konflik yang dipicu sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan. Agama-agama telah menempati ruangnya yang pas, sehingga tidak menimbulkan gesekan dan benturan dengan pandangan-pandangan profan.

Barangkali suatu truisme dalam perbandingan sosiologi sejarah, bahwa agama dalam pasca-pencerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, kecenderungan yang kian meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat, dan bukan tatanan politik publik.
Tendensi seperti itu tentu tidak dapat dikatakan khas Eropa modern dan Kristen Barat. Sebab, manakala muncul upaya-upaya menggiring agama ke ruang publik di banyak negara Dunia Ketiga, utamanya negara-negara Islam, yang terjadi adalah politisasi agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan non-agama.

Akibatnya, terjadi benturan agama dengan paham dan ideologi profan, sehingga agama bukan hanya menjadi variabel pembeda, tetapi secara signifikan juga menyumbang munculnya kekerasan dan ketegangan sosial. Dalam situasi seperti itu, tak terelakkan terjadinya "publikisasi hal-hal privat" dan "privatisasi masalah-masalah publik". Keduanya mengikis garis yang memisahkan agama dari politik.[1] Dan selanjutnya, dari permasalahan-permasalahan tersebut seakan terjadi peralihan-peralihan nilai dan sikap dari orientasi keagamaan tradisional kepada pengalaman-pengalaman politik pada saat politisasi terjadi,[2] dan sebaliknya, peralihan nilai-nilai politik kedalam wilayah keagamaan.

Tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat lebih memperjelas nilai-nilai secara eksplisit daripada aspek-aspek apa pun dalam budaya masyarakat secara umum. Akan tetapi disini pernyataan tersebut harus diartikan bahwa agama merupakan salah satu diantara berbagai sumber sikap dan nilai yang penting, yang menunjang budaya politik. [3]

Menurut Saiful Mujani, para ilmuwan sosial terbagi ke dalam tiga kelompok dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Kelompokpertama mengklaim bahwa agama merupakan kekuatan konservatif yang menghambat perubahan sosial dan politik, yakni modernisasi politik. Kelompok kedua mengklaim bahwa signifikansi agama dalam politik merosot ketika proses modernisasi berlangsung. Kelompok ketiga percaya bahwa agama, paling tidak, secara tidak langsung, memberikan sumbangan pada proses modernisasi politik.

Di masa lalu ilmuwan sosial memperlakukan agama sebagai sumber stabilitas politik. Agama dipercaya dapat memberikan justifikasi atau legitimasi supranatural atas ketidakadilan dalam amasyarakat. Dalam perspektif Marxian, misalnya, agama adalah “candu bagi masyarakat”, dalam pengertian bahwa ia  membuat manusia tidak menyadari permasalahan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari dengan mengalihkan perhatian mereka dan kondisis yang ada ke sesuatu yang lain, yakni kehidupan khayali. Agama diyakini dapat mengalienasi masyarakat dari dunia ini.

Dalam sebuah masyarakat yang adil karakter agama yang seperti ini cenderung menjadikan agama mendukung status quo, karena ketidakadilan ini secara metafisik dibenarkan. Dalam pengertian ini agama menghambat manusia untuk terlibat dalkam politik. Perspektif Marxian ini menawarkan cara pandang yang sama dengan teori modernisasi dan pembangunan politik pada era 1960-an, dimana agama dianggap menghambat masyarakat untuk mengorientasikan diri mereka terhadap politik.

Dalam paham religius terhadap tuntutan legitimasi normatif yang dibutuhkan tidak bersifat etis melainkan religius. Legitimasi religius mempunyai tiga unsur, pertama penguasa harus menunjukkan diri mampu untuk memegang kekuasaannya. Jadi ia harus memperlihatkan tingkat kesaktiannya, kebijaksanaannya dan kepandaiannya berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit.

