22 January 2011

Sebuah Dunia Tanpa Islam (1)

| More
Bayangkan bagaimana sebuah dunia tanpa Islam. Imajinasi dan pengandaian liar ini mungkin ada di benak sementara orang, khususnya di Barat, setelah ketegangan antara apa yang disebut sebagai Barat dan Islam meningkat sejak peristiwa 11 September 2001. Meski ketegangan itu kini dalam batas tertentu sudah mulai menyurut-khususnya menyangkut perang melawan terror ala Presiden George W Bush, ironisnya orang menyaksikan meningkatnya sikap anti-Islam dan anti-Muslim di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara Eropa. Pada saat yang sama, gambaran dan referensi kepada Islam membanjiri media, baik cetak maupun elektronik Barat. Karena itu, boleh jadi kalangan seperti ini membayangkan sebuah dunia tanpa Islam dan kaum Muslim sehingga mereka merasa lebih nyaman.

Sebuah dunia tanpa Islam. Pengandaian yang menjadi judul buku terbaru karya Graham Fuller, A World Without Islam (New York: Little & Brown, 2010). Fuller, mantan wakil kepala Dewan Intelijen Nasional CIA yang kini guru besar ilmu politik di Simon Fraser University, Vancouver, Kanada, meski mengambil judul yang bisa membuat kaum Muslimin khususnya bertanya, justru memberikan jawaban atas imajinasi dan pengandaian tersebut. Bahkan, Fuller memberikan argumen bertolak belakang. Jika ada orang yang membayangkan sebuah dunia yang bakal berbeda tanpa Islam sejak dulu sampai sekarang, menurut Fuller, sesungguhnya keadaannya tidak akan banyak berbeda, khususnya menyangkut hubungan antara Dunia Barat dan Timur.

Dalam pandangan Fuller adalah absurd mengandaikan sebuah dunia tanpa Islam. Agama ini beserta para pengikutnya telah menjadi realitas sejak abad 7 Masehi. Jarum sejarah tidak pernah bisa dimundurkan dan sejarah tidak bisa ditulis ulang untuk membuat Islam dan kaum Muslim terhapus dari sejarah. Namun, menurut Fuller, pengandaian itu dapat mendorong orang untuk melihat kembali sejumlah peristiwa dan perkembangan kunci sepanjang sejarah, tidak hanya menyangkut Islam dan kaum Muslim-khususnya di Timur Tengah, tetapi juga mengenai Eropa, hubungan di antara agama-agama yang berbeda, dan juga peradaban yang berkembang.

Memang, ketika Fuller menggunakan istilah Islam, ia mengacu kepada Islam Timur Tengah dan tidak secara eksplisit merujuk kepada kaum Muslim di kawasan ini. Dengan begitu, dia memperlakukan Islam secara monolitik. Ia juga tidak memedulikan kesenjangan antara citra ideal Islam dan living Islam di kawasan ini dengan mengabaikan realitas sosial, budaya, dan politik kaum Muslim yang tidak selalu mengaktualisasikan Islam sesuai prinsip, ajaran, dan nilainya.

Karena itu, yang terutama dimaksudkan Fuller dengan Islam pada dasarnya adalah aktualisasi 
agama ini oleh para penganutnya di Timur Tengah. Jelas Fuller tidak membahas pengandaian jika tidak ada Islam. Minat dan perhatian utama karya ini adalah hubungan-hubungan yang terjadi sepanjang sejarah antara masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dan komunitas-komunitas agama lain di Eropa dan juga pada masa kontemporer dengan AS. Dan, jika dalam episode-episode sejarah tertentu hubungan itu bisa jadi sangat memburuk, menurut Fuller, Islam bukanlah penyebab utama atau bahkan tidak juga penyebab kedua.

Dalam konteks itu, bagi Fuller, Islam Timur Tengah tidak berdiri sendiri. Ia terkait erat dan berkesinambungan dengan potret keagamaan yang berkembang sebelum datangnya Islam. Sebab itu, Islam terkait dan terpengaruh kekuatan-kekuatan yang telah ada sebelumnya. Islam tidak spesial di tengah berbagai perkembangan agama dan juga politik sehingga ia masuk ke dalam arus perkembangan umum di kawasan-kawasan tersebut.

Karena itu, jika ada ketegangan di antara komunitas-komunitas Kristiani Eropa dan masyarakat Muslim, hal itu sudah mendapatkan preseden dalam ketegangan dan konflik di antara Kristiani Ortodok Timur (Bizantium) dan Kristiani Katolik Roma. Jika Islam tidak menancapkan eksistensinya di kebanyakan wilayah Timur Tengah, besar kemungkinan kawasan ini masih berada di bawah pengaruh Gereja Ortodok Timur. Dan, hubungan antara kedua gereja ini telah diwarnai kecurigaan timbal balik dan penuh racun selama hampir dua milenium-meski sebenarnya mereka berbagi banyak tradisi yang sama. Bagaimanapun, kehadiran Islam sebagai sebuah kekuatan agama, sosial, budaya, dan politik menambah kompleksitas ketegangan yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian, tidak mungkin ada sebuah dunia tanpa Islam. Jika ada ketegangan di antara Islam dan Barat, yang perlu dilakukan bukan mengandaikan ketiadaan Islam, sebaliknya berusaha menyelesaikan faktor-faktor yang penyebab ketegangan dan hubungan buruk tersebut.


------------

Ditulis oleh Azyumardi Azra dalam www.uinjkt.ac.id
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 17 Desember 2010

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...