Kedua, kemampuan ”empiris” itu tidak mencukupi, dalam pandangan jawa seseorang hanyalah dianggap betul-betul berkuasa apabila masyarakat dibawah pemerintahannya berada dalam keadaan adil dan makmur. Ketiga, penguasa menunjukan mutu mental atau sikap budi yang merupakan prasyarat kemampuannya untuk berhubungan dengan alam gaib.[4]

Para teoritikus modernisasi berpendapat bahwa modernisasi yang ditandai dengan diferensiasi sosial dan pembagian kerja dan rasionalisasi dalam masyarakat, menjadikan peran agama khusunya di bidang politik, merosot.  Namun demikian, diferensiasi struktural tidak kemudian membuat agama kehilangan signifikansinya dalam politik. Karakter agama yang konpensatif, yang menjanjikan kehidupan lebih baik di kemudian hari, juga dapat ditransformasikan ke dalam sebuah “agama yang secara poitis mengaktifkan orang, ketika hal itu disuntukkan ke dalam semangat komunal, bukan perorangan. Agama diyakini memiliki kekuatan untuk membangun solidaritas sosial, menghasilkan rasa bermasyarakat (sense of community). Rasa bermasyarakat ini pada gilirannya berfungsi sebagai mediasi bagi itndakan kolektif yang sangat penting dalam demokrasi.

Para teoritikus modernisasi terakhir diwakili oleh Tocquevillle, ia menulis buku Democracy ini Amerika. Menurut Tocquevillle, bagi masyarakat Amerika, agama mampu membantu mereka untuk mengatasi masalah eksistensial, seperti rasa takut mati, karena agama menawarkan konsep keabadian dan harapan. Lebih lanjut Tocquevillle menjelaskan, ketika agama mendasarkan imperiumnya hanya diatas hasrat manusia akan keabadian yang melekat di hati mereka, maka agama dapat mengklaim universalitas (yang tak lekang oleh waktu dan tempat). Tetapi ketika agama ia berusaha untuk menyatu dengan sebuah pemerintahan, ia harus mengadopsi sejumlah ketentuan yang dapat dipraktikkan hanya oleh keompok tertentu. Jadi ketika agama bersekutu dengan kekuatan politik, ia semakin berpengaruh terhadap suatu satu kelompok, tetapi kia kehilangan harapan untuk merengkuh semua yang lainnya.[5]

Selanjutnya dalam pandangan Saiful Mujani bahwa pengalaman empiris tentang fundamentalisme, entah sebagai reaksi ataupun atas politik sekuler atau bukan, menunjukkan bahwa agama dapat mendorong para pemeluknya untuk bertindak secara politis, dan bukan absen dari politik. Ini bukanlah sebuah tingkah laku yang parokial, yang ditandai oleh tidak adanya orientasi terhadap sistem politik yang ada.
Di Iran, Fundamentalisme telah berhasil merobohkan sebuah rezim yang tidak demokratis dan menggantinya dengan rezim baru yang juga tidak demokratis.[6] Dan pada akhirnya, tindakan-tindakan politik yang mereka lakukan adalah dianggap sesuai dengan pengertian agama yang mereka yakini.

Dari uraian diatas, walaupun terkesan singkat namun dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, dalam dunia politik, salah satu “institusi” yang memberikan legitimasi kepadanya adalah agama, karena transformasi nilai-nilai agama yang bersifat langsung maupun tidak ke dalam wilayah politik adalah terhitung signifikan, ini dikarenakan para pelaku politik tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan dan nilai-nilai agama yang telah dan tengah diemban, sehingga apa (baca: nilai-nilai agama) yang biasa dilakukan di luar wilayah politik akhirnya dapat berbaur ke dalam ranah politik.


DAFTAR PUSTAKA

Mujani, Saiful, MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007
Smith, Donald Egene, Agama Dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis, (Jakarta: CV Rajawali), 1985
Magnis, Franz, Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: PT Gramedia   Pustaka Utama), 2003
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=274&coid=1&caid=34



[1] http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=274&coid=1&caid=34
[2] Donald Egene Smith, Agama Dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis, (Jakarta: CV Rajawali), 1985, Cet. I, Hal. 217
[3] Donald Egene Smith, Agama Dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis, (Jakarta: CV Rajawali), 1985, Cet. I, Hal. 20-21
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan modern, (Jakarta: PT Gramedia   Pustaka Utama), 2003, cet. 7. hal. 41-42
[5] Saiful Mujani, MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, Cet. I. hal. 7 - 9
[6] Saiful Mujani, MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, hal. 11

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...